Banyak perusahaan besar dan instansi menyelenggarakan pembekalan Masa Persiapan Pensiun (MPP). Mempersiapkan pegawai/karyawan menghadapi masa purna bakti memang diperlukan, agar mereka dapat berbenah diri sebaik mungkin dalam menghadapi perubahan yang terbilang cukup besar dalam kehidupannya.
Sebagian besar orang Indonesia memang tidak siap pensiun. Mengapa? Usia pensiun di Indonesia adalah 55 tahun. Jika harapan hidup adalah 75 tahun, maka masih diperlukan dana hidup setidaknya selama 20 tahun ke depan.
Ada pun dana yang diperlukan antara lain adalah :
- Dana untuk membayar hutang,
- Dana untuk pendidikan anak sampai dengan selesai S1 bahkan S2, yang rata-rata
kenaikan biaya pendidikan per tahun 20%,
- Dana darurat (kesehatan, pernikahan, kunjungan dll)
- Biaya hidup sampai akhir hayat,
- Biaya kegagalan dalam bisnis.
Para pegawai yang terbiasa menggantungkan hidupnya pada gaji, tunjangan, dan bonus dari perusahaannya, kelak harus mampu mengatur dana yang ada dengan sebijaksana dan setepat mungkin.
Banyak perusahaan ingin mengarahkan para calon pensiunan itu untuk menjadi pengusaha. Entah dalam bentuk menghadirkan berbagai contoh success story para pengusaha, maupun menghadirkan berbagai pilihan francise dalam masa pembekalan tersebut. Memang masih tetap diselipkan materi persiapan mental dan penambahan wawasan tentang pengelolaan keuangan rumah tangga.
Sebagai orang yang turut terlibat dalam pembuatan pola/ desain program pelatihan masa pensiun, saya dan team memandang bahwa pensiun tidak harus menjadi pengusaha. Tidak ada yang salah dengan memperlihatkan sisi positif mengisi masa purna bakti dengan membuka babak baru sebagai wirausahawan.
Namun hal yang paling penting dalam hal ini adalah, memberikan motivasi, inspirasi dan dorongan agar para pensiunan itu kelak dapat menikmati masa pensiun dengan bahagia. Bahagia adalah menjalani hari-hari dengan penuh rasa syukur, dengan segala hal yang mendatangkan ketenangan dan ketentraman batin. Bahagia tidak identik dengan berlimpahnya uang di tangan, atau harta benda yang terus bertambah sepanjang hayat.
Sebagian pensiunan memang masih memiliki cadangan energi yang cukup banyak sehingga masih dapat belajar lagi dari awal untuk menjalani babak baru sebagai wirausahan tadi. Ditambah dengan jaringan teman-teman yang sudah banyak, jika dapat dimanfaatkan dengan baik, maka akan menjadi salah satu penyokong usahanya.
Namun jangan lupa, lebih banyak dari mereka yang telah terbentuk pola hidup, pola pikir dan pola kerja sebagai pegawai sekian puluh tahun lamanya. Menjadi wirausahawan membutuhkan pembelajaran ‘investasi waktu dan tenaga’ yang tidak sedikit. Naluri seorang pegawai pasti berbeda dengan seorang pengusaha. Selain siap untuk bekerja keras, diperlukan latihan kepekaan yang lagi-lagi membutuhkan ilmu yang didapat dari pengalaman perjalanan.
Seseorang yang telah menjadi boss/ petinggi di sebuah perusahaan pun tetap harus mengawalinya dengan berbagai pembelajaran baru jika hendak menerjunkan diri ke dunia usaha. Secara keilmuan mungkin sudah kaffah, namun secara praktek belum tentu sebaik pengetahuannya.
Dari berbagai contoh kasus, banyak di antara mereka yang begitu menerima uang pesangon dimana terlihat besar dari segi jumlah, akhirnya amblas karena tertipu. Ia tergiur untuk melakukan investasi ke sebuah bidang usaha, dengan atau tanpa dirinya turut terlibat di dalamnya.
Pertama adalah, karena bagaimanapun sebuah usaha tetap mempunyai resiko, dan seseorang harus mampu mengukur resiko yang mampu ditanggungnya. Kedua, banyak orang yang kurang baik ( bahkan jahat, redaksi ) yang mengincar para pensiunan sebagai korban berikutnya. Ini bisa menimpa siapa pun, dari pegawai level pelaksana hingga decission maker /pimpinan.
Seorang kenalan bahkan menceritakan, sahabatnya yang adalah mantan kolonel telah kehilangan 3 buah rumahnya karena tertipu rekan bisnisnya. Ia kini menjalani masa pensiun dengan segenap kepayahan secara finansial, yang berbuntut pada masalah fisik dan mental. Sungguh sesuatu yang memilukan bukan?
Jadi kami melihat, pelatihan MPP ini selayaknya memperlihatkan dengan terang benderang berbagai ancaman yang bisa saja menghampiri. Selain memperlihatkan variasi bisnis dengan modal yang tidak terlalu besar, juga memperlihatkan berbagai alternatif untuk mengelola asset menjadi lebih produktif, seperti membangun kontrakan misalnya.
Yang terpenting adalah, hiduplah lebih bersahaja dari waktu sebelumnya. Membangun sikap positif dalam diri adalah hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Mengisi hari pensiun dengan menulis, menjadi pengajar, dan mendedikasikan waktu untuk kegiatan kemasyarakatan sebagaimana kiprah Pak JK di PMI, serta mengerjakan aneka hobi yang selama ini tidak dapat dilakukan adalah pilihan-pilihan kegiatan yang diyakini berdampak positif sehingga dapat menjalani masa pensiun dengan bahagia. Termasuk memanfaatkan masa pensiun dengan menambah ilmu di bidang keagamaan yang tak sempat dilakukan di masa kerja
Bukankah kebahagiaan itu tidak identik dengan banyaknya uang di tangan??? Pensiun bukan masa yang datang tiba-tiba. Rencanakan dengan baik, dan bersahabatlah dengannya. Agar tetap bahagia ketika Anda perlahan tapi pasti akan memasukinya. (dita widodo/http://sosbud.kompasiana.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar