Minggu, 25 Januari 2015

Sepak Bola di Indonesia Tak Menjanjikan untuk Hari Tua?

Para pemain PSMS berdemo di PSSI pada 2013 (Hilman/Metrotvnews.com)
Para pemain PSMS berdemo di PSSI pada 2013 (Hilman/Metrotvnews.com)
Pesepak bola Indonesia dihadapkan oleh berbagai macam masalah. Ketika masih belia, mereka kerap mendapat pola latihan yang salah. Selain itu, mereka juga dipaksa tumbuh dalam kompetisi yang digelar tanpa kontinuitas. Dua elemen itu memengaruhi perkembangan pemain.

“Faktanya banyak pemain indonesia mendapat pola latihan yang keliru lantaran pelatihnya tidak mengerti cara dan program yang benar,” ujar mantan gelandang timnas Indonesia era 1980-an, Patar Tambunan kepada Metrotvnews.com beberapa waktu lalu.

Saat memasuki level senior, persoalan yang dihadapi pemain tambah kompleks. Dewasa ini, kerap ditemui pemain di Indonesia harus hidup terlunta-lunta karena gaji tak kunjung diberikan pihak klub. Pernah suatu kisah di persepakbolaan Indonesia, ada 11 pemain PSMS Medan yang hidup memprihatikan di Jakarta gara-gara tak digaji selama 10 bulan. Lantaran tak punya cukup uang untuk hidup di ibu kota, mereka harus pasrah tidur di tenda-tenda di sekitar kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan.

Pada akhir 2014, kisah pilu kembali muncul dari pelaku sepak bola di tanah air. Di media sosial, ramai pembicaraan soal mantan penggawa Persija Jakarta, Sonny Kurniawan yang diduga beralih menjadi supir taksi usai gantung sepatu.

“Supir taksi saya pagi ini ternyata mantan pemain bola Persija, Persib, dan rimnas. Namanya Sonny Kurniawan. Datang ke Jakarta dari Malang. Hari ini, hari pertama kerja di Blue Bird. Terpenting halal katanya. Daripada di Malang tidak kerja. Terenyuh mendengar ceritanya,” salah satu pengguna media sosial Path mengisahkan pertemuan dengan Sonny di Jakarta.



Dunia sepak bola menyeret Sonny dan ke-11 pemain PSMS ke lembah kegetiran hidup. Namun, apakah pekerjaan sebagai atlet sepak bola layak disalahkan? Tidak juga. Toh, gaji yang diberikan klub sebetulnya juga sudah lebih dari cukup. Sejak 2000-an, klub-klub di Indonesia berani menggaji pemain hingga Rp20-30 juta per bulan. Bahkan ada pemain yang mendapat gaji mencapai Rp100 juta per bulan.

Lantas siapa yang harus disalahkan? Mirisnya, kesalahan justru terletak di pemain itu sendiri. Kisah yang dialami ke-11 pemain PSMS bisa menjadi contoh. Mereka merana karena diduga tak mendalami kontrak awal dengan klub.

Jika saja menyampingkan urusan like atau dislike dan mencermati soal klausul soal keterlambatan pembayaran gaji, mereka bisa menyeret klub ke meja hijau. Bukan apa-apa, dalam sepak bola modern, klub bisa disalahkan jika tak membayar gaji hingga periode yang sudah ditentukan.

Legenda timnas Indonesia, Bambang Pamungkas, pernah “menyentil” ketidakcermatan pesepak bola di tanah air soal masalah kontrak.

“Kita (pesepak bola) kadang tidak tegas soal kontrak. Perasaan terlalu nyaman itu bisa membuka celah manajemen untuk merugikan pemain. Para pemain seyogyanya harus tahu secara mendalam tentang isi kontraknya. Bahkan banyak pemain yang tidak memegang salinan kontrak dengan klub. Banyak juga pemain yang tertekan dalam mendatangani kontrak,” kata striker Persija Jakarta itu dalam sebuah acara diskusi yang digelar Asosiasi Pesepak bola Profesional Indonesia (APPI), pada pertengahan 2013 lalu.

Sementara itu, kisah yang dialami Sonny juga bisa dihindari. Sebagai upaya mencegah masa depan hidup merana, pesepak bola harusnya mempelajari soal pengelolaan keuangan ketika menikmati masa jaya dan bergelimang harta.

Dengan cara itu, pemain sepak bola Indonesia bisa mengatur uang dengan baik. Selain menabung, investasi merupakan salah satu cara untuk menyelematkan hidup saat hari tua. “Mereka ‘kan digaji besar. Ada baiknya menyisihkan sebagian uang untuk hari tua. Pada kenyataannya tidak seperti itu. Setahu saya, Sonny dulu pernah menghambur-hamburkan uang untuk memodifikasi mobil,” kata Patar yang pernah menjadi asisten pelatih Persija pada masa Rahmad Darmawan.

Sepak bola tak bisa disalahkan. Olah raga ini sebetulnya merupakan lahan subur untuk meraup keuntungan besar. Bukan malah disalahkan karena dianggap sebagai pekerjaan yang tak menjanjikan untuk hari tua. Asal tahu mana yang harus dikeluarkan untuk keperluan pribadi dan yang harus ditabung untuk jaminan hari tua, niscaya banyak pesepak bola di tanah air yang akan hidup nikmat setelah gantung sepatu. (http://bola.metrotvnews.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar