Bismillahirrohmanirrohiim
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah SWT, suatu hari beberapa eksekutif satu perusahaan terlibat pembicaraan yang cukup seru. Topiknya: apa yang akan dilakukan setelah mereka pensiun dari perusahaan mereka nanti. Ada di antara mereka yang berencana untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Sambil menghitung-hitung berapa uang yang mesti didepositokan agar ia mendapat bunga bulanan yang cukup untuk hidup santai namun berkecukupan.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah SWT, suatu hari beberapa eksekutif satu perusahaan terlibat pembicaraan yang cukup seru. Topiknya: apa yang akan dilakukan setelah mereka pensiun dari perusahaan mereka nanti. Ada di antara mereka yang berencana untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Sambil menghitung-hitung berapa uang yang mesti didepositokan agar ia mendapat bunga bulanan yang cukup untuk hidup santai namun berkecukupan.
Ada lagi kawan yang lain menghitung-hitung dana pensiun yang bakal diterimanya dari perusahaan sebagai awal usaha rumah makan kecil-kecilan di masa tuanya kelak. “Dengan buka restoran kecil, aku dan istriku bisa ikut makan. Enggak bakal kelaparan, deh!” dalihnya. Satu kawan lainnya malah telah membuka asuransi hari tua dalam dolar yang cukup besar, walaupun belakangan ia merubahnya dengan asuransi dalam rupiah karena tidak kuat membayar premi dalam dolar.
Seorang eksekutif wanita telah melakukan investasi bersama suaminya dalam mengelola rumah kos untuk pegawai di beberapa kawasan industri dan berhasil. “Setidaknya aku sudah punya bekal untuk masa tuaku nanti. Aku enggak perlu tergantung dan meminta pada orang lain kelak,” ujarnya penuh keyakinan.
Semuanya tampak demikian umum dan wajar serta cukup feasible. Satu hal yang dapat ditangkap dari pembicaraan ini ialah bahwa ada satu rasa cemas di antara mereka. Rasa cemas akan bayangan hidup sengsara, melarat, sakit-sakitan dan terhina di hari tua nanti, sehingga mereka menumpuk harta dalam macam-macam bentuk tadi.
Apakah kemapanan dalam bentuk uang dan harta yang berlimpah akan menjamin kehidupan hari tua yang bahagia? Belum tentu! Namun yang pasti adalah bahwa Allah telah menjanjikan rizki tanpa batas kepada manusia asalkan kita benar-benar bertaqwa kepada-Nya.
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir,
dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman.
Padahal orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat.
Dan Allah memberi rezkikepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
~ Al-Baqarah – QS 2 : 212 ~
Mengenai harta, maka Islam menganjurkan kita untuk mencari harta sebanyak-banyaknya asal digunakan untuk ibadah dan kebaikan ummat. Makin banyak makin bagus. Tidak ada anjuran menyimpan harta untuk diri sendiri. Sikap Nabi Muhammad saw terhadap penumpukan harta ini dapat disimpulkan dari kisah berikut ini.
Suatu hari Rasulullah saw. melihat setumpuk kurma di rumah Bilal. Beliau bertanya kepada Bilal : “Untuk apa ini?” Jawab Bilal : “Ya Rasulullah, kurma ini untuk persediaan kebutuhan di masa depan” Mendengar jawaban itu Nabi Muhammad saw berucap : “Apakah kau tidak takut terkena api neraka pada hari perhitungan kelak? Bagikanlah kurma itu, Bilal dan jangan takut Allah akan membiarkan kita kelaparan.”
Dalam cerita ini Nabi saw mengingatkan kita untuk senantiasa mengandalkan Allah dan tidak sekali-kali meragukan-Nya dalam memberikan rizki kepada kita. Lebih lanjut mengenai harta ini Nabi saw bersabda:
“Barang siapa menumpuk harta melebihi kebutuhannnya
berarti dia telah mengambil kematiannya sendiri tanpa disadari.”
Hadist Rasulullah saw tersebut diatas mengingatkan kita betapa bahayanya urusan harta ini. Imam Al-Ghazali dalam bukunya Theosofia Al-Qur’anmenegaskan kembali bahwa menumpuk harta melebihi kebutuhan bisa membinasakan diri sendiri ditinjau dari 3 hal.
Pertama, penumpukan harta cenderung menyeret kita ke tebing ma’ziat dan kezaliman. Bukankah ujian berupa kenikmatan harta lebih susah lulusnya ketimbang musibah berupa kepailitan dan kemiskinan? Harta berlebihan merupakan kondisi yang subur bagi timbulnya berbagai penyakit hati ; sombong, dengki, hilangnya sikap sabar, rasa ingin menang sendiri serta kesusahan dan kerisauan.
Kedua, harta yang banyak cenderung mendorong kita untuk hidup melebihi yang kita butuhkan. Boros dan bermewah-mewah adalah ciri yang nyata dari kelebihan harta yang digunakan secara salah.
Ketiga, menumpuk harta bisa membuat kita lupa kepada Allah, kita menjadi alpa untuk berdzikir kepada Allah. Padahal dzikrullah adalah azaz untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.
Mengenai harta ini pula, firman Allah dalam Al-Qur’an mengingatkan kita :
“Dan mereka yang menyimpan emas dan perak,dan tidak meng-infaq-kannya di jalan Allah,maka sampaikanlah (olehmu Muhammad) berita kepada mereka tentang adanya azab yang pedih. Yaitu, ketika emas dan perak itu dibakar di neraka jahanam,
dan dengan harta itu disetrika lambung dan punggung mereka.
Inilah harta yang kamu simpan dulu untuk (kepentingan) dirimu sendiri,
maka sekarang rasakanlah apa yang telah kamu simpan.”
~ At Taubah - QS 9 : 34-35 ~
“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)….”
~ At Taghaabun - QS 64 : 15 ~
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah”
~ Al Munaafiquun - QS 63 : 9 ~
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,
sampai kamu masuk dalam khubur”
~ At Takaatsur - QS 102 :1 ~
Jadi, Al-Qur’an melarang kita untuk mengumpulkan harta untuk kepentingan sendiri dengan ancaman siksa neraka yang amat kejam, sekaligus mengingatkan kita betapa berbahayanya memelihara harta.
Pada ayat-ayat yang lain. Al-Qur’an memberikan petunjuk yang jelas tentang bagaimana sebaiknya kita memanfaatkan harta yang kita peroleh agar di ridhoi Allah swt. seperti difirmankan Allah :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertaqwa.`Yaitu) orang yang menafkahkan (hartanya)baik di waktu lapang maupun sempitdan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”
~ Ali-’Imran – QS 3 : 133-134 ~
“Sekali-kali kamu tidak dapat mencapai kebajikan (yang sempurna),
sehingga kamu menafkahkan sebagian hartamu yang kamu cintai……”
~ Ali-‘Imran – QS 3 : 92 ~
Sedangkan beberapa hadist mengenai bersedekah menyebutkan:
“Bersedekahlah kamu,
karena sedekah dapat membebaskanmu dari api neraka”
(HR Ath-Thabrani)
“Sedekah dapat menghalangi kematian secara hina”
(Diriwayatkan oleh Al-Qudha’I dari Abu Hurairah).
“Barangsiapa yang diminta dengan ridhla Allah, lalu dia memberi, maka ditulislah baginya tujuhpuluh kebaikan”
(HR Al-Baihaqi dari Ibnu Umar)
Sudah menjadi jelas bagi kita, bahwa Allah telah menetapkan firmanNya sebagai pedoman bagi kita dalam me-“manage” harta yang kita peroleh. Juga tersirat bahwa kita dianjurkan untuk hidup sederhana (secukupnya) agar kelebihan harta dapat kita infaqkan di jalan Allah. Dengan ketetapanNya itu maka kita bisa semakin yakin bahwa hanya dengan bertaqwa kepadaNya-lah rizki kita akan terjamin sampai kapanpun.
Dengan demikian kecemasan yang tidak berdasar seperti kesengsaraan, kemelaratan, kehinaan, kenestapaan, penyakitan yang akan menimpa kita kelak di hari tua sebaiknya kita singkirkan.(Bukankah kita sudah hakkul yaqin akan firman Allah dalam Al-Qur-an?)
Yang dapat kita persiapkan menjelang masa tua ialah segala sesuatu agar dimasa tua kita bisa semakin banyak beribadah. Untuk itu modal yang paling utama ialah kesehatan kita. Sabda Nabi Muhammad saw seperti yang diriwayatkan Ibnu Majah: “Mintalah kesehatan kepada Allah, karena sesungguhnya tidak ada nikmat yang paling utama daripada nikmat kesehatan, selain keimanan”
Dengan kesehatan kita bisa berbuat apapun, mencari nafkah kelak di waktu uzur nanti, menikmati makanan, beribadah, dan melakukan hal-hal lain yang disenangi. Bisa dibayangkan bila kita dalam keadaan sakit, semua hal disekitar kita menjadi tidak menyenangkan, kita tidak bisa menikmati makanan yang lezat, ibadah menjadi terasa berat.
Pantaslah bila nikmat kesehatan ditempatkan nomor dua setelah nikmat keimanan. Oleh karena itu sungguh tepatlah anjuran Nabi saw untuk meminta kesehatan kepada Allah. Dalam setiap shalat kita, permohonan agar diberi kesehatan menjadi bagian dari do’a bacaan shalat, yaitu ketika duduk antara 2 sujud : Ya Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, berilah aku rizki, angkatlah derajatku, berikanlah petunjukmu, sehatkanlah aku dan maafkanlah aku.
Permohonan kita yang terus-menerus tentunya harus didukung oleh tindakan kita menjaga kesehatan itu sendiri. Artinya, harus ada usaha kongkrit dari kita untuk menempuh cara-cara hidup sehat lahir dan bathin. Banyak nasihat-nasihat kesehatan yang sudah kita ketahui secara umum namun masih kita langgar.
Kita bisa memperbaiki diri dengan mengikuti nasihat-nasihat yang baik, misalnya : berolah raga secara teratur dan jenisnya sesuai dengan umur kita. Berhenti merokok. Mulailah makanan yang low-cholesterol dan hindari makanan yang enak secara berlebihan. Sesuaikanlah kemampuan tubuh yang semakin tua dengan beban kerja kita atau kegiatan kita. Jangan ngoyo!
Perbanyaklah kegiatan yang memperkaya bathin kita, misalnya membaca buku yang meningkatkan ilmu kita, mendengarkan musik Islami atau alunan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Dengan banyak membaca, akal kita semakin terasah, sehingga bisa melahirkan gagasan-gagasan baru untuk memperbanyak ibadah.
Nah, bukankah keyakinan kita kepada Allah membuat kita semakin mantap menghadapi hari tua. Jadi, sebenarnya bukan bekal untuk hari tua yang kita perlukan, namun bekal untuk akhirat. Untuk mencapai akhirat dengan selamat, maka satu-satunya cara untuk membekali diri kita ialah dengan mengikuti aturan main yang telah difirmankan-Nya dalam Al-Qur-an.
Hari tua hanyalah sebagian kecil dari perjalanan hidup manusia, yang harus dijalani dengan membekali diri dengan tindakan amal saleh. Hari tua merupakan nikmat ketiga, yaitu selain nikmat keimanan dan nikmat kesehatan tadi, yaitu nikmat kesempatan. Hari tua merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menggandakan amal saleh menjelang kematian kita. Dengan keyakinan ini, masihkah kita harus menyiapkan bekal materi untuk hari tua?
Bagaimana pendapat Anda?
(http://risalahmutiaratauhid.blogspot.com/2012/06/bekal-di-hari-tua.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar