Kanker nasofaring memang kalah popular disbanding
kanker rahim, kanker paru atau kanker payudara. Namun, di tengah polusi udara
yang terus meningkat kita patut mewaspadai kanker yang menyerang rongga hidung
bagian dalam ini.
==================
Alkisah, dalam beberapa bulan terakhir, telinga kanan Mpok
Mumun (40) terasa berdenging. Hidungnya pun kerap tersumbat. Badannya terasa
cepat capek, baru berjalan beberapa puluh meter sudah kecapaian. Nafsu makannya
juga menurun drastic.
Lantaran merasa ada gangguan di telinganya, warga pnggiran
Bekasi ini lalu memeriksakan diri ke dokter spesialis THT. Dari pemeriksaan
dokter, semua organ pendengarannya sehat-sehat saja. Sang dokter lalu meraba
bagian belakang bawah telinga Mpok Mumun. Dan ada sedikit benjolan sebesar biji
kacang ijo.
Dokter THT lantas merekomendasikan Mpok Mumun untuk menjalani
pemeriksaan dengan mengambil cairan dan jaringan dalam benjolan itu. Dokter
mengambil sedikit jaringan untuk diperiksa. Beberapa hari berselang, dokter mendiagnosa
Mpok Mumun terkena kanker nesofaring.
“Gejala nasofaring itu tidak khas,'' ujar dokter ahli THT RS
Kanker Dharmais, Budianto Komari, beberapa waktu lalu di Jakarta. Gejalanya
mirip flu. Sebab itu, banyak pasien datang ke dokter umum mengeluhkan budek
atau kesulitan mendengar pada salah satu telinga, dan dokter menyatakan itu
gejala flu.
Pada stadium awal, gejala kanker nasofaring tampak ringan
seperti telinga berdenging dan hidung tersumbat dengan sedikit darah pada
ingus. Masyarakat biasanya meanggap darah berasal dari jaringan hidung yang
robek karena kesalahan saat membersihkan hidung. `'Kalau darah sedikit,
biasanya tidak dipermasalahkan,'' katanya menjelaskan.
Bila sudah stadium lanjut, gejala tersebut menyebar ke mata,
saraf dan penyebaran di antaranya leher. Pada umumnya, terdapat benjolan padat
di leher namun penderita tidak merasa sakit. Justru, tidak berasa sakit inilah
yang perlu diwaspadai.
Penyebaran melalui mata mengakibatkan mata menjadi juling.
Penyebaran melalui tulang, penderita akan merasa semua tulang sakit, keropos,
dan berakhir dengan patah tulang. Jika menyebar pada paru-paru, sering
batuk-batuk. Yang paling parah ketika virus yang penyebab nasofaring, epstein
barr, menyebar ke otak.
Gejala awal kanker nasofaring sering tidak disadari oleh
pasien ataupun dokter umum karena letaknya yang tersembunyi, di hidung bagian
dalam. Karena itu, pemeriksaan lebih sulit, apalagi bagi orang yang sensitif.
Misalnya apa pun benda yang masuk, bisa merangsang orang untuk batuk.
Pemeriksaan menggunakan nasoendoskopi mengharuskan pasien
duduk tenang sehingga alat yang dimasukkan melalui hidung ke saluran nasofaring
bisa berjalan optimal. `'Sebab itu penderita nasofaring yang datang ke RS
biasanya sudah stadium lanjut, karena gejala stadium lanjut lebih terlihat dan
pemeriksaannya lebih gampang,'' ujar Budianto.
Dia menyarankan pasien untuk banyak bertanya kepada dokter
jika mengalami gangguan pendengaran sebelah namun ia tidak flu. Sebab, bisa
saja terkena kanker nasofaring.
Lalu, apa itu kanker nasofaring? Kanker nasofaring adalah
kanker yang berada di nasofaring, yakni saluran yang terletak di belakang
hidung, tepatnya di atas rongga mulut. Nasofaring tidak mempunyai fungsi apa
pun hanya berupa lekukan.
Kanker ini disebabkan virus epstein barr. Bila virus
terbangun, dapat terjadi mutasi sel yang berujung pada kanker nasofaring.
Kanker ini menduduki peringkat pertama di bidang THT dan peringkat empat di
seluruh kanker ganas yang ada. Yakni setelah kanker leher rahim, payudara, dan
kulit.
Penyakit ini banyak menyerang ras mongoloid. Di Cina Selatan
terjadi 40-50 kasus per 100 ribu penduduk. Sedangkan Eropa dan Amerika Utara
kurang dari satu kasus per 100 ribu penduduk dan di Indonesia 6,2 kasus per 100
ribu penduduk. Hal ini disebabkan karena kebiasaan faktor makanan. Ras
mongoloid banyak memakan makanan yang mengandung nitrosamine seperti ikan asin.
`'Mereka memakan ikan asin tiap hari, asupan nitrosamine
tiap hari, berpotensi besar terkena kanker nasofaring,'' terang Budianto.
Selain ikan asin, pengonsumsian berlebihan sayuran yang diawetkan, makanan
fermentasi, daging yang dikeringkan, berpotensi terkena kanker nasofaring.
`'Yang tidak boleh itu jika makan terus menerus, tapi kalau
makan sesekali boleh saja. Makanya kita dianjurkan mengonsumsi makanan yang
beragam setiap hari,'' cetus dia.
Faktor lain penyebab kanker nasofaring adalah asap. Yakni,
kebiasaan memasak, asap dan gas rumah tangga, terlebih kebiasaan memasak di
rumah kayu yang membuat asap sulit keluar, memperbesar kemungkinan kanker
nasofaring. Lalu asap dupa dan kemenyan. Selain itu, orang yang bekerja dengan
gas dan bahan kimia industri, peleburan besi, formaldehida, serta serbuk kayu,
menjadi faktor penyebab kanker nasofaring.
Faktor-faktor penyebab itulah, demikian Budianto, penyakit
ini lebih banyak menyerang laki-laki. `'Laki-laki lebih banyak bekerja di luar
ruangan dengan potensi asap yang lebih tinggi,'' katanya menjelaskan.
Penyakit ini banyak ditemui pada rentang usia 25-60 tahun.
Di Cina, kanker nasofaring merupakan penyakit yang biasa terjadi. Untuk itu,
salah satu saran yang paling mudah adalah dengan menggunakan masker, baik saat
mengendarai sepeda motor ataupun saat bekerja. (*)
Boks:
Deteksi Dini Kanker Nasofaring
Kanker nasofaring atau Nasopharynx Cancer (NPC) merupakan
salah satu jenis kanker dengan angka kejadian rendah, kurang dari 1 per 100
ribu penduduk per tahun di dunia. Namun demikian, pada negara tertentu di
kawasan Afrika dan Asia Tenggara memiliki angka kejadian yang tergolong
menengah sampai dengan tinggi. Salah satunya di Indonesia dengan angka kejadian
6,2 per 100 ribu penduduk per tahun.
Di Indonesia, penyakit yang menyerang daerah leher kepala
ini menempati urutan keempat di antarara kanker yang ada. Sayangnya deteksi
dini terhadap gejala kanker nasofaring belum banyak dikembangkan. Sebagian
besar penderita datang dalam kondisi stadium lanjut sehingga sulit ditangani.
“Dengan keadaan stadium lanjut maka tingkat keberhasilan
penanganan penyakit rendah, yaitu kurang dari 30 persen. Selain itu
penanganannya pun harus dengan terapi
kombinasi yakni radioterapi dan kemoterapi dengan efek samping tinggi dan biaya
mahal. Sedangkan NPC stadium dini dapat ditangani dengan radioterapi saja,
dengan tingkat keberhasilan lebih dari 80 persen, efek samping yang lebih
rendah dan biayanya relatif murah. Untuk itu, dibutuhkan metode untuk
mendeteksi NPC pada stadium dini,” urai Dewi Kartika Paramita, S.Si., M.Si.,
Ph.D., penemu alat deteksi dini kanker nasofaring, baru-baru ini di Fakultas
Kedokteran UGM, Yogyakarta.
Dewi mengembangkan alat deteksi dini NPC yang mudah, cepat,
serta akurat. Bahkan dengan biaya yang lebih murah. Satu kit alat tes yang
diberi nama IgG NPC Strip ini dibanderol dengan harga maksimal Rp50 ribu. Alat akan dilempar ke
pasaran dalam waktu dekat setelah proses registrasi ke Kementrian Kesehatan RI.
Alat ini diharapkan mampu mendeteksi kanker nasofaring pada stadium awal.
Dengan begitu angka kesembuhan kanker nasofaring dapat ditingkatkan.
“IgG NPC Strip ini memakai protein EBV sebagai antigen untuk
mendeteksi antibodi IgG terhadap protein EA pada pasien kanker nasofaring,”
jelasnya sembari menambahkan, pembuatan alat deteksi NPC bekerjasama dengan
Lab. Hepatika NTB.
Satu kit IgG NPC Strip berisi 1 strip yang dibungkus
aluminium foil dengan rapat, 1 tube berisi 100 µL larutan buffer untuk
mengencerkan darah, 1 lancet, dan 1 stik plastik untuk memasukkan darah ke
dalam larutan buffer. Penggunaan alat deteksi NPC cukup mudah layaknya alat tes
kehamilan. Namun dalam tes ini menggunakan satu tetes darah pasien untuk diuji
serumnya. Darah kemudian diencerkan dengan larutan buffer yang telah tersedia
pada kit. Selanjutnya NPC strip dicelupkan pada larutan.
“Dalam waktu 3-5 menit
hasilnya sudah bisa dilihat. Dinyatakan positif jika terbentuk 2 garis berwarna
merah muda dan negatif jika hanya terbentuk 1 garis warna merah muda,” ujar
wanita kelahiran Yogyakarta, 3 Maret 1971 ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar