Senin, 19 Oktober 2015

Sajak Seorang Tua


Sajak Seorang Tua

Ilustrasi (Geniuse Beauty)
Sore ini, aku duduk di sampingmu. Sore yang sudah setiap hari.
Aku datang hanya untuk hal yang sama. Aku juga datang untuk waktu yang sama. Tidak pernah tidak, tidak pernah terlambat. Ya, kau paling tidak suka dengan telat, sama bencinya dengan lupa.
Kau tahu, tadi pagi aku pergi ke pasar. Membeli sekaleng beras, dua ikat sayur kangkung, dan sedikit ikan asin. Uang simpanan sisa pensiun kita memang tinggal sedikit, tapi tenanglah, kita terbiasa melewati masa sulit sebagai guru rendahan bukan ?
Di pasar, aku bertemu banyak murid-murid kamu, juga muridku. Mereka memintaku mampir, sekedar bertanya kabar, ada juga yang memberi lembar rupiah. Tapi aku menolak itu, kita masih punya sisa simpanan pensiun. Lebih dari itu, guru tidak mengabdi untuk mengharap belas kasih muridnya di masa pensiun tiba, bukan ?
Oh ya, murid-murid kita telah banyak juga kisahnya. Mereka telah juga menuju tua, seperti kita berdua. Ah, jika ingat masa mengajar dulu, kamu memang lebih galak dari aku. Setiap muridmu tak ada yang berani menantang amarahmu. Tapi, seperti aku, mereka tahu, marahmu karena khawatir masa depan untuk menantang mereka sendiri-sendiri. Setiap malam sebelum tidur, kau selalu cemas akan murid-muridmu. Kau memang istri dan guru yang selalu penuh welas asih. Terkadang aku merasa kau naif, lupa, bahwa setiap manusia terlahir untuk menjalani takdir sejarahnya masing-masing. Namun begitulah kau adanya, seorang Ibu, yang tak pernah bisa melupakan masa kecil anak-anak yang kau asuh. Murid-muridmu itu semoga selalu mendoakanmu.
Aku kemudian pulang dari pasar. Membersihkan sayuran, mencuci beras, dan menggoreng ikan asin itu. Kompor itu, hasil dari gaji pertamaku, masih juga menemani dapurmu yang telah semakin reot. Juga tunggu api, telah pecah beberapa sudutnya. Pernah aku ingin mengganti semua, tapi kau lebih suka dengan yang lama. “Biar saja begitu, jangan diganti, karena aku lebih suka memasak dengan barang-barang hasil dari keringat kerjamu”, katamu.
Sesudah memasak, membersihkan tungku apimu, aku mengatur meja makan, satu piring kesukaanku, satu piring lagi kesukaanmu. Satu gelas kesukaanmu, satu gelas kesukaanku, meletakkanya bersebelahan. Kau tidak suka duduk berhadapan, kau selalu bilang, “karena kita melewati hidup dengan berdampingan, bukan dengan berhadap-hadapan”. Kau tahu, aku belum berhenti mengaturnya, seperti kebiasaan kita, ketika kau masih memasak, akulah yang mengatur meja makan.
Lalu kita akan duduk bersebelahan, makan dengan nikmat sambil sesekali aku mencium keningmu yang terus keriput itu. Kamu selalu tahu menghasilkan masakan yang nikmat, walau hanya ikan asin, nasi putih dan sambal terasi. Sesudah makan, aku terus pergi mencuci piring-piring kita. Piring-piring yang menjadi saksi dari keringat kerja dalam masa yang tidak pernah mudah. Membersihkannya dan meletakkan kembali di rak kayu yang aku buat sendiri.
Aku sekarang pergi ke kamar kita. Rasa-rasanya badanku lelah sekali, tenagaku seperti terkuras habis membawa sepasang kakiku yang makin lemah. Sudah beberapa hari terakhir, aku merasa seperti ini. Telapak dan jemari kakiku rasanya lebih keram dari yang sudah. Asam uratku mungkin sudah penuh tapi aku tak pernah bisa berpisah dengan kangkung, kau tahu bukan ?
Hingga aku tertidur barang beberapa saat.
Aku bangun ketika masjid telah memanggil untuk bersujud. Jadi aku mengambil wudlu dan baju koko tua pemberian dari keringat mengajarmu. Jika dulu hanya pada hari Jumat, aku sekarang lebih sering memakainya. Koko itu sekarang sudah lusuh sekali, ia juga makin tipis. Ia sering menelanjangi tulang-tulang rusukku yang makin menonjol di tengah garis-garis keriput di perut. Aku tidak mau membeli Koko yang baru, biarlah aku terus bersujud dengan yang kau berikan.
Sepulangku dari masjid, aku duduk di teras rumah kita yang makin reot. Memandang petak taman bunga yang kini sepi. Mereka sudah tak lagi merasakan perhatian dan kasih sayangmu yang datang di setiap pagi dan sore hari. Kau bisa berjam-jam bicara dengan mereka, aku bahkan harus mengingatkanmu ketika Magrib tiba. “Sudah malam, masuklah, jangan sampai kau masuk angin”, pintaku selalu hampir setiap hari. Tapi janganlah bergundah hati, aku selalu membersihkan mereka, memberi makan, dan menyampaikan salammu setiap pulang dari sini.
Berjam-jam aku menunggu sore datang agar segera bisa melangkah menjumpaimu.
Lalu adzan Ashar datang memanggil, aku segera mengambil koko itu lagi, dan pergi untuk bersujud. Kali ini lagkahku lebih bergegas, seolah saja asam uratku telah gugur bersama airwudlu. Iya, kau pasti tahu, setiap sore tiba, aku selalu bergegas.
Hingga aku tiba di sini, duduk di sampingmu yang telah lama tidur di dalam tanah itu.
Anisa, aku sungguh tak tahan lagi melewati sisa hidupku yang sendiri. Mati ini rasanya lama sekali. Sudah tak kuat lagi memandang dapurmu yang telah reot. Tak sanggup lagi membersihkan taman bungamu yang selalu mewangi. Sudah tak kuat lagi tidur di samping bantalmu yang lusuh. Sesungguhnya aku juga sudah tak kuat lagi pergi ke masjid dengan baju koko pemberianmu.
Bukan karena asam uratku yang telah penuh. Bukan karena tulang rusukku yang terus menonjol menandingi keriput di sekujur kulit tubuhku. Bukan pula karena langkahku yang terus melemah. Bukan, bukan karena itu semua. Sejujurnya karena aku tak sanggup lagi hidup sendiri dengan kenangan kita.
Tapi percayalah,walau kini dihadang renta, aku tidak akan menyerah hingga datang waktu membawa kita untuk bertemu. Aku ingat selalu marahmu yang meledak jika aku mudah berserah sebelum berusaha. Di hari-hari ketika kau dijemput sakitmu, kau bahkan masih marah kala aku duduk menangis. “Jangan menangis, aku mati bukan karena ingin meningalkanmu!”, bentakmu saat aku memeluk tubuh kurusmu sambil tersedu.
Aku tidak akan menyerah, aku tidak sudi untuk menyerah Anisa. Aku tidak akan berhenti melawan asam uratku yang menahanku untuk datang menjumpaimu setiap sore menjelang. Aku tidak akan gugur karena kesendiranku yang melewati masa tua seorang diri. Aku akan selalu datang, duduk di sampingmu, membawakanmu bunga, mengirimmu doa dan membaca sajak yang paling kau suka. Sajak yang terus merawat masa tua kita dari menyerah.
Hingga besok datang dan membawaku tertidur nyenyak bersamamu. Di samping nisanmu.
Jadi, mari ku bacakan lagi sajak itu.
Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya
Aku tulis sajak ini 
untuk menghibur hatimu 
Sementara kau kenangkan encokmu 
ingatlah pula masa remaja kita yang gemilang 
Dan juga masa depan kita 
yang hampir rampung 
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri 
dan terasing dengan nasib kita 
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. 
Suka duka kita bukanlah istimewa 
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh 
Hidup adalah untuk mengolah hidup 
bekerja membalik tanah 
memasuki rahasia langit dan samodra, 
serta menciptakan dan mengukir dunia. 
Kita menyandang tugas, 
kerna tugas adalah tugas. 
Bukannya demi sorga atau neraka. 
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu 
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu. 
Kita adalah kepribadian 
dan harga kita adalah kehormatan kita. 
Tolehlah lagi ke belakang 
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. 
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. 
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit 
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. 
Dan ingatlah pula 
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa 
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. 
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. 
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. 
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, 
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna 
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma. 
Kita menjadi goyah dan bongkok 
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita 
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini 
untuk menghibur hatimu 
Sementara kaukenangkan encokmu 
ingatlah pula 
bahwa kita ditantang seratus dewa
[WS Rendra, 1972]
----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar