"Saya mau menari gandrung sampai kaki, tangan, dan badan ini sudah tidak bisa digerakkan lagi," tutur Mbok Temu, perempuan berusia 65 tahun, warga Dusun Kedaleman, Desa Kemirien, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Ucapan itu menggambarkan sikap, pandangan, dan pilihan Mbok Temu sebagai penari gandrung profesional. Sikap ini dia tunjukkan sebab penari gandrung seangkatannya banyak yang memilih pensiun. Ia juga melatih, menularkan ilmunya kepada kaum muda yang ingin belajar tarian gandrung. tarian yang menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi.
Ia bertekad tetap aktif memenuhi undangan ngibing. "Saya sedang menunggu jemputan, ngegandrung," ujarnya pada suatu sore menjelang magrib, mempertegas konsistensinya pada kesenian gandrung. Selama November 2010, misalnya, Mbok Temu "ngamen" di tiga lokasi dan sanggup begadang mulai pukul 09.00 hingga 04.00.
Ia memang penari gandrung profesional. Profesional yang dia maksud adalah menggelar tari gandrung yang meliputi tahapan Topengan (tarian menggambarkan gerak-gerik ksatria), Jejer (tari pembuka), Ngrepen/Repenan (penari duduk bersama tamu dan mengajaknya menari), Paju/Maju (mengatur pergiliran tamu yang ingin menari dengan penari gandrung), dan Seblang-seblangan (tarian penutup di akhir pagelaran).
Mbok Temu tampil sebagai penari gandrung terop memenuhi keinginan pengundang, tanpa meninggalkan gandrung profesional yang sudah memiliki pakem. Cintanya pada gandrung telah memberi kebahagiaan dan kepuasan bagi Mbok Temu. Lewat kesenian inipula, pada periode 1970-1980 ia mencapai popularitas sebagai salah satu primadona penari gandrung.
Ia ngamen dari desa ke desa, para pengundang antre menunggu jadual kesediaannya untuk tampil. Tak heran bila masyarakat saat itu lebih mengenal Mbok Temu ketimbang bupati atau pejabat eksekutif dan legislatif.
Kelebihan Mbok Temu tak hanya pada kemampuannya menari, tetapi juga suaranya yang nyaring dan bening dalam melantunkan syair kesenian gandrung. Untuk bisa melahirkan suara yang bening, ia menjalani terapi gurah dengan memasukkan ke hidungnya ramuan berbahan daun cabai, bawang putih, dan kunyit yang ditumbuk halus, lalu diberi sedikit air. Konon ramuan itu bisa menghilangkan lendir di tenggorokan. "Rasanya pedih sekali, air mata sampai keluar," katanya.
Rumah di atas tanah seluas 6 meter x 12 meter yang dia tempati bersama anak angkatnya membuktikan penari ini mampu meraih sukses. Melatih remaja putri menjadi penari gandrung atau menerima mereka yangnyantrik atas kemauan sendiri adalah bentuk totalitas Mbok Temu pada gandrung.
Mbok Temu adalah salah seorang dari 20 seniman di Kabupaten Banyuwangi yang mengantongi kartu Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ia berhak mendapat layanan kesehatan pada 16 rumah sakit di provinsi itu.
Bertani
Bulan Muharam, Ramadhan, dan Zulkaidah adalah masa sepi tanggapan, karena masyarakat menganggap pantang mengadadkan acara sukaria pada bulan-bulan itu. Jadilah Mbok Temu mengisi hari-harinya dengan bertani di sawah peninggalan orangtuanya seluas 0,25 hektar dan membuat busana kelengkapan menari yang berhiaskan manik-manik dan dijual seharga Rp.40.000. Selebihnya perempuan yang semula bernama Misti ini beternak ayam yang dipelihara di belakang rumahnya. "Bulan ini ada 20 ekor yang terjual, dengan harga rata-rata Rp.30.000 per ekor," katanya.
Di luar bulan "terlarang" untuk pentas itu, Mbok Temu memenuhi padatnya jadual undangan, bahkan pengundang harus antre untuk itu. "Saya senang, banggalah, apalagi ditonton orang banyak," katanya. Namun, disisi lain, ia memendam sakit hati menyusul kesan "miring" yang menimpa penari gandrung, seperti gemar kawin-cerai atau gampang "diajak". Gemerlapnya hiasan pakaian penari gandrung dan gerakan pinggulnya yang terkesaan erotis membuat pemaju (lelaki yang menjadi lawan menarinya) terpesona.
"Jika ada pemaju yang ketahuan ingin mencium, harus kita hindari dengan langkah pendek sambil memutar atau menangkis dengan tangan," kata Mbok Temu.
Sakit-sakitan
Berbagai konsekuensi agaknya sudah dipertimbangkannya, terlebih ada pengalaman batin yang melatarbelakangi proses persinggungannya sebagai penari gandrung. "Sewaktu usia saya belum genap lima tahun, saya sering sakit. Setelahberobat padaorang 'pintar', nama saya diganti dari Misti menjadi Temu. Dukun itu bilang kepada ibu, agar nanti setelah sembuh saya menjadi penari gandrung,"
Menginjak usia 15 tahun, Mbok Temu resmi menjadi penari gandrung. Belakangan orangtuanya, pasangan Mustari-Supiah, yang semula tak setuju karena kakeknya seorang tokoh agama, berbalik mendukung. Mustari malahmembuatkan omprok (mahkota) dari kertas bekas pembungkus semen.
Tahun 1970-1980-an adalah masa sibuk Mbok Temu. Undangan untuk tampil datang silih berganti. Selain dia diminta pentas di Banyuwangi, permintaan juga datang dari jakarta, Surabaya, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Bali.
"kalau saya main jam 21.00, berarti berangkat dari rumah menjelang magrib. Kami membawa obor karena saat itu belum ada listrik," cerita Mbok Temu. Pembagian hasil pentas adalah 40 persen untuk gandrung, 60 persen untuk yogo atau penabuh kendang, ketuk, kenong, biola, dan kluncing (alatmusik berbentuk triangle).
Pembagian hasil yang teratur, ditambah kecenderungan masyarakat yang melihat gandrung sebagai hiburan dewasa, membuat Mbok Temu yang juga pemilik Sanggar Kesenian Gandrung Sopo Ngiro ini bertahan sebagai penari dalam usianya yang kian sepuh.
(http://sutarko.blogspot.com/)
Ucapan itu menggambarkan sikap, pandangan, dan pilihan Mbok Temu sebagai penari gandrung profesional. Sikap ini dia tunjukkan sebab penari gandrung seangkatannya banyak yang memilih pensiun. Ia juga melatih, menularkan ilmunya kepada kaum muda yang ingin belajar tarian gandrung. tarian yang menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi.
Ia bertekad tetap aktif memenuhi undangan ngibing. "Saya sedang menunggu jemputan, ngegandrung," ujarnya pada suatu sore menjelang magrib, mempertegas konsistensinya pada kesenian gandrung. Selama November 2010, misalnya, Mbok Temu "ngamen" di tiga lokasi dan sanggup begadang mulai pukul 09.00 hingga 04.00.
Ia memang penari gandrung profesional. Profesional yang dia maksud adalah menggelar tari gandrung yang meliputi tahapan Topengan (tarian menggambarkan gerak-gerik ksatria), Jejer (tari pembuka), Ngrepen/Repenan (penari duduk bersama tamu dan mengajaknya menari), Paju/Maju (mengatur pergiliran tamu yang ingin menari dengan penari gandrung), dan Seblang-seblangan (tarian penutup di akhir pagelaran).
Mbok Temu tampil sebagai penari gandrung terop memenuhi keinginan pengundang, tanpa meninggalkan gandrung profesional yang sudah memiliki pakem. Cintanya pada gandrung telah memberi kebahagiaan dan kepuasan bagi Mbok Temu. Lewat kesenian inipula, pada periode 1970-1980 ia mencapai popularitas sebagai salah satu primadona penari gandrung.
Ia ngamen dari desa ke desa, para pengundang antre menunggu jadual kesediaannya untuk tampil. Tak heran bila masyarakat saat itu lebih mengenal Mbok Temu ketimbang bupati atau pejabat eksekutif dan legislatif.
Kelebihan Mbok Temu tak hanya pada kemampuannya menari, tetapi juga suaranya yang nyaring dan bening dalam melantunkan syair kesenian gandrung. Untuk bisa melahirkan suara yang bening, ia menjalani terapi gurah dengan memasukkan ke hidungnya ramuan berbahan daun cabai, bawang putih, dan kunyit yang ditumbuk halus, lalu diberi sedikit air. Konon ramuan itu bisa menghilangkan lendir di tenggorokan. "Rasanya pedih sekali, air mata sampai keluar," katanya.
Rumah di atas tanah seluas 6 meter x 12 meter yang dia tempati bersama anak angkatnya membuktikan penari ini mampu meraih sukses. Melatih remaja putri menjadi penari gandrung atau menerima mereka yangnyantrik atas kemauan sendiri adalah bentuk totalitas Mbok Temu pada gandrung.
Mbok Temu adalah salah seorang dari 20 seniman di Kabupaten Banyuwangi yang mengantongi kartu Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Ia berhak mendapat layanan kesehatan pada 16 rumah sakit di provinsi itu.
Bertani
Bulan Muharam, Ramadhan, dan Zulkaidah adalah masa sepi tanggapan, karena masyarakat menganggap pantang mengadadkan acara sukaria pada bulan-bulan itu. Jadilah Mbok Temu mengisi hari-harinya dengan bertani di sawah peninggalan orangtuanya seluas 0,25 hektar dan membuat busana kelengkapan menari yang berhiaskan manik-manik dan dijual seharga Rp.40.000. Selebihnya perempuan yang semula bernama Misti ini beternak ayam yang dipelihara di belakang rumahnya. "Bulan ini ada 20 ekor yang terjual, dengan harga rata-rata Rp.30.000 per ekor," katanya.
Di luar bulan "terlarang" untuk pentas itu, Mbok Temu memenuhi padatnya jadual undangan, bahkan pengundang harus antre untuk itu. "Saya senang, banggalah, apalagi ditonton orang banyak," katanya. Namun, disisi lain, ia memendam sakit hati menyusul kesan "miring" yang menimpa penari gandrung, seperti gemar kawin-cerai atau gampang "diajak". Gemerlapnya hiasan pakaian penari gandrung dan gerakan pinggulnya yang terkesaan erotis membuat pemaju (lelaki yang menjadi lawan menarinya) terpesona.
"Jika ada pemaju yang ketahuan ingin mencium, harus kita hindari dengan langkah pendek sambil memutar atau menangkis dengan tangan," kata Mbok Temu.
Sakit-sakitan
Berbagai konsekuensi agaknya sudah dipertimbangkannya, terlebih ada pengalaman batin yang melatarbelakangi proses persinggungannya sebagai penari gandrung. "Sewaktu usia saya belum genap lima tahun, saya sering sakit. Setelahberobat padaorang 'pintar', nama saya diganti dari Misti menjadi Temu. Dukun itu bilang kepada ibu, agar nanti setelah sembuh saya menjadi penari gandrung,"
Menginjak usia 15 tahun, Mbok Temu resmi menjadi penari gandrung. Belakangan orangtuanya, pasangan Mustari-Supiah, yang semula tak setuju karena kakeknya seorang tokoh agama, berbalik mendukung. Mustari malahmembuatkan omprok (mahkota) dari kertas bekas pembungkus semen.
Tahun 1970-1980-an adalah masa sibuk Mbok Temu. Undangan untuk tampil datang silih berganti. Selain dia diminta pentas di Banyuwangi, permintaan juga datang dari jakarta, Surabaya, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Bali.
"kalau saya main jam 21.00, berarti berangkat dari rumah menjelang magrib. Kami membawa obor karena saat itu belum ada listrik," cerita Mbok Temu. Pembagian hasil pentas adalah 40 persen untuk gandrung, 60 persen untuk yogo atau penabuh kendang, ketuk, kenong, biola, dan kluncing (alatmusik berbentuk triangle).
Pembagian hasil yang teratur, ditambah kecenderungan masyarakat yang melihat gandrung sebagai hiburan dewasa, membuat Mbok Temu yang juga pemilik Sanggar Kesenian Gandrung Sopo Ngiro ini bertahan sebagai penari dalam usianya yang kian sepuh.
(http://sutarko.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar