Rabu, 03 Februari 2016

Salutttt..! Dokter Aryono Wardiman Masih Sigap meski Berusia Senja

Libur Hanya di Atas Kertas, Tak Kerja Malah Sakit


SEMANGAT PATUT DITIRU: Aryono Wardiman lama di Tenggarong, kini mengabdikan diri di Balikpapan. Dia kenyang pengalaman melayani pasien.
Umurnya sudah memasuki 81 tahun, namun semangat Aryono Wardiman masih sigap. Tanggung jawabnya sebagai dokter tetap dipikul. 

JARUM  jam menunjukkan pukul 17.00 Wita kala Kaltim Post menyambangi kediaman Aryono di Jalan ARS Muhammad, Nomor 26, RT 28, Kelurahan Klandasan Ulu, Balikpapan Selatan. dokter jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta ini memilih libur. Ya, di atas kertas dia libur, karena tak melayani praktik di kawasan Gunung Sari.
Tapi sebenarnya, matanya tetap terjaga. Setiap Jumat, dia tetap melayani warga yang ingin memeriksakan kesehatan di kediamannya dari pukul 19.30-21.00 Wita. Dalam bincang santai di ruang tamunya, Aryono mengungkapkan, jika menganggur dia justru merasa risih. Berikut wawancara media ini dengan Aryono.

Sekarang Anda menginjak usia 81 tahun. Mengapa tetap menjalani rutinitas yang menguras pikiran? 
Ini cara saya menikmati hari tua. Kalau tidak ada kegiatan, badan saya justru sakit. Kalau selama masih kuat, kita harus kerja, biar sedikit. Selama masih bisa bermanfaat bagi orang lain, maka jangan berhenti. Karena itu, saya sering tanya ke pasien aktivitasnya apa? Mereka bilang tidak ada. Terus akhirnya mereka bilang antar cucu ke sekolah. Ya itu aktivitas. Asal jangan makan tidur, itu malah sakit. Kalau mau sehat, kerja.
 Apakah cita-cita Anda mau jadi dokter?
Kebetulan ibu saya menginginkan tiga anak laki-lakinya sekolah. Satu jadi sarjana hukum, satu jadi insinyur, dan satu jadi dokter. Saya pilih dokter. Saya ikut tes di kedokteran UGM, dan lulus. Biaya SPP saat itu Rp 280 ribu setahun. Bisa dicicil tiga kali. Karena itu, saya berterima kasih ke negara karena biayanya murah. Sehingga saya ingin mengabdikan diri kepada NKRI.
 Bagaimana awal mula Anda menginjakkan kaki di Kaltim?
Saya ‘kan kuliah di UGM pada 1955. Dulu itu, begitu lulus tahun 1965, kami tidak ada ikatan dinas. Dokter harus mengabdi di luar Pulau Jawa. Diwajibkan. Awalnya saya mau ditarik ke Irian Jaya (sekarang Papua). Tapi, saya enggak tahu tiba-tiba diganti kemudian ditugaskan ke Kaltim. 
 Bagaimana kondisi dokter saat itu?
Dokter saat itu memang sangat kurang. Saya ditugaskan sebagai dokter di Kabupaten Kutai merangkap kepala Puskesmas Tenggarong. Luas sekali dulu, karena Kutai tidak seperti sekarang. Wilayahnya sampai Bontang, Penajam, dan Kutim. Luasnya seperti Jawa Barat, tapi dokternya hanya 1-2 orang. Bicara tunjangan kecil, Rp 30 ribu per bulan. Hanya cukup makan. Kalau gaji saya lupa.
Saat saya tugas di Tenggarong, tidak ada lampu, masih pakai lampu minyak tanah. Penyakit warga saat itu malaria. Saya naik sepeda mengunjungi warga dari Tenggarong hingga ke Loa Kulu. Biasanya pukul 00.00 Wita baru sampai di rumah. Kemudian pukul 02.00 dini hari dipanggil ke puskesmas.
Saya juga naik ketinting ke Long Iram dan Long Hubung memeriksa warga. Sekali berangkat, lamanya dua minggu. Dan saya tidak bisa berenang. Setiap naik ketinting saya bawa pelampung. Saat tugas di Kutai, Gubernur Awang Faroek Ishak saat itu masih SMA. Keluarganya sering main ke rumah.
 Apakah istri Anda sama siapnya dibawa ke pedalaman?
Kami menikah November 1965. Sementara saya ditugaskan ke Kaltim Desember 1965. Awalnya saya dulu berangkat ke Balikpapan. Naik pesawat, dulu landasan Bandara Internasional Sepinggan masih besi. Kiri-kanan banyak pohon singkong. Empat bulan kemudian baru istri saya bawa ke Kaltim. Ternyata dia senang.
 Berapa lama jadi dokter di Kabupaten Kutai?
Tiga tahun. Pada 1968 saya dipindahkan sebagai kepala Balai Pengobatan Balikpapan (eks Puskib). Saat itu, pukul 19.00 Wita, Balikpapan sudah sepi. Saya sering tugas ke Kelurahan Baru, Balikpapan Barat. Apa yang terjadi di Kutai juga terjadi di Balikpapan. SDM perawat minim, alat-alat kurang, dokter hanya dua orang. Saya menjabat hingga 1991, saya pensiun di Balikpapan.
 51 tahun menjadi dokter, apa ada rasa jenuh?
Saya memang begini orangnya. Kerja saja.
 Selain umur yang sudah tua, Anda juga tak membebani pasien yang kesulitan keuangan. Namun, tetap memberikan pelayanan prima…
Begini, kita juga harus memikirkan kantong pasien. Pokoknya, jangan memberatkan pasien. Sakit juga tidak sengaja. Ayah saya berpesan, kamu jangan jadi dokter yang kaya.
 Apakah tak rugi?
Bukan itu. Saya didoakan pasien agar tetap sehat melayani, saya sudah untung. Saya juga tidak mencari sensasi.
 Bagaimana resep Anda agar tetap bugar?
Jaga pola makan. Saya tidak suka jajan di luar dan makan sembarangan. Lalu, kalau senggang sesekali jalan ke mal meski tidak belanja. Kebetulan saya ‘kan dari keluarga yang kurang berada, jadi memang tidak suka jajan. (http://kaltim.prokal.co)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar