* sosok Dr
Ir Akmadi Abbas, Wakil Kepala LIPI
Banyak orang begitu
bangga belajar di luar negeri namun tergagap-gagap saat balik ke tanah air. Terkaget-kaget
lantaran ilmu yang dipelajarinya tidak dapat diterapkan untuk anak bangsa. Sebab
itu, pilihlah bidang ilmu yang bisa diaplikasikan buat memajukan negeri
sendiri.
========================
Siapa yang ingin mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri? Jika
pertanyaan ini ditujukan kepada mereka para mahasiswa yang sedang berada di
puncak semangat mencari berbagai sumber ilmu, tentu mereka dengan penuh keyakinan
akan menjawab bahwa mereka sangat ingin mendapatkan peluang itu. Tidak
terkecuali bagi seorang Akmadi Abbas. Dia memperoleh kesempatan belajar ke negeri orang saat masih dalam masa kuliah.
Kesempatan belajar ke luar negeri adalah salah satu dari 99 capaian yang ingin
digapai Akmadi muda.
Bagi Akmadi, kesempatan belajar ke luar negeri akan sangat bermakna
besar dan memberi kekayaan warna kehidupan. Selain pengalaman dan ilmu yang
baru, kesempatan studi di luar negeri jelas menjadikan masa-masa perkuliahannya
tidak monoton. Ada variasi warna dan suasana yang memperkaya batin dan olah
pikir.
Belajar dari perbedaan bahasa dan budaya, memahami cara pikir, cara
pandang, dan kiat menyelesaikan persoalan. Itulah yang dirasakan oleh Akmadi
Abbas, alumni master dari The University of New South Wales (1987), dengan
beasiswa dari program Colombo Plan, yang kini menjadi Wakil Kepala Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak awal Akmadi memang bercita-cita jadi
peneliti. Sebab itu, setamat dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dia langsung
bekerja di LIPI.
Dalam pengamatannya, perhatian masyarakat Indonesia terhadap
pentingnya pendidikan semakin tinggi. Sewaktu Akmadi masih duduk di bangku SMA,
dia merasakan masih sedikit kawan-kawannya yang meneruskan kuliah. Seiring
dengan makin terbukanya informasi, kini minat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi itu kian meningkat. Orang
tua menjadi bangga bila anak-anaknya mampu menyelesaikan pendidikan sarjana S1,
S2 bahkan S3. Kini, dengan semakin banyaknya peluang beasiswa studi ke luar
negeri, dan akses informasi sangat terbuka, dia mendorong agar semakin banyak
pelajar yang memanfaatkannya.
Dia sangat berharap agar para
pelajar Indonesia di Australia bersedia berbagi ilmu pengetahuan terbaru di
bidang kajian yang digelutinya. Lembaganya (LIPI) telah beberapa kali
mengadakan forum terbatas dan workshop dengan mengundang pelajar yang sedang
meneliti bidang ilmu tertentu, misalnya nano teknologi. LIPI pun terbuka untuk
didatangi para pelajar yang ingin berbagi informasi.
Menurut Akmadi, mereka dapat pula
menghubungi himpunan profesi sesuai bidang ilmu tertentu, seperti biologi,
geologi, dan lain-lain. Himpunan-himpunan profesi ini secara rutin mengadakan
seminar untuk membahas informasi terbaru. LIPI akan membantu untuk mencarikan
lembaga yang membutuhkan informasi terbaru itu, menemukan partner untuk
kolaborasi dan untuk pengembangannya. Begitu pula untuk bidang pengembangan
masyarakat. Kultur di Australia atau negara maju lainnya memang berbeda dengan
Indonesia, tetapi metodologi yang dipakai dapat dikaji untuk diterapkan di
Indonesia.
Untuk keahlian tertentu yang
sangat canggih, misalnya bidang antariksa, diakui Akmadi, masih ada
keterbatasan di dalam negeri. Tetapi jika tetap ingin mengabdi, alumni dengan
keahlian khusus itu bisa bersama-sama mencari terobosan agar riset sejenis
berkembang juga di Indonesia. Justru di sinilah pentingnya jejaring yang
terbangun selama para pelajar itu studi di luar negeri. Mereka dapat menjalin
kerjasama, minimal dengan almamaternya, untuk mengembangkan teknologi canggih
itu di Indonesia. Dengan demikian ia akan menjadi perintis pada bidang
tersebut. Keterbatasan yang ada di Indonesia jangan dijadikan hambatan, namun
justru menjadi peluang dan tantangan untuk dicarikan jalan keluar bersama-sama.
Saat ini, jelas Akmadi, LIPI
tengah menjalin kerjasama dengan University of Queensland. Kerjasama itu
meliputi penelitian bersama, pengembangan staf dan pendidikan pascasarjana,
pertukaran ilmuwan, dan semimar bersama. Pakar yang membidangi Pengembangan
Teknologi Pasca Panen dan Pengembangan Masyarakat ini sangat menghargai jika
dalam melanjutkan studi ke luar negeri, seorang pelajar menentukan rencana
risetnya berdasarkan persoalan yang sangat mendesak di Indonesia, misalkan
penanganan bencana atau alih teknologi. Dengan begitu, saat lulus kelak, alumni
luar negeri tersebut dapat langsung menerapkan pengetahuannya untuk memberikan
kontribusi yang nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
peningkatan kualitas lingkungan dan sumber daya manusia di Indonesia.
Seperti
tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1984 pihak pemberi Bea Siswa (yaitu Collombo
Plan) menawarkan kepada pegawai instansi pemerintah Indonesia --termasuk
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)-- yang berminat untuk melanjutkan
studi ke Benua Kanguru itu. “Bidang penelitian saya sesungguhnya adalah
pertanian, lebih tepatnya Mekanisasi Pertanian, saya ingin melanjutkan pendidikan
ke jenjang lebih tinggi dengan tetap mengembangkan bidang tersebut di
Australia,” kata Dr Ir Akmadi Abbas kepada Sofyan Hadi dari FORUM,
Selasa (15/9), di Gedung LIPI Jakarta.
Saat itu, satuan
kerja di LIPI di mana dia bertugas, mengemban tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan
bidang teknologi tepat guna. “Dengan pengalaman itu, saat ada tawaran beasiswa
ke Australia, saya ingin belajar atau menekuni pengembangan bidang pertanian
berbasis teknologi tepat guna,” Akmadi mengenang.
Cita-cita tak
selalu selaras dengan kenyataan. Setelah aplikasi (placement) di
University of New South Wales (UNSW) pada tahun 1985, ternyata Akmadi diterima
di bidang yang berbeda. “Pada mulanya, saya berharap belajar pada bidang agricultural
engineering di UNSW, tapi nyatanya saya diterima di School of Mechanical
and Industrial Engineering bidang Mechanical Engineering. Terhadap
penetapan bidang studi tersebut, saya merasakan beban yang sangat berat untuk
mengikuti pelajaran di School tersebut, karena menurut saya apa yang dipelajari
lebih pada pendalaman ilmu-ilmu yang belum saya pelajari. Pada saat Strata Satu
(S1) yang dipelajari lebih pada penerapan ilmu-ilmu mekanik dan sejenisnya di
bidang pertanian,” ujar pria berperawakan subur.
Di School of
Mechanical and Industrial Engineering, dia memulai dari strata diploma
sesuai ketentuan penerimaan beasiswa. “Jarang atau sedikit mahasiswa yang
berasal dari luar Australia menekuni bidang Mechanical Engineering,
namun di antara yang sedikit itu alhamdulillah saya berhasil lulus dan lanjut
ke program master hingga lulus mendapat ijazah,” tutur Akmadi.
Akmadi Abbas berupaya
keras dan belajar cerdas agar mampu menyelesaikan studi tepat waktu. Jika dia gagal
menuntaskan studi di UNSW, maka yang disorot bukan hanya LIPI tapi juga perjalanan
kariernya ke depan. “Saya harus sering belajar di perpustakaan. Perpustakaan di
sana sangat lengkap. Di sana saya bertemu teman-teman lain, saya tidak malu
bertanya kepada mereka,” imbuhnya.
Dia
menuturkan fungsi perpustakaan, selain untuk melatih para mahasiswa belajar mandiri, juga buat bertemu dan saling
berdiskusi serta membuat jejaring. “Saya juga dipacu oleh dua teman baik saya
yang walaupun berbeda bidang atau school-nya, tapi tempat tinggal kami berdekatan.
Kami bertiga saling memberikan motivasi satu sama lain,” kenang Akmadi.
Selain
itu, di Australia --khususnya di UNSW-- fasilitas komputer tersedia di
mana-mana dengan server informasi yang siap digunakan. “Kami memiliki akses
yang baik. Di Indonesia saat itu (1986), hanya sedikit yang bisa kami gunakan.
Selain itu, dengan membuat appointment terlebih dulu, kami mudah menemui
dosen pembimbing untuk berkonsultasi. Hal-hal tersebut yang menurut saya jadi
pembeda,” ungkapnya.
Lelaki
kelahiran Gegesik, Cirebon, Jawa Barat, ini pun membuka sedikit rahasia kala
berada di Negeri Kangguru itu. “Di flat sewaan kami saling bertukar
informasi. Rasanya kami bisa saling memberikan solusi untuk berbagai masalah
yang kami hadapi. Saya melihat dua teman saya saat belajar tidak
tanggung-tanggung, mereka belajar sampai pagi. Saya salut kepada mereka dan
akhirnya saya ikut pola yang sama dengan mereka. Saya termotivasi mengapa
mereka bisa sedangkan saya belajar hanya biasa-biasa saja,” ujarnya penuh
kenangan.
Hal
tersebut yang membuat Akmadi mempunyai prinsip harus bisa seperti mereka dan
tidak boleh gagal. Memang di masa muda itu Akmadi pernah melanglang ke beberapa
Negara, terutama di lingkup Asia Tenggara. Australia menggoreskan pengalaman
yang berbeda.
“Pemikiran saya
saat itu Australia punya kemajuan ilmu lebih baik daripada Indonesia dan
negara-negara ASEAN, baik dari pola pendidikan juga kehidupan sosialnya secara
luas. Saya mendapat masukan kalau kuliah di negara-negara liberal,
pendidikannya lebih fair. Tidak ada pembedaan atau patronisme yang harus
dijaga. Itu gambaran saya saat itu,” papar Akmadi ihwalnya kesan tak terlupakan
di Australia.
Setelah lulus
kuliah di Australia pada tahun 1989, kepercayaan diri Akmadi Abbas semakin
meningkat. Dia mampu menunjukkan kepada
pimpinan LIPI bahwa dirinya berhasil meski di bidang studi berbeda dengan
pilihannya. Di Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI, Akmadi mempunyai
grup penelitian yang solid dan kompak sepulang dari Australia dan
melakukan penelitian dan pengembangan bidang Alat Mesin Pertanian (Alsintan).
Berbekal kepercayaan diri dan amanah pimpinan Puslitbang Fisika Terapan LIPI
pada tahun 1990, Akmadi mengelola dan berkerjasama dengan Departemen Dalam Negeri
(Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarat Desa) dan Markas Komando AKABRI
terkait dengan Latsitarda Nusantara sampai dengan tahun 2010.
“Pada tahun
1993 saya diminta Kepala Puslitbang Fisika Terapan LIPI sebagai pimpinan Bagian
Proyek Pengembangan Masyarakat Pedesaan di Wamena sampai tahun 1995. Sebagai
wakil LIPI di Wamena, di situ lah segala pengalaman keilmuan saya selama di
Australia benar-benar dapat saya terapkan bersama dengan warga masyarakat
Wamena,” jelas Akmadi.
Selama berada di Wamena, dia
mendapat tempaan kedewasaan pada dirinya. Bukan hanya ilmu tentang mechanical,
namun juga manajemen pengelolaan proyek, komunikasi dengan masyarakat, juga
menghadapi konflik di masyarakat dan berbagai hal lain yang tidak pernah dia
dapatkan di bangku kuliah S1 dan S2. Berbagai penugasan yang pernah diberikan
LIPI merupakan amanah yang harus dia laksanakan dengan baik, walaupun tentunya
diiringi dengan berbagai kendala dan hambatan yang harus diatasi selama
pelaksanaan tugas.
“Berbekal pendidikan, pengalaman
dan peningkatan serta pengembangan kemampuan, alhamdulillah karier saya
mengalir seperti air,” ujarnya bangga. Dimulai dari sebagai staf peneliti, sebagai
Kepala UPT Balai Pengembangan TTG (1996-2005), Kepala Balai Besar Pengembangan
TTG (2005-2010), Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan (2010-1012), Sestama LIPI
(2012-2014) dan Wakil Kepala (2014-Sekarang). Untuk karier sebagai peneliti, Akmadi
bersyukur sekarang sudah pada tingkat Ahli Peneliti Utama (APU).
Menurut dia, banyak hal yang bisa
dilakukan selepas pulang dari Benua Kangguru. Dengan ilmu yang diperoleh di
Australia, dia mampu mengkoordinasikan teman-teman untuk melakukan penelitian
dan bekerja sama dengan industri alat berat pertanian. Katanya lebih lanjut, “Saya
juga berusaha mengembangkan relasi dengan pihak pemerintah daerah dan pelaku industri.
Berbeda dengan teman-teman lain yang ketika pulang terkaget-kaget karena
ternyata di sini tidak ada fasilitas, saya justru merasa bisa menerapkan ilmu
saya karena basis pengembangan ilmu saya adalah teknologi tepat guna yang
ilmunya dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi Indonesia. Saya bisa
menerapkan hal-hal yang saya pelajari di sana karena yang saya pelajari adalah
disain berbagai alat pertanian sehingga saya mampu merancang alat pertanian
disesuaikan dengan kondisi pertanian di Indonesia.”
Dia lantas berpesan kepada para
mahasiswa yang sedang berkuliah di luar negeri, jangan sampai apa yang telah dipelajari
ternyata tidak dapat diterapkan atau dimanfaatkan untuk penyelesaian masalah di
Indonesia. “Jadi dari pemilihan topik, pikirkan mana yang bisa dikembangan di
Indonesia. Pertimbangkan mana yang bisa diaplikasikan setelah pulang menuntut
ilmu di luar negeri,” pesannya. (Sofyan
Hadi)
Biodata
|
|||
|
|||
Nama
TTL
|
:
:
|
Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng.Sc
Cirebon, 29 September 1956
|
|
Satuan kerja
|
:
|
Wakil Kepala LIPI (Jakarta-Gatot Subroto) diperbantukan dari Pusat
Pengembangan Teknologi Tepat Guna
|
|
Pendidikan
|
:
|
S-3 Universitas Padjadjaran
S-2 The University of New South Wales S-1 Institut Pertanian Bogor SLTA SMP Negeri di Gegesik, Cirebon SD Negeri di Gegesik, Cirebon |
|
Pengalaman
|
:
|
Pimbagpro Wamena 1993 - 1994
Pj TU Sumbawa 1995 - 1996 |
|
Kegiatan
|
:
|
Pengembangan Teknologi Pasca Panen
Pengembangan Masyarakat |
|
Kemampuan bahasa
|
:
|
Bhs Inggris pasif
|
|
Status kepegawaian
|
:
|
PNS (1 Maret 1982 - 29 September 2021)
Golongan IV/e Pembina Utama (Peneliti Utama) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar