Libur Hanya di Atas Kertas, Tak Kerja Malah Sakit
SEMANGAT
PATUT DITIRU: Aryono Wardiman lama di Tenggarong, kini mengabdikan diri
di Balikpapan. Dia kenyang pengalaman melayani pasien.
JARUM jam menunjukkan pukul 17.00 Wita kala Kaltim Post menyambangi kediaman Aryono di Jalan ARS Muhammad, Nomor 26, RT 28, Kelurahan Klandasan Ulu, Balikpapan Selatan. dokter jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta ini memilih libur. Ya, di atas kertas dia libur, karena tak melayani praktik di kawasan Gunung Sari.
Tapi sebenarnya, matanya tetap terjaga.
Setiap Jumat, dia tetap melayani warga yang ingin memeriksakan kesehatan
di kediamannya dari pukul 19.30-21.00 Wita. Dalam bincang santai di
ruang tamunya, Aryono mengungkapkan, jika menganggur dia justru merasa
risih. Berikut wawancara media ini dengan Aryono.
Sekarang Anda menginjak usia 81 tahun. Mengapa tetap menjalani rutinitas yang menguras pikiran?
Ini cara saya menikmati hari tua. Kalau
tidak ada kegiatan, badan saya justru sakit. Kalau selama masih kuat,
kita harus kerja, biar sedikit. Selama masih bisa bermanfaat bagi orang
lain, maka jangan berhenti. Karena itu, saya sering tanya ke pasien
aktivitasnya apa? Mereka bilang tidak ada. Terus akhirnya mereka bilang
antar cucu ke sekolah. Ya itu aktivitas. Asal jangan makan tidur, itu
malah sakit. Kalau mau sehat, kerja.
Apakah cita-cita Anda mau jadi dokter?
Kebetulan ibu saya menginginkan tiga
anak laki-lakinya sekolah. Satu jadi sarjana hukum, satu jadi insinyur,
dan satu jadi dokter. Saya pilih dokter. Saya ikut tes di kedokteran
UGM, dan lulus. Biaya SPP saat itu Rp 280 ribu setahun. Bisa dicicil
tiga kali. Karena itu, saya berterima kasih ke negara karena biayanya
murah. Sehingga saya ingin mengabdikan diri kepada NKRI.
Bagaimana awal mula Anda menginjakkan kaki di Kaltim?
Saya ‘kan kuliah di UGM pada 1955. Dulu
itu, begitu lulus tahun 1965, kami tidak ada ikatan dinas. Dokter harus
mengabdi di luar Pulau Jawa. Diwajibkan. Awalnya saya mau ditarik ke
Irian Jaya (sekarang Papua). Tapi, saya enggak tahu tiba-tiba diganti
kemudian ditugaskan ke Kaltim.
Bagaimana kondisi dokter saat itu?
Dokter saat itu memang sangat kurang.
Saya ditugaskan sebagai dokter di Kabupaten Kutai merangkap kepala
Puskesmas Tenggarong. Luas sekali dulu, karena Kutai tidak seperti
sekarang. Wilayahnya sampai Bontang, Penajam, dan Kutim. Luasnya seperti
Jawa Barat, tapi dokternya hanya 1-2 orang. Bicara tunjangan kecil, Rp
30 ribu per bulan. Hanya cukup makan. Kalau gaji saya lupa.
Saat saya tugas di Tenggarong, tidak ada
lampu, masih pakai lampu minyak tanah. Penyakit warga saat itu malaria.
Saya naik sepeda mengunjungi warga dari Tenggarong hingga ke Loa Kulu.
Biasanya pukul 00.00 Wita baru sampai di rumah. Kemudian pukul 02.00
dini hari dipanggil ke puskesmas.
Saya juga naik ketinting ke Long Iram
dan Long Hubung memeriksa warga. Sekali berangkat, lamanya dua minggu.
Dan saya tidak bisa berenang. Setiap naik ketinting saya bawa pelampung.
Saat tugas di Kutai, Gubernur Awang Faroek Ishak saat itu masih SMA.
Keluarganya sering main ke rumah.
Apakah istri Anda sama siapnya dibawa ke pedalaman?
Kami menikah November 1965. Sementara
saya ditugaskan ke Kaltim Desember 1965. Awalnya saya dulu berangkat ke
Balikpapan. Naik pesawat, dulu landasan Bandara Internasional Sepinggan
masih besi. Kiri-kanan banyak pohon singkong. Empat bulan kemudian baru
istri saya bawa ke Kaltim. Ternyata dia senang.
Berapa lama jadi dokter di Kabupaten Kutai?
Tiga tahun. Pada 1968 saya dipindahkan
sebagai kepala Balai Pengobatan Balikpapan (eks Puskib). Saat itu, pukul
19.00 Wita, Balikpapan sudah sepi. Saya sering tugas ke Kelurahan Baru,
Balikpapan Barat. Apa yang terjadi di Kutai juga terjadi di Balikpapan.
SDM perawat minim, alat-alat kurang, dokter hanya dua orang. Saya
menjabat hingga 1991, saya pensiun di Balikpapan.
51 tahun menjadi dokter, apa ada rasa jenuh?
Saya memang begini orangnya. Kerja saja.
Selain umur yang sudah tua, Anda juga tak membebani pasien yang kesulitan keuangan. Namun, tetap memberikan pelayanan prima…
Begini, kita juga harus memikirkan
kantong pasien. Pokoknya, jangan memberatkan pasien. Sakit juga tidak
sengaja. Ayah saya berpesan, kamu jangan jadi dokter yang kaya.
Apakah tak rugi?
Bukan itu. Saya didoakan pasien agar tetap sehat melayani, saya sudah untung. Saya juga tidak mencari sensasi.
Bagaimana resep Anda agar tetap bugar?
Jaga pola makan. Saya tidak suka jajan
di luar dan makan sembarangan. Lalu, kalau senggang sesekali jalan ke
mal meski tidak belanja. Kebetulan saya ‘kan dari keluarga yang kurang
berada, jadi memang tidak suka jajan. (http://kaltim.prokal.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar