Ada sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah l setelah senja, setelah pensiun atau purna tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan
perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan
ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun
lamanya, padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja.
Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya
–yakni perjalanan akhirat– kita tidak berbekal diri dengan ketaatan?!
Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat
penyeberangan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal nan abadi yaitu
kehidupan akhirat, di mana manusia terbagi menjadi: ashhabul jannah
(penghuni surga) dan ashhabul jahim (penghuni neraka). Itulah hakikat
perjalanan manusia di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi
waktu dan sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk
menghadapi kehidupan yang panjang. Allah l berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir t berkata: “Hisablah diri kalian sebelum dihisab,
perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari
kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.” (Taisir
Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)
Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia
berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu kita berlalu,
berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan
ditanya tentangnya. Nabi n bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ
رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ،
وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ
وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya
sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan,
tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana
ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan
dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud z.
Lihat Ash-Shahihah, no. 946)
Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan: “Mumpung masih muda
kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.”
Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan
panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia
akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?! Allah l berfirman:
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang
akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui
di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim t berkata: “Sesung-guhnya angan-angan adalah modal
utama orang-orang yang bangkrut.” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil ‘Ilmi
hal. 32)
Abdullah bin Umar c berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ
فَلاَ تَنْتَظِرِ الْـمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لـِمَرَضِكَ وَمِنْ
حَيَاتِكَ لـِمَوْتِكَ
“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda
beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi, janganlah menunda
(beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan
kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi.
Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut
dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi
digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal
untuk suatu kehidupan yang panjang?! Allah l berfirman menjelaskan
penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku,
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap
apa yang telah aku tinggalkan. ’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu
adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (Al-Mu`minun: 99-100)
Menyia-nyiakan Kesempatan
Banyak orang yang melewati hari-harinya dengan hura-hura,
berfoya-foya, dan perbuatan sia-sia. Bahkan tidak jarang dari mereka
yang tenggelam dalam dosa. Tidaklah mereka melakukan ketaatan sebagai
bekal di hari kemudian dan tidak pula mengisi dengan kegiatan positif
yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia. Seolah keadaannya mengatakan
bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Tiada yang terbayang di
benaknya kecuali terpenuhi syahwat dan nafsunya. Orang yang seperti ini
tidak jauh dari binatang bahkan lebih jelek keadaannya. Nabi n bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu padanya, (yaitu
nikmat) sehat dan senggang.” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, lihat
Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2304)
Sesungguhnya Nabi kita n telah mengajarkan untuk serius dalam
memanfaatkan kesempatan sebelum datangnya penghalang. Diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas c, bahwa Nabi n mengatakan kepada seseorang dengan
menasihatinya:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ،
وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَشَبَابَكَ
قَبْلَ هَرَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa
hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu
sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa
kaya/kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al-Hakim dan selainnya.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 1077)
Al-Munawi t berkata: “Lakukanlah lima perkara sebelum mendapatkan
lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakan (hidupmu pada)
apa yang akan memberi manfaat setelah matimu, karena orang yang mati
telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta
beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan
masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni gunakan masa sehat untuk beramal,
karena terkadang datang penghalang seperti sakit sehingga kamu
mendatangi akhirat tanpa bekal. “Dan masa senggangmu sebelum masa
sibukmu” yakni manfaatkan (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum
tersibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya
adalah kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu
selamat dari adzab dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum tuamu”, yakni
lakukan ketaatan di saat kamu mampu sebelum kelemahan usia lanjut
menghinggapimu, sehingga kamu akan menyesali apa yang telah kamu
sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah l. “Dan masa kayamu sebelum
fakirmu” yakni manfaatkan untuk bersedekah dengan kelebihan hartamu
sebelum dipaparkan kepada musibah yang menjadikanmu fakir, (jika
demikian) kamu akan fakir di dunia dan akhirat. Kelima hal ini tidak
diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak ada.” (Faidhul Qadir,
2/21)
Telah Datang Peringatan
Terkadang telah datang kepada seseorang peringatan dari tubuhnya
sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya menyadari akan keadaannya.
Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai keriput dan
kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah dekat.
Allah l berfirman:
“Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang
kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allah l di atas: “Dan telah datang kepada kamu peringatan” yakni: uban.
Demikian pula jika Allah l telah memberi umur kepada seseorang
hingga 60 tahun, berarti Allah l tidak meninggalkan lagi sebab untuk
seorang memiliki alasan. Kesempatan telah Allah l berikan dan umur telah
dipanjangkan. Nabi n bersabda:
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أُخِّرَ أَجَلُهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Allah telah menyampaikan puncak dalam pemberian udzur/alasan
kepada seorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai umur 60 tahun.”
(HR. Al-Bukhari no. 6419)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak lagi tersisa alasan
baginya, seperti dengan mengatakan: “Kalau dipanjangkan ajalku, niscaya
aku akan melakukan apa yang aku diperintah dengannya.” Dijadikannya umur
60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang
mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada
Allah l, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur
lebih dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara
total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya
yang pertama ketika masih kuat dan semangat. (Lihat Fathul Bari, 11/240)
Umur Umat Ini
Allah l telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur
umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak
diketahui oleh hamba. Nabi n bersabda dalam hadits yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah z:
أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang
melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul
Bari, 11/240)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara
umur 60 hingga 70 tahun, dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di
mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun.
Ini termasuk dari rahmat Allah l dan kasih sayang-Nya supaya umat ini
tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur,
badan dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat
dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun,
panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji
gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh
orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan
umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah l. Dan
manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal.
Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir, yang mengambil rizki
sedikit, dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek, supaya
mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang Allah l
terhadap mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi t seperti dalam
Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).
Orang yang Paling Baik
Manusia terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan
yang mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhiratnya. Nabi n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik
amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya
dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu
Bakrah z, lihat Shahih Al-Jami’ no. 3297)
Orang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya
maka akan banyak pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka
bertambahnya umur akan bertambah pula pahala dan amalannya.
Dahulu ada dua orang datang kepada Nabi n dan sama-sama masuk
Islam. Salah satunya lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang
yang lebih semangat itu ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya
yang satu masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal di atas
ranjangnya. Maka ada seorang sahabat bernama Thalhah bin ‘Ubaidillah z
bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di
pintu surga. Lalu orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan
untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh
dipersilakan masuk. Paginya, Thalhah bercerita kepada orang-orang dan
mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi Thalhah dan takjubnya
manusia pun sampai kepada Nabi n. Maka Nabi n mengatakan: “Bukankah
(orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah (kematian
temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab: “Benar.”
Rasulullah n bertanya lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia
puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab:
“Benar.” Rasulullah n bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya lebih
jauh daripada jarak antara langit dan bumi.” (Lihat Shahih Sunan Ibnu
Majah no. 3185)
Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka dahulu ada seorang salaf
mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang kamu beristighfar
kepada Allah l lebih baik daripada kamu mati selama setahun.”
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu
ingin mati?” Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah
berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri
aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah.
Aku ingin untuk terus dalam keadaan seperti ini.”
Dan ada (pula) seorang salaf lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang
masih tersisa dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab:
“Menangisi dosa-dosa yang telah aku lakukan.”
Oleh karena itu, banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau
meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia, namun karena
terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat malam,
puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh
Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi t. (Lihat syarah hadits Allahumma bi’ilmika
al-ghaib –karya Ibnu Rajab t hal. 25-26)
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogianya seseorang meminta kematian tanpa ada sebab yang
dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika seorang yakin
jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa cobaan
yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah l. Dalam
kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik daripada atasnya. Namun
orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan, seperti seseorang yang
ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung sembuh atau
dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang seperti
ini dilarang. Nabi n bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْـمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ
كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ
الْـحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا
لِي
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena
penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat hendaklah
ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih
baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR.
Al-Bukhari no. 5671)
Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik kepada Allah l. Karena
seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau
bahkan sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari
beramal dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali
kesalahan.
Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi t gusar ketika kematian hendak
menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi dengan perjalanan
yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang belum
pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menuju
kekasihku (Allah l) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan
aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku saksikan yang seperti
itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib- Ibnu Rajab t hal. 32
dan lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia`, 6/149-155)
Memohon Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukan jaminan seorang selamat dari adzab. Lihatlah
bagaimana orang Yahudi sangat berambisi untuk diberi umur panjang. Allah
l berfirman:
“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal
umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.”
(Al-Baqarah: 96)
Adapun seorang mukmin tidaklah bertambah umur kecuali bertambah
kebaikan. Oleh karena itu, boleh bagi seseorang untuk mendoakan
panjangnya umur. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi n ketika mendoakan
sahabat Anas bin Malik z:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ حَيَاتَهُ وَاغْفِرْ لَهُ
“Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya dan panjanglah hidupnya
(umurnya) serta ampuni baginya.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 508)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam hadits ini, (ada faedah)
bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.” (Syarah Shahih
Al-Adab Al-Mufrad, 2/311)
Namun seyogianya doa meminta panjang umur dibarengi dengan
permohonan kebaikan dengan panjangnya umur itu. Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan
(selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan
terkadang jelek. Orang yang jelek adalah yang panjang umurnya namun
jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa kalau
mendoakan: ‘Semoga Allah l panjangkan hidupmu di atas ketaatan kepada
Allah l’ dan yang semisalnya.” (Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hal. 89)
Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan Menjaga Waktu
Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi awal umat ini dalam
memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah itu adalah
dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul
karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi
hidup dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan
akhirat daripada dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan
bahkan nyawa untuk meninggikan agama Allah l. Suatu generasi yang
keridhaan Allah l adalah tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai
manusia.
Maka, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga waktu adalah suatu
hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah mereka,
semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah l telah
menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan dengan
firman-Nya:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir
malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat:
17-18)
Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam yang indah dengan
bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya manusia
terlelap dalam tidurnya. Namun sudah seperti itu keadaannya, mereka
selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan.
Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal
dengan perasaan takut akan adzab Allah l. Demikian pula Ibrahim dan
Isma’il e tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah l yang termulia,
di tempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
“Wahai Allah, terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan orang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah l.
Inilah sahabat Abdullah bin Umar c, ketika Abu Hurairah z
memberitahukannya tentang hadits Nabi n bahwa orang yang menshalati
jenazah akan mendapatkan satu qirath (pahala yang besar) dan barangsiapa
yang mengantarnya hingga dikubur akan mendapatkan dua qirath. Abdullah
belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk
bertanya kepada ‘Aisyah. Utusan tadi bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia
menjawab: “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi
telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan
penyesalan: “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.”
(Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1040, cet. Al-Ma’arif)
Demikianlah, Abdullah bin Umar c sangat menyesal karena telah
terlewatkan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar. Namun, pernahkah
kita menyesali kesempatan emas yang terlewat tanpa kita manfaatkan?
Paling yang kita sesali adalah gemerlapnya dunia yang luput kita
dapatkan. Sungguh waktu seseorang adalah modal hidupnya.
Dahulu bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada
murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya
untuk menulis, ia manfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar
dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam
Ahmad t: “Tidaklah aku melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca
atau menelaah.”
Al-Imam Adz-Dzahabi t menyebutkan biografi Abdul Wahhab bin
Al-Wahhab bin Al-Amin t bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu
suatu saat kecuali ia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor
hafalan. (Lihat Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi karya Abdul Aziz
As-Sadhan, hal. 33-37)
Berlindung kepada Allah l dari Ketuaan/ Kepikunan
Semakin lanjut usia seseorang, semakin berkurang kekuatannya dan
melemah fisiknya hingga kembali kepada keadaan yang serupa dengan anak
kecil dalam hal lemahnya tubuh, sedikit akalnya, dan tidak adanya
pengetahuan. Demikian pula munculnya pemandangan yang tidak bagus serta
tidak mampu melakukan banyak ketaatan. Cukuplah seseorang berlindung
dari kepikunan karena Allah l telah menamakannya dengan umur yang paling
rendah/hina dan menjadi tidak tahu apa-apa yang sebelumnya ia tahu.
Adalah Nabi n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.” (HR. Al-Bukhari no. 6367)
Orangtua Berjiwa Muda
Ketahuilah bahwa selagi manusia masih ada harapan hidup maka tidak
akan terputus harapannya untuk mendapatkan dunia. Bahkan terkadang
dirinya tidak mau mencabut diri dari kelezatan dan syahwat yang maksiat.
Setan pun selalu membisikkan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir
umurnya. Sehingga bila ia telah yakin akan mati dan tidak ada harapan
lagi untuk hidup, barulah ia sadar dari mabuknya akan syahwat dunia. Ia
pun menyesali penyia-nyiaan umurnya dengan penyesalan yang hampir
membunuh dirinya. Ia meminta dikembalikan ke dunia untuk bertaubat dan
beramal shalih. Namun permintaannya tidak digubris, sehingga
berkumpullah padanya sakaratul maut dan penyesalan atas sesuatu yang
telah lewat.
Allah l telah memperingatkan hamba-Nya akan hal ini, supaya mereka
bersiap-siap menghadapi kematian dengan bertaubat dan beramal shalih
sebelum datangnya. Allah l berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ. وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ
الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ. أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا
حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ لَـمِنَ
السَّاخِرِينَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong
(lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu
tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar
penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap
Allah’.” (Az-Zumar: 54-56) [Lihat Latha`iful Ma’arif, Al-Imam Ibnu Rajab
t hal. 449-450]
‘Ali bin Abi Thalib z berkata: “Dunia pergi membelakangi,
sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada
anak-anak (pecinta)nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan
jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat
beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada
amal.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi)
Nabi n bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الْأَمَلِ
“Orang yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara:
dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).”
(HR. Al-Bukhari no. 6420)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar