Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritisi langkah pemerintah dalam penerapan Jaminan Hari Tua (JHT) yang terlalu cepat. Penerapan ketentuan tersebut minim sosialisasi.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo mengatakan, seharusnya pemerintah mengoptimalkan sosialisasi terlebih dahulu sebelum menerapkan aturan. "YLKI mengkritisi tanggal diberlakukan peraturan terlalu mepet, sehingga tak ada sosialisasi," ujarnya kepadaLiputan6.com, Jakarta, Jumat (3/7/2015).
YLKI sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan mengenai isi dari aturan tersebut. Menurut Sudaryatmo, JHT memang diperuntukan untuk perlindungan di hari tua. Berbeda dengan tabungan karyawan yang bisa diambil setiap saat.
"Karena ini prinsipnya hari tua, bukan tabungan karyawan, kalau tabungan bisa diambil setiap saat. Jadi kalau tunjangan hari tua tergantung kepesertaannya kalau kepesertaannya mulai 55 tahun, 5 tahun bisa diambil, karena usainya sudah 56 tahun," ujarnya.
Dia menambahkan, secara filosofi ketentuan tersebut tidak bermasalah. Dia bilang yang bermasalah hanya tempo pemberlakuannya. "Filosifinya tidak salah, YLKI mengkritik keluarnya peraturan tidak bisa dibuat Juni berlaku Juli. Dari sosialisasi baru dilaksanakan," tandas dia.
Sebelumnya, kebijakan yang diberlakukan BPJS Ketenagakerjaan terkait pencairan dana JHT mendapatkan penolakan dari masyarakat. Kurang dari 24 jam sejak petisi penolakan kebijakan tersebut diunggah di laman Change.org, sudah lebih dari 40 ribu netizen memberikan dukungan. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah.
Petisi ini dibuat oleh Gilang Mahardika dengan judul "Membatalkan Kebijakan Baru Pencairan Dana JHT 10 Tahun". Petisi dari pria asal Yogyakarta tersebut ditujukan kepada BPJS Ketenagakerjaan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dakhiri serta Presiden Joko Widodo.
Isi dari petisi tersebut intinya adalah keberatan dengan masa pencairan dana JHT yang harus di umur 56 tahun atau setelah 10 tahun kepesertaan namun dengan nilai 10 persen saja. Menurut Gilang, dengan aturan baru tersebut ia tidak bisa menggunakan JHT tersebut untuk modal usaha setelah keluar dari kerja.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri tenaga kerja Hanif Dhakiri angkat bicara. Dia mengatakan, JHT berfungsi sebagai perlindungan untuk pekerja saat tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia maupun memasuki usia tua.
"Dana JHT itu secara konsep kebijakan nanti diterimakan kepada para peserta secara gelondongan pada saat mereka tidak lagi produktif sehingga masa tua peserta terlindungi dengan skema perlindungan JHT itu," jelas dia.
Hanif menyebutkan, dalam ketentuan Undang-undang nomor 40/2004 tentang SJSN (Pasal 37 ayat 3) menegaskan jika pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun.
Pengaturan lebih lanjut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) JHT yang baru, yang hanya menjabarkan kata "sebagian" yaitu dana bisa diambil 30 persen untuk uang perumahan dan 10 persen untuk lainnya.
"Selebihnya bisa diambil pada saat peserta tidak lagi produktif sebagaimana penjelasan di atas. PP JHT tentu saja tidak mungkin menabrak UU SJSN itu," tegas Menaker.
Selanjutnya, kata dia, jika pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maka dapat pesangon. Kemudian bila yang bersangkutan bekerja kembali maka kepesertaan dapat berlanjut. Namun jika pekerja meninggal sebelum usia 55 tahun maka ahli waris yang berhak atas manfaat JHT. "Itu ketentuan UU SJSN," sambungnya. (Liputan6.com)
Ketua Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo mengatakan, seharusnya pemerintah mengoptimalkan sosialisasi terlebih dahulu sebelum menerapkan aturan. "YLKI mengkritisi tanggal diberlakukan peraturan terlalu mepet, sehingga tak ada sosialisasi," ujarnya kepadaLiputan6.com, Jakarta, Jumat (3/7/2015).
YLKI sendiri sebenarnya tidak mempermasalahkan mengenai isi dari aturan tersebut. Menurut Sudaryatmo, JHT memang diperuntukan untuk perlindungan di hari tua. Berbeda dengan tabungan karyawan yang bisa diambil setiap saat.
"Karena ini prinsipnya hari tua, bukan tabungan karyawan, kalau tabungan bisa diambil setiap saat. Jadi kalau tunjangan hari tua tergantung kepesertaannya kalau kepesertaannya mulai 55 tahun, 5 tahun bisa diambil, karena usainya sudah 56 tahun," ujarnya.
Dia menambahkan, secara filosofi ketentuan tersebut tidak bermasalah. Dia bilang yang bermasalah hanya tempo pemberlakuannya. "Filosifinya tidak salah, YLKI mengkritik keluarnya peraturan tidak bisa dibuat Juni berlaku Juli. Dari sosialisasi baru dilaksanakan," tandas dia.
Sebelumnya, kebijakan yang diberlakukan BPJS Ketenagakerjaan terkait pencairan dana JHT mendapatkan penolakan dari masyarakat. Kurang dari 24 jam sejak petisi penolakan kebijakan tersebut diunggah di laman Change.org, sudah lebih dari 40 ribu netizen memberikan dukungan. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah.
Petisi ini dibuat oleh Gilang Mahardika dengan judul "Membatalkan Kebijakan Baru Pencairan Dana JHT 10 Tahun". Petisi dari pria asal Yogyakarta tersebut ditujukan kepada BPJS Ketenagakerjaan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dakhiri serta Presiden Joko Widodo.
Isi dari petisi tersebut intinya adalah keberatan dengan masa pencairan dana JHT yang harus di umur 56 tahun atau setelah 10 tahun kepesertaan namun dengan nilai 10 persen saja. Menurut Gilang, dengan aturan baru tersebut ia tidak bisa menggunakan JHT tersebut untuk modal usaha setelah keluar dari kerja.
Menanggapi keluhan tersebut, Menteri tenaga kerja Hanif Dhakiri angkat bicara. Dia mengatakan, JHT berfungsi sebagai perlindungan untuk pekerja saat tidak lagi produktif, baik karena cacat tetap, meninggal dunia maupun memasuki usia tua.
"Dana JHT itu secara konsep kebijakan nanti diterimakan kepada para peserta secara gelondongan pada saat mereka tidak lagi produktif sehingga masa tua peserta terlindungi dengan skema perlindungan JHT itu," jelas dia.
Hanif menyebutkan, dalam ketentuan Undang-undang nomor 40/2004 tentang SJSN (Pasal 37 ayat 3) menegaskan jika pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun.
Pengaturan lebih lanjut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) JHT yang baru, yang hanya menjabarkan kata "sebagian" yaitu dana bisa diambil 30 persen untuk uang perumahan dan 10 persen untuk lainnya.
"Selebihnya bisa diambil pada saat peserta tidak lagi produktif sebagaimana penjelasan di atas. PP JHT tentu saja tidak mungkin menabrak UU SJSN itu," tegas Menaker.
Selanjutnya, kata dia, jika pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maka dapat pesangon. Kemudian bila yang bersangkutan bekerja kembali maka kepesertaan dapat berlanjut. Namun jika pekerja meninggal sebelum usia 55 tahun maka ahli waris yang berhak atas manfaat JHT. "Itu ketentuan UU SJSN," sambungnya. (Liputan6.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar