Jumat, 10 Oktober 2014

Gangguan Jiwa pada Lansia


http://www.agna.ca/wp-content/uploads/2013/02/Nurse_with_elder_male.jpg




Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain. Timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut.
Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan sosial. Perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan `senesens` dan perubahan ‘senilitas’. Perubahan `senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubalian ‘senilitas’ adalah perubahan­-perubahan patologik permanent dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.
Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Seinakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan hidup masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi pula jumlah penduduknya yang berusia lanjut. Demikian pula di Indonesia.
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah saja, tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang mengalami gangguan mental seperti depresi.

A.       Definisi Lanjut Usia
Lansia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. ( Wahyu, 2009)
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi  menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia.
Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Diperkirakan Indonesia mulai tahun 1990 hingga 2023 lansia (umur 60 ke atas) akan meningkat hingga 41,4 % (geriatric and psychigeriatric workshop training for trainers, 2008) masalah yang paling banyak adalah demensia, delerium, depresi, paranoid dan ansietas.
Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut
1.         Menyesuaikan diri terhadap ketahanan dan kesehatan yang berkurang.
2.         Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya pendapatan.
3.         Menyesuaikan diri terhadap kemungkinan ditinggalkan pasangan hidup
4.         Mempertahankan kehidupan yang memuaskan dan mencari makna hidup.
5.         Menjaga hubungan baik dengan anak
6.         Membina hubungan dengan teman sebaya dan berperan serta dalam organisasi sosial


B.        Batasan Umur pada Lanjut Usia
DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:
1.         Kelompok menjelang usia lanjut (45 - 54 tahun).
2.         Kelompok usia lanjut (55 - 64 tahun).
3.         Kelompok usia lanjut (65 tahun lebih ). (Farida, 2010)
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:
1.         Usia lanjut : 60 - 74 tahun
2.         Usia Tua : 75 - 89 tahun
3.         Usia sangat lanjut : > 90 tahun

C.        Penyebab Gangguan Jiwa pada Lansia
1.         Masalah keluarga
2.         Masalah interpersonal
3.         Penyakit
4.         Masalah sosial. (Farida, 2010)

D.       Masalah Psikososial yang Muncul pada Lansia
1.         Depresi
a.        Tanda dan gejala
Frekuensi tampak bertambah sesuai usia, meski laju relaps, yaitu waktu antara dua episod depresi tampak berkurang. Frekuensi bunuh diri juga naik tajam dengan penuaan. Namun ada bukti baik bahwa ciri tertentu depresi, yaitu gangguan obsesional dan fobik berkurang dengan penuaan.
Studi epidemiologik depresi pada manula diganggu oleh kebingungan antara depresi dan demensia. Anggota keluarga pasien demensia sering membawa pasien dengan keluhan utama depresi tanpa adanya gangguan mood sejati apapun. Psikiater harus mengenali kurangnya bicara, melambatnya gait (cara berjalan), mendatarnya afek dan turunnya minat dalam dan keterlibatan dengan aktivitas sosial dan personal, yang semuanya menunjukkan depresi pada pasien muda, bila tanpa disforia jelas, pertanda demensia dini pada pasien tua. Penentuan kognitif yang akan menentukan defisit pada demensia, bila sesuai, dapat membuat lebih jelas diagnosa demensia.
Depresi dapat terjadi bersamaan dengan demensia dan merupakan konkomitan sering dari stadium awal penyakit Alzheimer (stadium 3-5 pada Global Deterioration Scale). Bila depresi terjadi dalam konteks penyakit Alzheimer, gejala tersering adalah berlinang air mata, yang sering disertai tanda awal gangguan tidur khas, kecurigaan, cemas, dan agitasi, yang membentuk sindrom perilaku dari penyakit Alzheimer. Gejala lain, yang mengingatkan pada depresi dalam  konteks lain, dapat terjadi pada sindrom depresif dari penyakit Alzheimer, termasuk keluhan somatik dan perilaku obsesif. Disforia pervasif relative jarang sekali dan pasien Alzheimer dengan depresi sangat jarang menunjukkan perilaku bunuh diri. Pernyataan maneristik seperti ‘saya berharap saya mati,’ sering ditemukan pada penyakit Alzheimer, tapi pernyataan itu tidak disertai rencana bunuh diri, sikap atau tindakan kea arah itu.
Berbeda dengan psikosis, depresi tampak tak pernah terjadi pada stadium lebih lanjut dari penyakit Alzheimer, meski sering merupakan manifestasi paling awal dari penyakit itu dan dapat mendahului gejala kognitif sejauh banyak bulan atau tahun.
Depresi juga sering terjadi bersama infark atau cidera otak lain, dengan atau tanpa demensia serentak. Patologi yang menimpa regio otak frontal dipercayai khususnya terkait dengan simtomatologi afektif. Depresi berkaitan dengan infark otak secara khas berkaitan dengan inkontinensia emosional, yaitu episod mendadak menangis tanpa disforia pervasive, konsisten, atau afektif.
Selain demensia dan trauma otak jelas, depresi pada manula sering disebabkan oleh patologi fisik dengan etiologi beraneka. Misal, gangguan elektrolit akibat diuretik saja atau bersamaan dengan obat lain dapat menyebabkan presentasi gangguan mood, juga defisiensi vitamin B12 akibat malabsorpsi yang mungkin berkaitan dengan operasi saluran cerna.
b.        Terapi
Penyakit depresi primer (idiopatik) pada manula bersifat serius dan dalam banyak hal merupakan keadaaan yang mengancam nyawa. Cara terapi yang harus diberikan prioritas meliputi antidepresan, ECT, dan MAO-inhibitor. (Harold, 1994)
1)        Anti-depresan
Semakin luas jenisnya, semuanya berpotensi berguna bagi manula. Diantaranya paling disukai untuk manula adalah amina sekunder, termasuk desipramin dan nortriptilin, sebagian karena mareka kurang menimbulkan hipotensi dari pada amina tersier. Desipramin sangat rendah efek samping antikolinergiknya dibandingkan antidepresan lain umumnya, ini menguntungkan karena manula diketahui kurang aktif fungsi neurotransmitter kolinergik dan dipercaya khususnya peka terhadap efek samping antikolinergik. Nortriptilin jgua sering di anggap obat terpilih untuk manula karena mampu dipantau jendela terapeutik berupa kadar darah berhubungan dengan reaksi klinis. Fluoxetin dan bupropion dapat berguna khususnya pada manula karena berefek samping antikolenergik minimal. (Harold, 1994)
2)        ECT
Dapat menjadi terapi terpilih untuk depresi pada manula, khususnya jika faktor jantung membatasi atau memustahilkan obat antidepresen atau jika penolakan makan merupakan ancaman akut bahkan masalah mengancam jiwa.Risiko ECT sangat rendah dan sering kurang dari farmakoterapi. Setiap risiko terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko depresi, terhadap status mental pasien dan setiap resiko bunuh diri. (Harold, 1994)
3)        MAOI
Aman untuk manula bila diberikan dengan kewaspadaan lazim. Pada manula, terapi depresi akibat penyakit lain tidak berbeda jauh dari terapi depresi idiopatik kecuali bahwa terapi gangguan yang mendasari, jika mungkin, dapat mendahului atau mengesampingkan perlunya menterapi gejala afektifnya secara lebih langsung. Bila depresi dan demensia terjadi bersamaan, terapi depresi mungkin dapat atau tidak mengakibatkan resolusi gangguan kognitif. Meski jika gangguan kognitif remisi seluruhnya, pada sekitar separuh kasus itu, gejala dini kehilangan kognitif akan jelas lagi dalam sekitar 2-3 tahun. (Harold, 1994)

2.         Gangguan mania dan bipolar
Angka relaps mania dan gangguan bipolar bertambah dengan usia. Panjang rata-rata episode morbid minimal sama pada pasien tua dibandingkan yang lebih muda. Kebanyakan kasus penyakit bipolar mulai sebelum usia 50, kemunculan sesudah usia 65 dianggap tak lazim. Bila suatu episode manik terjadi untuk pertama kalinya sesudah usia 65, harus dicurigai adanya patofisiologik (organik) etiologik mencolok. Kemungkinan etiologi termasuk efek samping obat atau demensia konkomitan.
Pemakaian litium pada manula lebih berbahaya karena sering timbulnya morbiditas berkaitan dengan usia dan perubahan faali. Litium diekskesi oleh ren dan bersihan renal yang menurun dan / atau penyakit renal dapat menaikkan resiko keracunan. Diuretik tiazid menurunkan bersihan renal terhadap litium dan akibatnya pemakaian serentak obat-obat itu dapat memerlukan penyesuaian dosis litium. Obat lain dapat juga mengganggu bersihan litium. Litium dapat menimbulkan efek SSP yang mungkin lebih peka bagi manula. Karena faktor-faktor ini, pemantauan kadar serum yang lebih sering dianjurkan bagi manula. (Harold, 1994)

3.       Skizofrenia, status paranoid, dan psikosis kehidupan lanjut lain
a.        Tanda dan gejala
Pemasukan awal ke rumah sakit jiwa untuk skizofren memuncak dari usia 25 hingga 34 dan relatif jarang sesudah usia 65. Psikosis paranoid dari aneka etiologi umumnya timbul pada pasien tua, termasuk banyak pasien tua tanpa riwayat psikopatologi berarti pramorbid. Defisit sensorik tampak merupakan predisposisi terhadap psikosis paranoid pada sebagian pasien manula.
Pada yang lainnya, CVD atau demensia berkaitan dengan munculnya patologi. Obat atau kausa patofisiologik lain harus digali dengan hati-hati pada semua kasus. Temuan mutakhir menunjukkan bahwa paranoid dan psikosis delusional pada kasus tertentu mungkin menjadi sebab demensia degeneratif primer tipe Alzheimer. Pada kasus lain, status ini mungkin berkaitan dengan faktor serebrovaskular yang tidak selalu jelas berdasarkan temuan klinis atau neuroimaging. Perubahan neurotransmitter berkaitan dengan penuaan dapat juga menjadi predisposisi psikosis pada manula.
Secara lebih spesifik, pada manula penurunan aneka sistem neurotransmitter telah ditunjukkan secara meyakinkan. Misalnya terdapat penurunan fungsi dopaminergik berkaitan dengan kehilangan sel berkaitan usia pada substansia nigra, dengan atau tanpa gejala parkinsonian jelas. Juga terdapat perubahan berkaitan usia pada fungsi noradrenergik berkaitan dengan bukti fisik kehilangan sel di lokus seruleus. Demikian juga, perubahan sistem neurotransmitter kolinergik berkaitan-usia terjadi berkaitan dengan turunnya aktivitas enzim asetiltransferase kolin. Secara keseluruhan, perubahan neurokimia SSP ini semua mengakibatkan penetapan ulang imbangan (resetting) neurotransmitter SSP, dan dalam banyak hal perubahan itu dapat menjadi predisposisi bagi psikosis pada manula. (Harold, 1994)
b.        Terapi
Perubahan system neurotransmitter SSP manula tampak berperan besar, baik dalam etiologi maupun terapi psikosis. Pada umumnya psikosis pada manula sering bereaksi terhadap dosis obat yang jauh lebih rendah dibandingkan psikosis pada pasien lebih muda. Manula juga jauh lebih peka terhadap banyak efek samping obat antipsikotik dibandingkan pasien lebih muda. (Harold, 1994)

4.         Gangguan ingatan berkaitan usia, penyakit Alzheimer, dan gangguan demensia lain.
Perubahan kognisi adalah termasuk yang paling sering dan penting (dalam hal morbiditas, mortalitas dan dampak terhadap anggota keluarga dan masyarakat umumnya) daripada kondisi medis berkaitan dengan usia. (Harold, 1994)
a.        Penyakit Alzheimer
Perubahan kognisi pada penuaan normal dan pada penyakit Alzheimer progresif terjadi dalam kesinambungan.
1).      Stadium satu : normal : tanpa bukti objektif atau subjektif penurunan kognitif.
2).      Stadium dua : normal untuk usia : keluhan subjektif penurunan kognitif. Umumnya klien lebih dari 65 mengeluh subjektif tak mengingat hal seperti nama dan lokasi objek seperti halnya 5-10 tahun silam.
3).      Stadium tiga : kompatibel dengan penyakit alzheimer insipien : bukti samar penurunan objektif dalam tugas sosial atau pekerjaan kompleks.
4).      Stadium empat : penyakit alzheimer ringan : defisit muncul jelas pada wawancara klinis yang cermat.
5).      Stadium lima : penyakit alzheimer sedang : defisit cukup berat hingga pasien tak lagi dapat hidup lebih lama tanpa bantuan.
6).      Stadium enam : penyakit alzheimer berat sedang : defisit cukup besar hingga butuh bantuan dalam hal aktivitas kehidupan dasar sehari-hari.
7).      Stadium tujuh : penyakit alzheimer berat : defisit cukup berat hingga butuh bantuan terus menerus dalam aktivitas sehari-hari.
STAGING FUNGSIONAL DAN PROGRESI PADA PENUAAN NORMAL DAN PENYAKIT ALZEIMER
Stadium penilaian fungsional
Karakteristik
Diagnosis klinis
Perkiraan lamanya penyakit alzeimer
1
2
3

4
5

6a
b
c
d
e
7a

b

c
d
e
f

Tanpa penurunan
Defisit subjektif dalam pencarian kata
Defisit ditemukan dalam tugas menuntut perhatian besar
Perlu bantuan dalam tugas kompleks
Perlu bantuan dalam memilih pakaian yang tepat
Perlu bantuan dalam berpakaian
Perlu bantuan untuk mandi dengan benar
Perlu bantuan dengan mekanika toilet
Inkonteninsia uri
Inkontinensia vokal
Kemampuan bicara terbatas kepada sekitar enam kata
Khazanah kata yang dapat dimengerti terbatas pada satu kata
Kemampuan ambulasi hilang
Kemampuian duduk tegak hilang
Kemampuan terseenyum hilang
Kemampuan mempertahankan kepala tegak hilang
Dewasa normal
Dewasa tua normal
Sesuai dengan penyakit alzeimer insipien
Penyakit alzeimer ringan
Penyakit alzeimer sedang
Penyakit alzeimer berat sedang



Penyakit alzeimer berat


7 tahun

2 tahun
18 bulan

5 bulan
5 bulan
5 bulan
4 bulan
10 bulan
12 bulan

18 bulan

12 bulan
12 bulan
18 bulan
12 bulan atau lebih lama


b.        Demensia multi infark
Ini mrupakan sebab utama kedua dari demensia pada manula. Itu paling sering terjadi bersamaan dengan penyakit Alzheimer. Studi patologi klasik menunjukkan sekitar 50% kasus demensia yang di autopsi berkaitan dengan penyakit Alzheimer saja, 25% dengan penyakit Alzheimer berkaitan dengan faktor serebrovaskular, dan 15% dengan demensia multi infark tanpa bukti neuropatologik penyakit Alzheimer.
c.         Gangguan demensia lain dan diagnosis banding demensia
Kausa demensia lain termasuk penyakit pick, penyakit creutzfeldt-jakob, korea huntington, demensia terkait alkohol (demensia Korsakoff), hidrosefalus tekanan normal, dan demensia akibat aneka gangguan faali.
1)        Penyakit pick adalah demensia degeneratif yang sulit dibedakan secara klinis dari penyakit alzeimer. Secara neuropatologis, itu berbeda karena hasil pemeriksaan autopsi otak menunjukan badan pick dan bukan karakteristik berkas neurofibrilar, plakat senil, atau degenerasi granulovaskular dari penyakit alzeimer. Penyakit pick juga cenderung mengenai  regio frontal otak, sedang alzeimer jauh lebih difus. Penyakit pick berdistribusi usia lebih muda daripada alzheimer, menimbulkan jauh lebih banyak demensia pada dekade keenam. Secara klinis, penyakit pick tampak di tandai gambaran yang lebih ke lobus frontal daripada penyakit alzheimer. Tak ada terapi untuk penyakit pick.
2)        Penyakit creutzfeldt-jakob adalah kondisi yang langka menimpa sekitar satu per sejuta orang bervariasi dan akut. Seringkali penyakit ini dibedakan dari penyakit alzhemier yang mungkin lebih cepat perjalannanya atau berdasarkan patologi neural, vokal dan terlokaliasasi.
3)        Korea-huntington dapat tampil dengan ganguan demensia sebelum munculnmya patologi koreiform.
4)        Hidrosefalus tekanan normal ditandai oleh gangguan berjalan inkontinensi uri, temuan neuro radiologi dan timbulnya relatif dini.
5)        Demensia akibat gangguan faali beragam. Temuan positif dari salah satu studi ini harus di interpretasi oleh klinisi mereka mungkin menunjukan suatu etiologi primer demensia yang mungkin dapat diobati, mereka mungkin pertanda tambahan rudapaksa dalam konteks demenseia degeneratif. (Harold, 1994)

E.        Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia
Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1.    Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2.    Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer. Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a.             Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
b.             Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c.              Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
d.             Pasangan hidup telah meninggal.
e.             Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan sebagainya.
3.    Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
4.    Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.
Makin meningkatnya jumlah manula dalam masyarakat telah melahirkan sejumlah penelitian psikologis tentang kemampuan orang lanjut usia. Penelitian ini telah mengukuhkan bahwa orang lanjut usia cenderung lebih lamban dalam pemahaman mental dan kurang mampu melakukan tugas-tugas yang menuntut ia mempelajari hal-hal baru.

F.         Gangguan Jiwa pada Usia Lanjut
1.    Delirium.
Merupakan Sindrom Otak Organik (SOO), yang ditandai dengan fluktuasi kesadaran, apatis, somnolen, spoor, koma, sensitif, gangguan proses berpikir. Konsentrasi pada lanjut usia akan mengalami kebingungan dan persepsi halusinasi visual (pada umumnya). Psikomotor akan mengikuti gangguan berpikir dan halusinasi
2.    Psikosa pada lansia
Gejala gejala : awalnya idea of reference, waham, terkadang sebagai penyerta demensia, premorbid, schizofrenia
3.    Abuse pada lansia
Tindakan yang disengaja atau kelalaian terhadap lansia baik dalam bentuk malnutrisi, fisik/tenaga atau luka fisik, psikologis oleh orang lain yang disebabkan adanya kegagalan pemberian asuhan nutrisi, pakaian, pengawasan, pelayanan medis, rehabilitasi, dan perlindungan yang dibutuhkan.
Abuse, suatu tindakan kekerasan yang disengaja seperti kekerasan fisik, mental dan psikologi, serta jenis penyiksaan lainnya yang tidak dibenarkan
Neglect, suatu keadaan di ana lansia yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri tidak mendapatkan bantuan dari keluarga maupun pemberi asuhan (caregiver)
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan sebagai berikut
a.         primer : pendekatan kepada komunitas/lingkunganpeberi dukungan pada lansia, memperkuat koping individu dan keluarga, pola sehat lingkungan, melihat tanda-tanda risiko tinggi.
b.         sekunder : diskusi,komunikasi yang efektif dengan keluarga
c.         tersier : tidak menoleransi kekerasan, mengharagai dan peduli pada anggota keluarga, memprioritaskan kepada keamanan, tulus secara utuh dan pendayagunaan. (Farida, 2010)
4.    Gangguan demensia
Faktor resiko demensia yang sudah diketahui adalah usia, riwayat keluarga, dan jenis kelamin wanita. Perubahan khas pada demensia terjadi pada kognisi, memori, bahasa, dan kemampuan visuospasial, tapi gangguan perilaku juga sering ditemui, termasuk agitasi, restlessness, wandering, kemarahan, kekerasan, suka berteriak, impulsif, gangguan tidur, dan waham.
5.    Gangguan depresi
Gejala yang sering muncul pada gangguan depresif adalah menurunnya konsentrasi dan fisik, gangguan tidur (khususnya bangun pagi terlalu cepat dan sering terbangun(multiple awakenings), nafsu makan menurun, penurunan berat badan, dan masalah-masalah pada tubuh.
6.    Gangguan kecemasan
Termasuk gangguan panik, ketakutan (fobia), gangguan obsesif-kompulsif, gangguan kecemasan yang menyeluruh, gangguan stres akut, dan gangguan stres pasca trauma.
Tanda dan gejala ketakutan (fobia) pada lansia tidak seberat daripada yang lebih muda, tetapi efeknya sama. Gangguan kecemasan mulai muncul pada masa remaja awal atau pertengahan, tetapi beberapa dapat muncul pertama kali setelah usia 60 tahun.
Pengobatan harus disesuaikan dengan penderita dan harus diperhitungkan pengaruh biopsikososial yang menghasilkan gangguan. Farmakoterapi dan psikoterapi dibutuhkan.

G.       Pendekatan Perawatan Lanjut Usia
1.    Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang dialami klien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bias di capai dan dikembangkan, dan penyakit yang yang dapat dicegah atau ditekan progresifitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian yaitu:
a.         Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan sendiri.
b.         Klien lanjut usia yang pasif atau yang tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien usia lanjut ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk mempertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila keberhasilan kurang mendapat perhatian.
Disamping itu kemunduran kondisi fisik akibat proses penuaan, dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindahdari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting meskipun tidak selalu keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala yang ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang pada klien lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif, misalnya gangguan serebrovaskuler mendadak, trauma, intoksikasi dan kejang-kejang, untuk itu perlu pengamatan secermat mungkin.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebuh mendasar adalah memperhatikan atau membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan, minum, melakukan eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, tidur, menjaga sikap, tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian, mempertahankan suhu badan melindungi kulit dan kecelakaan.Toleransi terhadap kakurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus disegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan melakukan gerak badan yang berlebihan.
Seorang perawat harus mampu memotivasi para klien lanjut usia agar mau dan menerima makanan yang disajikan. Kurangnya kemampuan mengunyah sering dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menghidangkan makanan agak lunak atau memakai gigi palsu. Waktu makan yang teratur, menu bervariasi dan bergizi, makanan yang serasi dan suasana yang menyenangkan dapat menambah selera makan, bila ada penyakit tertentu perawat harus mengatur makanan mereka sesuai dengan diet yang dianjurkan.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi bisa saja timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, kebersihan badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku dan mulut atau gigi perlu mendapat perhatian perawatan karena semua itu akan mempengaruhi kesehatan klien lanjut usia.
Perawat perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan, hal ini harus dilakukan kepada klien lanjut usia yang diduga menderita penyakit tertentu atau secara berkala bila memperlihatkan kelainan, misalnya: batuk, pilek, dsb. Perawat perlu memberikan penjelasan dan penyuluhan kesehatan, jika ada keluhan insomnia, harus dicari penyebabnya, kemudian mengkomunikasikan dengan mereka tentang cara pemecahannya. Perawat harus mendekatkan diri dengan klien lanjut usia membimbing dengan sabar dan ramah, sambil bertanya apa keluhan yang dirasakan, bagaimana tentang tidur, makan, apakah obat sudah dimminum, apakah mereka bisa melaksanakan ibadah dsb. Sentuhan (misalnya genggaman tangan) terkadang sangat berarti buat mereka.
2.    Pendekatan psikis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter , interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip ” Tripple”, yaitu sabar, simpatik dan service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih sayang dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan.. Untuk itu perawat harus selalu menciptakan suasana yang aman , tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa , rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya.
Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena bersama dengan semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan , perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara perlahan –lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
3.    Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia di Panti Werda.
4.    Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnua dalam kedaan sakit atau mendeteksi kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi kematian, DR. Tony styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam factor, seperti ketidak pastian akan pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi bengan keluatga dan lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun kelurga tadi di tinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan seseorang merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka. (http://lettre-de-raphael.blogspot.com/)

http://sphotos-g.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash2/t1.0-9/p173x172/421638_10150764186786209_425912969_n.jpg

Referensi :
Kaplan, Harold I & Benjamin J. Sadock. 1994. Buku Saku Psikiatri Klinik. Jakarta: Binapura Aksara.
Kusumawati, Farida & Yudi Hartono. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatn Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Maramis, W.F. 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Maryam, R. Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Purwaningsih, Wahyu & Ina Karlina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakartaa : Nuha Medika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar