Rabu, 17 Desember 2014

Menulis Itu Wisata Hati. Cocok Untuk Pensiunan!

Beruntung punya media seperti Kompasiana ini. Bagi penulis pemula atau yang masih malu-malu dan ragu-ragu menampilkan buah pikirannya, media sosial ini, juga yang lainnya seperti Facebook, Twitter, Blog, bahkan SMS dan BBM sekalipun, sangat menolong mengilangkan keraguan tersebut. Pasalnya, kita belum menulis ke taraf yang ‘lebih tinggi’ lagi seperti menjadi kolumnis atau penulis buku. Media sosial ini masih aman untuk kita melatih menuangkan ide dengan gaya penulisan yang kita suka dan mampu menuliskannya. Naik ke taraf yang lebih serius, tentu kita akan menulis dengan memenuhi ketentuan teknik penulisan yang lebih baik lagi karena akan dibaca banyak orang dan nama kita pun  tampil, meskipun nama pena. Setidaknya secara moral kita punya tanggung jawab untuk ‘mempertanggung jawabkan’ apa yang kita tulis itu.
Saya sekarang lagi senang-senangnya mengamati dan membahas tulisan seputar Pensiun. Alasannya sih pribadi karena ‘orang sebelah’ alias soulmate saya, sudah kepingin segera pensiun. Padahal kata ‘Pensiun” buat saya kata yang sangat menakutkan. Bener, lho. Kenapa?
1391234146126609014
Kalau bicara pensiun, yang terbayang di mata saya adalah figur Ayah saya, almarhum. Saya tahu persis apa dan bagaimana beliau menyiapkan dan menjalani masa pensiun tersebut. Beliau juga karena satu dan lain hal, pensiun sebelum waktunya. Tepatnya “ngambek” (lah, kok dikasih tau pembaca :D). Beliau mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai PNS ‘cuma’ gara-gara tersinggung dimana beliau seharusnya cikal bakal atau calon jadi untuk menduduki suatu posisi tertentu yang semua orang juga tahu dan mendukung. Termasuk atasannya. Namun nasib berkata lain, justru orang yang tidak dikenal dan datang dari luar instansi beliau yang diangkat. Ayah saya kecewa karena ide-ide dan rencana yang selama ini akan dilanjutkan, jika punya wewenang dengan jabatan baru tersebut, akan membuat program kerja dimana ia berada akan semakin sukses. Ternyata hal ini tidak diduga oleh beliau. Maka, pensiun dini adalah pilihan terbaik yang beliau ambil, walau sudah tinggal beberapa tahun saja lagi masa pensiun itu datang. Untung beliau tetap sehat dan masih bisa ceria dengan isteri, anak, menantu dan cucu.
Setelah pensiun, ayah saya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berkebun, hingga halaman rumah kami yang lumayan luas tertata rapi, hijau, bersih dan membuat decak kagum mereka yang lewat atau singgah di rumah kami. Selain itu beliau juga jago membuat perkakas rumah tangga, seprti kursi kayu, lemari, memperbaiki mesin air, juga membangun sebuah saung di halaman belakang rumah. Jadilah kami kalau berkumpul makan bersama di atas saung buatan Ayah.
Hobi beliau yang lain adalah membaca, baik koran maupun buku. Ayah saya punya koleksi buku yang tertata rapi. Jika ada buku baru tentang tokoh atau olah raga -karena beliau bekerja di dunia keolah ragaan- pasti dibelinya, lalu kami harus mendengar celoteh beliau tentang buku-buku yang telah dibacanya.
Namun sayang, Ayah saya kurang suka bergaul. Semenjak pensiun, beliau lebih senang menghabiskan waktunya dengan segala hobinya seperti di atas. Kami anak-anaknya, suka membawa beliau jalan-jalan, namun beliau maleees sekali kalau diajak kumpul acara keluarga. Kata beliau, isinya cuma gosip dan perbandingan harta saja….hehehee.
Semakin tua semakin lemah fisik dan psikologis beliau. Pelan-pelan kepikunan mulai merambah. Ayah semakin senang menyendiri walau masih suka bersama anak dan cucu-cucunya. Hingga suatu saat dalam usia yang ‘belum terlalu tua’ , 75 tahun, beliau kembali ke haribaanNya dengan tenang.
Apa yang ingin saya sampaikan dengan kisah di atas adalah, bahwa seorang pensiunan sebenarnya punya waktu banyak, pengalaman berjibun, dan tanpa tekanan siapa pun karena betul-betul sudah menjadi orang bebas. Semua tanggalan bisa jadi dianggap merah. Semua hari libur. Tidak perlu terburu-buru bangun pagi untuk siap ke kantor, cukup untuk beribadah saja. Tidak pelu memikirkan kemacetan dan kesimpang siuran perjalanan. Enak, bukan?
Selain mengisi hari-hari pensiun dengan contoh di atas, terpikir oleh saya, mengapa para pensiunan tidak menulis dengan aktif ya? Pengalaman dan pikiran, baik yang sudah tercapai maupun masih potensial untuk dikembangkan, ditulis sedikit demi sedikit. Terserah bagaimana cara menulisnya, apa tulis tangan sendiri, atau diketik sendiri, atau dituliskan orang lain sambil mendengarkan beliau bertutur, atau direkam ucapan beliau lalu disalin dengan baik menjadi tulisan
Memang, kalau kita perhatikan di koran-koran, misalnya, para penulis itu memang para senior. Boleh jadi mereka juga sudah pensiun. Tapi bagi pensiun dari kalangan orang biasa, seperti Ayah saya tadi, sangat bagus juga kalau sampai bisa menuliskan pengalaman hidupnya. Selain berbagi, pasti akan mendapat manfaat menulis sebagai ‘healing’ atau terapi jiwa.
Bagi pensiunan yang mengakhiri karirnya dengan mulus, mungkin menuliskan pengalaman hidup mereka merupakan suatu bentuk “Wisata Hati”. Mereka bisa berkelana kesana ke mari, membongkar khasanah dan warisan ilmu dan budayanya bagi orang lain. Mereka bisa dengan sesuka hati berhenti di satu destinasi pengalaman ke destinasi berikutnya yang tidak kalah serunya. Ini tentu bisa menjadi wawawan dan acana unik bagi pembacanya. Setidaknya bagi anak cucunya.
Yang saya takutkan dari pensiun adalah ketika kita menjadi pasif, lemah, letoi, tidak berdaya, takut dan penyakitan. Itu karena masa pensiun kita anggap sebagai terminal terakhir perjalanan hidup. Seakan menunggu maut datang. Hidup diserahkan mutlak kepada waktu dan alam. Hari-hari hanya dilalui dengan pertengkaran dengan pasangan atau konflik dengan anak menantu. Ah, amit-amitlah, jangan sampai kita seperti itu.
Bagi yang masih jauh dari pensiun, mari kita mulai latihan menulis, supaya ketika waktunya tiba hati kita bisa jalan-jalan kesana kemari walaupun duduk di rumah sambil ngemong cucu. (http://kesehatan.kompasiana.com/)
*Foto diambil dari www.investorschronicle.co.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar