Namun sayang, tak semua ibu dapat merasakan kebahagiaan seperti itu.
Tak sedikit para ibu yang telah uzur itu menghabiskan masa hidupnya di
panti jompo.
Sejak saat itu pula hingga sekarang, tak pernah lagi ia melihat wajah ke empat anaknya. “Sebenarnya ingin sekali bertemu anak-anak saya, ingin sekali…manusiawi ya. Tapi bagaimana lagi enggak bisa,” tutur perempuan asal Jawa Timur itu saat disambangi di Panti Tresna Werdha, beberapa waktu lalu.
Surtini mahfum, ia tak bisa memaksa anak-anaknya membesuk dirinya di panti. “Mereka sibuk bekerja, saya faham,” kata surtini.
Bahkan saat jutaan umat Muslim berkumpul bersama keluarga saat hari raya Lebaran, ia justru merayakannya di panti bersama puluhan lansia lainnya yang bernasib serupa. Surtini menceritakan sebagian kisah hidupnya hingga berujung ke panti jompo.
Selama 20 tahun, ia menjadi wanita “perkasa”. Membesarkan anak-anaknya seorang diri setelah suaminya meninggal dunia. Setelah anak-anaknya menikah, kehidupan mulai berubah.
“Kadang kita kan punya sifat ingin diperhatikan, anak-anak menantu sibuk kerja. Saya ini sensitif, saya sadar kehadiran saya di situ seperti apa, akhirnya saya keluar,” kenangnya.
Ia memilih Panti Tresna Werdha lantaran semasa suaminya masih hidup ia familiar berkeliling Jogja.
Surtini tak sendiri, ada puluhan lansia lainnya yang bernasib sama. Fatimah, salah satunya. Fatimah tak punya anak kandung hanya anak angkat. Namun nasibnya sedikit beruntung ketimbang Surtini.
Sebulan atau dua bulan sekali, anak angkatnya membesuk Fatimah ke panti. “Lebaran datang, tapi sampai nanti saya tua saya ingin di sini enggak mau merepotkan anak, meski sejak lahir sampai dewasa saya besarkan,” tutur Fatimah.
Surtini dan fatimah berkawan akrab. Lantaran pemikirannya dianggap masih baik dibanding penghuni panti lainnya, ke dua sahabat itu kerap membantu menyiapkan makanan dan keperluan para lansia lainnya di panti.
Pekerja Sosial (Peksos) Panti Tresna Werdha Nurhayati menguraikan, ibu-ibu seperti Surtini dan Fatimah sejatinya tak butuh banyak permintaan.
“Mereka itu sebenarnya hanya ingin dimanusiawikan saja. Diajak komunikasi, diperhatikan seperti layaknya manusia,” terang dia.
Diperlakukan seperti manusia umumnya, seperti saat mereka masih muda dan kuat serta mampu menghidupi anak-anaknya.
Namun kondisi di panti menurutnya sangat ironis. Kendati ibu adalah perempuan yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, tak sedikit mereka dibuang ke panti.
“Memang ada yang masih menjenguk, tapi kebanyakan setelah ditaruh di sini enggak dijenguk lagi. Penyebabnya sebagian besar karena keluarga sibuk bekerja,” jelas Nur sapaan akrabnya.
Bahkan ada pula ibu lansia yang tak punya sanak keluarga diantar ke panti oleh orang tak dikenal.
“Ibu itu sudah pikun, sejak datang sampai sekarang tiap hari dari pagi sampai malam hanya memandangi jendela, menunggu ada orang yang mau membawanya pulang,” kisahnya.
Februari 2012, Surtini, kali pertama menapakkan kaki ke panti jompo Tresna Werdha, Kasihan, Bantul.
Perempuan 71 tahun itu pindah dari Bandung, Jawa Barat, kota yang
pernah ia tinggali bersama suami dan ke empat anaknya. Tak diantar anak
atau sanak saudara, ia datang sendiri ke panti jompo.Sejak saat itu pula hingga sekarang, tak pernah lagi ia melihat wajah ke empat anaknya. “Sebenarnya ingin sekali bertemu anak-anak saya, ingin sekali…manusiawi ya. Tapi bagaimana lagi enggak bisa,” tutur perempuan asal Jawa Timur itu saat disambangi di Panti Tresna Werdha, beberapa waktu lalu.
Surtini mahfum, ia tak bisa memaksa anak-anaknya membesuk dirinya di panti. “Mereka sibuk bekerja, saya faham,” kata surtini.
Bahkan saat jutaan umat Muslim berkumpul bersama keluarga saat hari raya Lebaran, ia justru merayakannya di panti bersama puluhan lansia lainnya yang bernasib serupa. Surtini menceritakan sebagian kisah hidupnya hingga berujung ke panti jompo.
Selama 20 tahun, ia menjadi wanita “perkasa”. Membesarkan anak-anaknya seorang diri setelah suaminya meninggal dunia. Setelah anak-anaknya menikah, kehidupan mulai berubah.
“Kadang kita kan punya sifat ingin diperhatikan, anak-anak menantu sibuk kerja. Saya ini sensitif, saya sadar kehadiran saya di situ seperti apa, akhirnya saya keluar,” kenangnya.
Ia memilih Panti Tresna Werdha lantaran semasa suaminya masih hidup ia familiar berkeliling Jogja.
Surtini tak sendiri, ada puluhan lansia lainnya yang bernasib sama. Fatimah, salah satunya. Fatimah tak punya anak kandung hanya anak angkat. Namun nasibnya sedikit beruntung ketimbang Surtini.
Sebulan atau dua bulan sekali, anak angkatnya membesuk Fatimah ke panti. “Lebaran datang, tapi sampai nanti saya tua saya ingin di sini enggak mau merepotkan anak, meski sejak lahir sampai dewasa saya besarkan,” tutur Fatimah.
Surtini dan fatimah berkawan akrab. Lantaran pemikirannya dianggap masih baik dibanding penghuni panti lainnya, ke dua sahabat itu kerap membantu menyiapkan makanan dan keperluan para lansia lainnya di panti.
Pekerja Sosial (Peksos) Panti Tresna Werdha Nurhayati menguraikan, ibu-ibu seperti Surtini dan Fatimah sejatinya tak butuh banyak permintaan.
“Mereka itu sebenarnya hanya ingin dimanusiawikan saja. Diajak komunikasi, diperhatikan seperti layaknya manusia,” terang dia.
Diperlakukan seperti manusia umumnya, seperti saat mereka masih muda dan kuat serta mampu menghidupi anak-anaknya.
Namun kondisi di panti menurutnya sangat ironis. Kendati ibu adalah perempuan yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, tak sedikit mereka dibuang ke panti.
“Memang ada yang masih menjenguk, tapi kebanyakan setelah ditaruh di sini enggak dijenguk lagi. Penyebabnya sebagian besar karena keluarga sibuk bekerja,” jelas Nur sapaan akrabnya.
Bahkan ada pula ibu lansia yang tak punya sanak keluarga diantar ke panti oleh orang tak dikenal.
“Ibu itu sudah pikun, sejak datang sampai sekarang tiap hari dari pagi sampai malam hanya memandangi jendela, menunggu ada orang yang mau membawanya pulang,” kisahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar