Selasa, 29 Maret 2016

Menjadi Orang tua Idola

 

ANAK merupakan titipan Allah SWT, yang harus dijaga. Suatu waktu ia akan ditarik kembali sama yang memberikan kita titipan yakni Tuhan pemilik alam semesta. Orang tua si anakpun tidak bisa menjadi pemilik sejati. Saat Allah SWT, menitipkan anak ke kita maka sesungguhnya kita telah diberi amanah yang sangat besar. Betapa tidak? Karena anak bukan saja dititipkan Allah begitu saja kepada kita, melainkan titipan itu bermakna bahwa anak harus diberikan pendidikan yang layak. Pendidikan yang mampu menjadikan anak tahu akan tugas dan fungsinya di dunia ini.
Abu Hamid al- Ghazali rahimahullah mengatakan “ seorang anak adalah amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya masih suci laksana mutiara yang sangat mahal. Jika ia dibiasakan dan diajari pada hal-hal yang baik maka ia akan tumbuh baik. Dan ia akan bahagia dunia dan akhirat. Sebaliknya jika ia dibiasakan pada hal-hal buruk dan ditelantarkan seperti menelantarkan binatang, tentu ia akan celaka dan binasa. Menjaga anak berarti mendidik dan mengajarkan padanya akhlak yang baik.” Bahkan lebih tegas ibnul Qayyim mengatakan, ‘ jika kamu melihat kerusakan pada anak, sebagian besar faktor berpulang pada ayahnya” (Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, 2001:444-445).
Anak-anak zaman sekarang sangat mudah meniru orang-orang diluar rumah sana yang padahal sebenarnya yang ditiru itu belum tentu baik. Oleh sebab itu, sebagai ‘penangkal’ dari hal itu Orang tua yang lebih lama bersama anaknya saat di rumah harus bisa menampilkan diri sebagai sosok yang mampu memikat hatinya. Hatinya yang terpikat tentu membuat ia tidak lagi mengidolakan orang di luar sana. Di tengah-tengah kesibukan orang tua mencari nafkah hendaklah bukan menjadi alasannya untuk berlepas diri dalam rangka mendidik anak. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua merupakan sesuatu yang amat berharga bagi diri anak. Sebuah ungkapan yang ditulis oleh Al Tridhonanto dalam bukunya jangan Katakan Bodoh ! Panduan untuk Orang Tua dan Anak menyebutkan “anak-anak adalah pihak yang bergantung pada orang tua ketika menghadapi persoalan. Anak yang cuek biasanya terpengaruh atas kondisi orang tuanya yang juga cuek. Jarang sekali anak yang peduli terhadap lingkungan sekitarnya tetapi orang tuanya masa bodoh tidak peduli apa yang terjadi.”
Oleh sebab itu, anak yang dididik dengan teladan maka ia akan menjadi figur yang membanggakan. Sebuah ungkapan yang di tulis oleh Umi Aghla dalam bukunya mengakrabkan anak pada ibadah ia mengutip apa yang diungkapkan Dorothy Law Nollte sebagai berikut :
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan,  ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketenteraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.
Dari kutipan diatas kita dapat mengambil hikmah dan memberikan penekanan bahwa betapa keteladanan itu sangat berperan penting dalam kehidupan anak. Nabi Muhammad SAW, menjadi suri teladan yang baik untuk kita tiru, bahkan sebelum nabi Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul beliau sudah membangun sifat yang patut ditiru sehingga ia diberi gelar al-amin. Seharusnya memang kita juga mendapatkan ‘gelar’ dihadapan anak-anak kita. Jika nabi diidolakan oleh semua umat muslim, paling tidak kita bisa berusaha menjadi idola anak-anak kita.
Sekarang sedang menjadi ‘trending topic” kasus Gay, Lesbi, Biseksual dan Transgender (GLBT). Terlebih lagi kasus yang membuat pendangdut Syaiful Jamil ke rana hukum. Hadirnya kasus itu semakin menambah keprihatinan masyarakat Indonesia terhadap negeri tercinta ini. Apa yang menyebabkan itu semua bisa terjadi? Pelakunyalah yang tahu persis penyebabnya. Oleh karena itu, orang tua harus memberikan pendidikan di rumah sebenar mungkin dalam mencegah munculnya “penyakit” GLBT. Umpamanya, jika dalam 1 keluarga mempunyai anak 5 orang.  4 orang cewek dan satu  orang adik bungsu cowok. Maka orang tua harus seketat mungkin memperhatikan cara mereka bermain denga adiknya. Karena keadaan ini bisa membuat si adik cowok berpenampilan seperti kakaknya, bahkan lebih tegas dalam hal permainan pun orang tua harus memperhatikan permainan yang dilakoni oleh anak cowoknya. Sehingga tidak memunculkan sikap feminisme pada diri si anak cowok tersebut. Atau justru sebaliknya  5 orang dalam satu keluarga adik bungsu cewek. Maka orang tua juga harus melihat cara bermain anak cewek dan pergaulan si anak dengan abang-abangnya agar tidak memunculkan sifat maskulin yang bisa menimbulkan lagi sifat GLBT.  Islam sudah sedini mungkin mengingatkan para orang tua dengan mengabarkan bahwa anak di usia tertentu sudah harus mempunyai kamar tersendiri dan bahkan lebih tegas lagi anak harus meminta izin masuk ke kamar orang tua di waktu-waktu tertentu. Perintah ini jika diterapkan tentu akan berdampak baik bagi anaknya, karena memang ada hal-hal yang belum layak untuk mereka ketahui di usianya tertentu.
Sesuai dengan judul diatas bahwa jika ingin dijadikan idola oleh anak-anak sendiri atau menjadi orang tua idola anak, maka berusahalah meniru seperti kehidupan nabi Muhammad SAW, agar kita bisa diidolakan oleh anak. Pada hakikatnya saat kita memberikan pendidikan dan keteladan ke anak dengan sungguh-sungguh maka secara otomatis kita akan menjadi idola tersendiri dihati anak-anak kita. Mendidik mesti harus dengan hati agar yang dididik mudah tersentuh hatinya. Sebuah semboyan menarik yang ditulis oleh Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam dalam bukunya Meraih cita-cita dengan semangat membara,  mengatakan bahwa “anak-anak adalah masa depan. Semboyan ini adalah realita dan bukan khayalan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya cita-cita utama difokuskan pada upaya mempersiapkan mereka agar kelak bisa menjadi orang-orang yang terpecaya mengemban amanat masa depan umat islam, mendidik anak harus dimulai sedini mungkin.
Idealnya memang seorang anak harus mengidolakan orang tuanya, sebab tidak ada orang tua yang menunjukan hal-hal jelek didepan anaknya. Namun jika kita melihat realiatanya tidak demikian. Justru terkadang orang tua tidak memberikan contoh yang baik, kadang mereka bertengkar dengan istri didepan anak-anaknya. Pertengkaran ini tentu akan mengganggu pikiran anak  sehingga boleh jadi kita mereka besar nanti mereka akan menjadi orang yang suka berkelahi, karena mereka melihat seperti ada permusuhan antara ibu dan bapaknya saat mereka bertengkar. Anak yang biasa dididik dengan kasih sayang akan menjadi anak yang cinta akan perdamaian.
Akhirnya kita berharap dengan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua dalam mendidik anak akan terpatri di relung hatinya yang paling dalam. Dengan demikan, anak akan menampilkan wajah-wajah mulia dalam perbuatannya sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun di luar sebagaimana ia melihat kemuliaan yang muncul pada orang tuanya. Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti atau membebani pikiran para orang tua dalam mendidik anak, namun sesungguhnya tulisan ini sebagai informasi yang boleh dijadikan sebagai penguatan peran orang tua sebagai figur yang layak dijadikan idola oleh anaknya, sebelum anak-anaknya mengidolakan orang lain. Dibalik kesuksesan seorang anak pasti ada dibelakangnya figur-figur orang tua dan orang-orang yang telah berhasil menempa dirinya sehingga ia menjadi layak untuk ditiru si anak dan diidolakan dalam mencapai kesuksesan hakiki. Wallahu ‘alambisshawab.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar