Selasa, 24 November 2015

Perjuangan Hak Dasar Layak Pekerja & Perencanaan Masa Tua Pekerja

BERAKIT-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Peribahasa itu adalah paling pas untuk kehidupan para pekerja karena sewaktu mereka masih berstatus karyawan di suatu perusahaan maka upah yang diterimanya tidak pernah utuh.
Ada saja potongan, mulai dari untuk pajak penghasilan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kesehatan, Jaminan Hari Tua, dan juga Jaminan Pensiun. Belum lagi pemotongan upah untuk alasan yang tidak jelas, seperti saat tidak masuk akibat izin kerja.
Jika potongan upah tersebut untuk alasan yang tidak jelas, maka para pekerja dapat protes kepada manajemen perusahaan. Tetapi jika pemotongan upah untuk berbagai jaminan sosial yang menjadi wajib dibayarkan, tentu tidak dapat di protes. Bahkan nantinya pemotongan jaminan sosial tersebut akan sangat bermanfaat jika pekerja sakit, mengalami kecelakan kerja, dan bahkan akan sangat bermanfaat jika memasuki masa pensiun atau terkena imbas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pembayaran jaminan sosial untuk program Jaminan Hari Tua oleh buruh/pekerja kepada Badan Penyelenggara Jamina Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT). Demikian juga untuk pembayaran program Jaminan Pensiun tercatat dalam PP No. 45/2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Pensiun (JP).
Pemerintah bahkan menerbitkan aturan baru sebagai revisi PP No. 46/2015 mengenai pencairan dana JHT bagi pekerja yang berhenti bekerja atau terkena PHK yang merupakan revisi dari aturan sebelumnya yang akan mulai berlaku pada 1 September 2015. Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengumumkan revisi aturan tersebut bersama dengan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Massasya di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta pada Kamis (20/8/2015).
Dalam aturan-aturan baru tersebut, mulai 1 September 2015, JHT para buruh/pekerja yang berhenti bekerja atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat dicairkan sesuai besaran saldo. JHT tersebut juga dapat dicairkan bagi pekerja yang meninggal dunia dan pekerja yang sudah mencapai usia 56 tahun, serta buruh/pekerja yang mengalami cacat tetap.
Pencairan manfaat JHT dapat juga diambil selama peserta aktif dengan catatan masa kepesertaan minimal 10 tahun dan manfaat JHT dapat diberikan paling banyak 30% dari jumlah JHT yang peruntukkannya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10% untuk keperluan lain. Jadi, revisi itu dilakukan untuk menampung aspirasi pekerja yang menginginkan agar jika mereka mengalami PHK dapat mencairkan JHT yang tidak bisa dilakukan dalam aturan sebelumnya. Dalam revisi itu, para pekerja yang terkena PHK atau berhenti dapat mencairkan JHT satu bulan setelah terkena PHK atau berhenti bekerja.
Jika melihat kembali maksud diselenggarakannya program JHT dan J,P maka para pekerja tentu dapat memahami bahwa potongan-potongan gaji selama bekerja akan menjadi perlindungan jika memasuki masa tua dan pensiun. “Jaminan Pensiun adalah hak dasar yang layak untuk hari tua pekerja sedangkan Jaminan Hari Tua sebagai perencanaan masa tua pekerja,” ujar Elvyn G. Masassya. Kedua program tersebut dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Setelah diimplementasikannya PP No. 60/2015 tentang revisi PP No. 46/2015 tentang JHT,
BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan klaim dana jaminan hari tua senilai Rp 565,25 miliar pada pekan pertama bulan September 2015 atau dari total dana tersebut, sebanyak Rp 414,73 miliar adalah dana yang diambil oleh pekerja yang terkena PHK, dan Rp107,86 miliar diajukan oleh peserta yang mencairkan 10% dari total saldonya.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah peserta yang mengajukan klaim adalah 54.032 untuk kasus mengundurkan diri dan PHK serta 22.636 untuk kasus pencairan dana 10% dari total saldo, dengan total sebanyak 77.961. BPJS Ketenagakerjaan memprediksi jumlah klaim yang dibayarkan dalam empat bulan ke depan mencapai Rp 8 triliun.
Berbeda dengan program JP, dimana sebanyak 5,2 juta pekerja sudah terdaftar sebagai peserta JP sejak beroperasi 1 Juli 2015. Tingginya minat menjadi peserta JP yang sangat besar ini banyak disebabkan kesadaran pekerja akan haknya dan masa depannya. Di sisi lain, usia harapan hidup di Indonesia semakin tinggi, yakni rata-rata 65 tahun, dan jaminan hidup layak pasca kerja menjadi harapan semua pekerja.
Para pekerja akan mendapat manfaat setelah usia 56 tahun dengan besaran uang pensiun tergantung pada iuran dan lamanya menjadi peserta program. Minimal peserta harus mengikuti program JP selama 15 tahun agar dapat memperoleh uang pensiun setiap bulannya.
BPJS Ketenagakerjaan mensyaratkan pekerja mengiur sebesar 3% setiap bulan dari gaji pokok, dimana 1% dari pekerja dan 2% dari perusahaan dengan upah maksimum yang dilaporkan Rp 7 juta. Rata-rata uang pensiun yang diterima pekerja sebesar 40% dari rata-rata gaji pokok yang diterima per bulan.
Penerimaan pensiun dikaitkan dengan manfaat pasti, dimana seseorang pekerja harus mengiur selama 15 tahun. Namun bagi pekerja yang masa kerjanya di bawah 15 tahun, diberikan kesempatan secara mandiri mengiur sampai 15 tahun. Jika, pilihan itu tidak diambil maka pekerja bersangkutan dapat mengambil pensiunnya sekaligus (lumpsum).
BPJS Ketenagakerjaan tidak membatasi pekerja yang berusia 40 tahun yang memiliki masa kerja 15 tahun, karena berkaitan dengan hak-hak pensiun seorang pekerja. Jika terdaftar sebagai peserta JP, baik bagi pekerja yang berusia 40 tahun atau lebih, sekalipun baru satu bulan terdaftar lalu meninggal dunia, pekerja bersangkutan terutama ahli warisnya berhak mendapatkan pensiun.
Maka dari itu, kewajiban ikut program JHT dan JP akan memberi keuntungan bagi para pekerja di saat mereka terkena PHK maupun saat tidak bekerja lagi, karena Jaminan Pensiun adalah hak dasar yang layak untuk hari tua pekerja dan Jaminan Hari Tua adalah perencanaan masa tua buruh/pekerja.
(Tri Haryanti/http://poskotanews.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar