Suparto Brata, nama lengkap saya adalah Raden Mas Suparto Brata. Menurut ibu, saya dilahirkan di Rumah Sakit Umum Pusat Simpang Surabaya (sekarang mal Surabaya Plaza) pada hari Sabtu Legi 19 Sawal tahun Je 1862 (1350 H). Setelah dicari sama dengan 27 Februari 1932 M.
Ayah saya bernama Raden Suratman, asal Surakarta Hadiningrat. Setelah menikah namanya menjadi Raden Suratman Bratatanaya. Meninggal di Probolinggo, tahun 1945 (umur 55 tahun).
Keturunan raja
Ibu saya adalah Bendara Raden Ajeng Jembawati, ndara canggah (generasi ke-5 dari raja) dari Paku Buwana V, raja di Surakarta Hadiningrat. Meninggal di Surabaya, tahun 1966 (umur 70 tahun).
Pada umur 6 bulan saya dibawa ibu ke Surakarta, karena ketika itu ayah tidak punya pekerjaan, dan tidak punya tempat tinggal, namun tetap berusaha mencari pekerjaan di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Selanjutnya tidak pernah berkumpul dengan ayah. Oleh Ibu, ketika masih bayi, saya dibawa hidup berkumpul di rumah paman, yakni Kanjeng Pangeran Hariya Jayadiningrat di Kampung Gajahan Surakarta, tempat sejak kecil ibu bertempat tinggal dan bermain dengan putri paman (tahun 1932–1935).
Ketika putri paman diboyong sang suami, Kanjeng Pangeran Hariya Suryabrata, ke istananya di Gading Kulon, saya dan ibu pun ikut pindah tinggal di istana tadi (tahun 1935 – 1937). Selama hidup bersama di rumah pangeran-pangeran tadi ibu tidak bekerja apa-apa, hidup bersama ya hanya karena ada hubungan keluarga saja.
Ibu Wiryopuspito, kakak perempuan ayah, ikut anak lelakinya yang bekerja jadi sipir penjara di Sragen, punya rumah sendiri di Kampung Pasar Kebo. Karena hidup sendiri, ia membujuk-bujuk ibu (iparnya) agar pindah saja ke Sragen berkumpul dengannya.
Hijrah ke Sragen
Karena ingin menunjukkan masih cinta dengan keluarga suaminya, maka pindahlah ibu membawa saya ke Pasar Kebo, Sragen (tahun 1937). Tahun 1938, ibu saya mendapat warisan rumah di Kedunglumbu Surakarta dari kakek (R.M. Ng. Wirosaroyo), dibagi dua dengan seorang saudarinya (Salmah Darmosaroyo).
Karena bertempat tinggal di Sragen, maka hak rumah warisan tadi dijual kepada adiknya, dan uangnya dibelikan tanah pekarangan di sebelah rumah yang ditinggali bersama iparnya (Wiryopuspito). Dengan begitu saya oleh ibu diajak mendekat kepada keluarga ayah.
Saya pun menjadi anak desa, bermain di sawah, ladang, sungai dengan anak-anak desa. Saya dimasukan sekolah desa oleh ibu, yaitu Sekolah Angka Loro di Sragen Wetan (sekarang jadi terminal bis Martonegaran), tahun 1938-1942. Di pekarangan, ibu saya mendirikan rumah-rumah, dipetak-petak, disewakan sepetak dua sen sehari.
Yang menyewa kebanyakan perempuan yang hidup mandiri. Ada penjual sayur, karang kitri, jual panganan, ledek. Karena dekat Pasar Kebo, ada juga yang menjual diri.
Saya waktu kecil, bermain sangat akrab dengan para perempuan penyewa, sering diajak bermain ketoprak-ketoparakan di antara mereka. Karena tingkahnya lucu, para perempuan ayu penyewa rumah sering gemes dan memeluk erat-erat si kecil.
Tahun 1940, budhe Wiryopuspito pindah ke Pati ikut anaknya yang jadi sipir. Maka saya dan ibu menempati rumah di Pasar Kebo sendirian. Padahal ibu saya tidak punya penghasilan apa-apa. Paling dari sewa rumah petaknya, yang sering saja penyewa sulit ditagih.
Penghasilan terbesar menggadaikan atau menjual benda-benda peninggalan harta warisan, mulai tempat sirih sampai almari pakaian. Sampai hutang pada Cina merinding, untuk modal jual nasi pecel, ya kurang laku.
Tahun 1941, terdengar akan datang perang, ibu takut. Mau kembali ke Surakarta tidak mungkin, karena saya sudah sekolah. Maka ibu saya memutuskan untuk menjadi PRT pada Kanjeng Bupati Sragen, Mr. Wongsonegoro. Saya yang sudah kelas 3, mau naik klas 4, ikut ibu ke rumah Bupati Wongsonegoro.
Bergaul dengan siswa sekolah Belanda
Di situ terjadi perubahan hidup saya yang paling hebat. Dari semula seorang desa yang bergaul dengan anak-anak tani, cari cengkerik di sawah, cari ikan, mandi di sungai, cari tebu, naik lori pengangkut tebu, nonton wayang di desa-desa, masuk ke rumah bupati, mengenal rumah tangga bupati, bergaul dengan putra-putri sang bupati yang sekolah Belanda.
Saya mulai mengenal kehidupan orang mapan dan kuasa, mengenal buku-buku bahasa Belanda yang beredar bebas di rumah bupati itu, belajar menari Jawa, memukul gamelan, melihat dan mendengarkan vergadering (rapat di kabupaten), mendengarkan siaran radio.
Dan, menyaksikan perubahan jaman, yaitu bagaimana kehidupan bupati di jaman Belanda, dan bagaimana ketika Jepang masuk menduduki Pulau Jawa.
Jepang masuk, kembali ke Surabaya
Setelah Jepang masuk, keadaan kabupaten kacau, ibu tidak kerasan lagi. Maka diputuskan untuk pergi lagi ke Surabaya, maksudnya lebih mendekati keluarga bapak. Tetapi bapak tetap tidak bisa menampung karena konon sudah kawin lagi, dan bekerja di Probolinggo.
Kebetulan anak perempuan Pageran Suryabrata, Bandara Raden Ajeng Sarwosri, yang telah saya dan ibu kenal ketika tinggal serumah di Gading Kulon, telah menikah dengan Raden Suryohartono, asisten bupati di Surabaya, rumahnya di Van Strippiaan Leusesstraaat 31 (kini Jalan Kalasasan), membutuhkan pembantu untuk mengasuh bayinya. Maka saya dan ibu pun hidup bertempat tinggal disitu.
Saya klas 4, dari Sragen dipindah ke Surabaya, dapat sekolah di Jalan Mundu. Sekolah itu bukan baru, murid-muridnya anak-anak kampung sekitar Tambaksari, Jagiran, Pacarkeling. Tahun 1943 seluruh sekolah dipindah ke Tambak Dukuh, berbatasan dengan tembok utara THR sekarang (tahun 1942 – 1945).
Tahun 1945 bapak meninggal dunia di Probolinggo. Kakak saya, Raden Mas Soewondo yang umurnya 10 tahun lebih tua dari saya, pergi ke Probolinggo dan mendapat pekerjaan di kantor listrik di sana.
Surabaya digempur Inggris, mengungsi ke Probolinggo
November 1945 ketika Surabaya digempur Inggris, saya dan ibu pergi mengungsi, menyusul Soewondo, dan membangun rumah tangga di Probolinggo. Saya kelas 6, dan lalu naik ke SMP di Probolinggo jaman Republik (tahun 1945 – 1947).
Tahun 1947 Probolinggo diduduki oleh Belanda. Keluarga Soewondo buyar. Saya lari ke pedalaman (Sragen, kembali ke Pasar Kebo ikut Budhe Wirypuspito yang kembali tinggal disana). Ibu ke Sidoarjo ikut kenalan lama. Kakak saya ke Surabaya entah ke mana.
Tapi tahun 1948, Soewondo mendapat pekerjaan di Philips Surabaya, merekrut ibu dan saya ke Surabaya, menempati rumah Bu Sri (adik bapaknya) di Gersikan 2/23, yang kosong ditinggal mengungsi. Saya sekolah di Middelbare School, klas 2, yang kemudian berubah menjadi SMPN 2 Jl. Kepanjen 1 Surabaya, lulus 1950.
Awal tahun 1950, kedaulatan RI sudah kembali, Bu Sri dan keluarga sudah kembali ke rumahnya di Gersikan, kakak saya, Soewondo mendapat bea siswa dari Philips ke Eindhoven, ibu kembali ke Surakarta ikut keluarganya.
Jadi loper Djawa Pos
Saya harus menyelesaikan sekolah, dan harus membeayai sendiri. Saya menjadi loper surat kabar Djawa Pos untuk pelanggan di daerah Ampel. Ketika lulus sekolah dan mendapat ijasah, saya tidak dapat memberikan tanggal hari lahirnya, (tidak ada yang bisa ditanyai), maka dikarang sendiri lahir pada tanggal 16 Oktober 1932. Tanggal tersebut terus tercantum di ijasah, surat-surat kepegawaian, pensiun dan KTP seumur hidup.
Lulus SMP, saya menyusul ibu ke Solo. Ibu mondok-mondok di rumah keluarga yang mampu, bekerja sebagai babysitter dan buruh batik yang dibawa di rumah. Saya meneruskan sekolah di SMA Katholik St. Josef (1951-1952).
Karena tidak dapat pekerjaan dan penghasilan ibu saya tidak mencukupi, maka saya memutuskan kembali ke Surabaya, lalu mencari pekerjaan di sana dan mendapat pekerjaan di Rumah Sakit Kelamin Jl. Dr. Sutomo. Pekerjaan saya memeriksa serum darah para pasien yang dikumpulkan di rumah-rumah sakit di Surabaya.
Karena belum kuat ngekos, maka saya mondok di rumah Pak Kir, Jl. Jasem 19 Sidoarjo, gratis. Tiap hari pergi bekerja di Surabaya dengan naik sepeda.
Tahun itu juga (1952) ketika ada iklan penerimaan bekerja sebagai operator teleprinter, saya pun melamar dan setelah dikursus setahun, diterima sebagai pegawai tetap di Kantor Telegrap Jl. Niaga 1 (sekarang Jl. Veteran) Surabaya. Saya bisa kost di Surabaya, di Jl. Jagiran 35, lalu pindah Jl. Undaan Kulon 109 Surabaya, yaitu rumah-rumah bekas teman saya saat SMP.
Tahun 1954, Soewondo pulang dari Negeri Belanda, lalu bertiga dengan ibu dan saya menyewa rumah di Rangkah 5/23B Surabaya. Tahun 1955 Soewondo pindah ke Bandung, saya menempati rumah itu sendiri, lalu sambil bekerja saya sekolah lagi di SMAK St. Louis Jl. Dr. Sutomo 7 (tahun 1954 -1956). Menempati rumah itu hingga menikah dengan Rr. Ariyati (1962), dan punya anak.
Menyusul ibu dan istri
Ibu saya sempat menimang cucu anak ke 2. Ibu meninggal dunia di rumah itu tahun 1966. Selagi tidak punya pekerjaan tetap, tahun 1967-1968, bapak mertua yang sakit diboyong ke rumah sana. Dan meninggal tahun 1968.
Tahun 1969, saya berhasil membangun rumah sendiri di tetangga rumah kontrakan, yaitu di Rangkah 5/25A, dan ditempati tahun 1970 – 1988.
Istri saya, Rr. Ariyati, anak seorang petani kaya di Ngombol, Porwerejo (Jawa Tengah). Kami menikah tanggal 22 Mei 1962, dan mempunyai anak 4 orang, yaitu Tatit Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neograha Semeru Brata (1969), Tenno Singgalang Brata (1971).
Tahun 1988 saya pensiun sebagai pegawai negeri, rumah saya pindah ke Rungkut Asri III / 12 Perum YKP RL I-C 17 Surabaya.
Istri saya meninggal 2 Juni 2002. Alhamdulillah, anak-anak saya sudah sarjana dan telah menikah semua,serta hidup berkecukupan. Sekarang saya Brata hidup serumah dengan anak-cucu dan menantu, keluarga Ir. Wahyudi Ramadani, MMT.
***
Sang begawan sastra Suparto Brata menghembuskan napas terakhirnya di rumahnya pada hari Jumat 11 September 2015 pukul 21.45 WIB. Beliau dimakamkan di TPU Rangkah bersanding dengan sang istri dan kedua orang tuanya. Tulisan ini dibuat berdasarkan cerita Suparto Brata sendiri. Bisa juga diakses di http://supartobrata.com dan http://ceritasurabaya.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar