Sabtu, 25 Oktober 2014

Hidup Sebatang Kara, Sering Makan Cuma Pakai Garam


DIRUMAH: Kini Siti Maimunah bisa menikmati rumahnya yang sederhana. Meski demikian, ia tetap susah untuk dapat makan karena tekanan ekonomi. (DEDI/JE)
Lebih Dekat dengan Nek Do, Penerima Bedah Rumah
Pemilik nama Siti Maimunah ini harus merasakan pahitnya kehidupan meski ia tinggal di tengah kota yang kini tengah berkembang. Selam 10 tahun, ia menempati sebidang tanah kecil yang sebenarnya adalah kandang ayam. Bagaimana kisahnya?

DEDI AGUSPRIADI
KONDISI memilukan menyelimuti kehidupan wanita berusia 60 tahun bernama Siti Maimunah. Tinggal di sebuah gubuk, yang sebenarnya adalah kandang ayam selama 10 tahun, tak membuat dia merasa dirinya hina.
            Butuh perjuangan yang sangat berat untuk melalui kehidupan seperti yang ia lakoni. Tinggal di rumah yang hanya beralaskan tanah dan dinding yang berlubang tak membuat ia berkecil hati. Banyak hikmah yang ia petik dari kehidupan yang sebelumnya ia lakoni itu.
            Janda dari seorang pensiunan TNI ini tinggal di daerah Sipin, tepatnya di belakang Mini Market Sipin. Kini, ia tinggal sendiri di rumah kayu yang cukup sederhana bantuan bedah rumah dari Pemprov Jambi.
Suaminya telah meninggal dunia pada tahun 1970-an. Wanita berkacamata yang selalu memberikan senyumannya ini menceritakan, ada faktor yang menyebabkan dia memutuskan tinggal di bekas kandang ayam. Bahkan bukan untuk waktu yang sebentar, namun sampai 10 tahun lamanya.
Dia menyampaikan, semasa almarhum suaminya, Muhammad Isha Nasution masih Hidup, dia tinggal di rumah kontrakan. Namun setelah suaminya meninggal dunia pada tahun 1970an, Nek Do hanya tinggal sebatang kara di rumah kontrakan.
Akhirnya, karena tidak mampu lagi membayar rumah kontrakanya, ia terpaksa tinggal di kandang ayam seorang diri. “Selama 10 tahun bukan lah waktu yang sebentar, sepuluh tahun inilah saya tinggal dikandang ayam,” katanya disambangi, kemarin (20/10).
Menurutnya, tinggal di kandang ayam bukan sesuatu yang hina. Dia mengakui, ia sempat tak diakui oleh keluarganya yang lain karena memilih tinggal sendirian di bekas kandang ayam itu. Karena mereka merasa malu mempunyai keluarga yang hanya tinggal dikandang Ayam. “Keluarga saya banyak yang malu karena saya tinggal dikandang ayam. Tinggal dikandang ayam bukan hal yang hina,” tegasnya.
Dia memiliki satu orang anak laki-laki yang sekarang tinggal di Kabupaten Sarolangun. Menurutnya, anaknya hanyalah seorang tukang ojek. “Walaupun punya satu orang anak, tapi dia sering datang kesini menjenguk saya,” ungkapnya.
Namun yang kini harus ditanggungnya adalah biaya hidup yang tak dimilikinya. Untuk kelangsungan hidupnya sehari-hari, dia hanya bisa berharap dari bantuan tetangga. “Makan sehari-hari cuma belas kasihan orang-orang, walaupun saya tua seperti ini tapi saya tidak mau mengemis,” sebutnya.
Dia mengaku sering sekali tidak makan karena tak bisa membeli makanan. Kalaupun ada makanan, katanya, ia hanya bisa mencampur nasi dengan garam. “Bantuan dari orang lain tidak selalu saya dapatkan, jadi saya juga sering tidak makan, makanpun hanya nasi dan garam,” ujarnya.
 “Walaupun saya pernah tinggal dikandang ayam, saya tidak pernah malu, dan saya hanya  bisa mengambil hikmah dari semua cobaan yang diberikan oleh Allah Swt,” sebutnya.
Saat ini penderitaan Siti Muaminah sedikit terobati, karena pada tahun 2011 yang lalu, Rumah Siti Muaminah telah direnovasi, melaui program bedah rumah yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi. “Alhamdlillah,  rumah saya direnovasi oleh Gubernur Provinsi Jambi Hasan Basri Agus. Ini merupakan sebuah pemberian yang tidak akan pernah saya lupakan,” ucapnya.
Nek Do telah merasa puas atas apa yang ia dapatkan saat ini. Sehingga ia tidak terlalu berharap lagi bantuan apa yang selanjutnya yang akan diberikan kepadanya. “Kalau saya kembali dibantu dari segi ekonomi, saya terima. Akan tetapi kalaupun tidak ada, juga tidak apa-apa. Mendapatkan tempat tinggal yang layak sudah membuat saya senang,” pungkasnya. (http://www.jambiekspres.co.id/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar