Rabu, 10 September 2014

Impian Saya, Tua Bahagia Mati Masuk Surga

Orang mungkin bermimpi menjadi kaya, hidup makmur, berwajah rupawan, sukses dalam pekerjaan dan pergaulan. Tapi saya hanya punya satu impian. Ketika menua, saya ingin menjalaninya dengan bahagia, lalu kalau bisa, mati masuk surga. Mengapa?

nenek dan cucunya, sama-sama bahagia
Menjadi tua di jaman sekarang ternyata tidak mudah. Apalagi jika tak memiliki cukup tabungan atau keluarga yang peduli. Para lansia terpaksa menghabiskan hidupnya dengan menanggung kesepian di panti jompo, atau malah terlunta-lunta di penampungan para gelandangan. Ini yang tak saya inginkan. Andai euthanasia diperbolehkan di Indonesia, saya pilih euthanasia saja ketimbang menjadi uzur tapi menderita.
Saya teringat pengalaman saat melakukan perjalanan ke Siem Reap September awal. Di sebuah jembatan yang menghubungkan Central Market dengan Old Market, duduk perempuan tua etnis China dengan setumpuk tas dan barang bawaan. Dia duduk di sana sejak pagi hingga petang, sampai seorang petugas keamanan datang dan membawanya ke sebuah hostel seharga 3 dolar semalam.
Perempuan itu, sebut saja Su Hing, terpaksa hidup menggelandang ala turis di negara dunia ketiga mirip Kamboja, Thailand, atau Laos, karena tak mampu hidup di negaranya, Hongkong. Uang pensiunannya terlalu sedikit buat hidup di negara maju dan mahal itu. Sementara anak-anaknya tak begitu peduli akan nasibnya. Jadilah Su Hing turis yang gelandangan. Dia tidur beberapa hari di Stasiun Hualamphong, Bangkok, lalu pindah ke kota lain dengan cara yang sama.
Dalam perjalanan ke Chiang Mai, saya juga berjumpa Piere, lelaki asal Prancis yang berumur 62 tahun. Piere menghabiskan 7 tahun hidupnya di Thailand dengan membuka toko roti dan keju. Katanya, “Di negaraku, orang seumuranku susah mendapat pekerjaan. Jadi aku bertahan hidup di sini. Setidaknya, negeri ini memberi ruang bagiku untuk mencari uang.”
Negara dunia ketiga seperti Kamboja, Thailand, Laos dan lainnya rupanya menjadi pelarian bagi para lansia di negara maju untuk bertahan hidup. Bagaimana dengan para manula di negara berkembang?
Awal Oktober saya sempatkan berkunjung ke sebuah panti wreda di Surabaya. Ada 18 perempuan usia lanjut dirawat di sana. Sebagian besar memiliki keluarga, namun enggan direpotkan dengan urusan merawat ibu, nenek, atau tante mereka. Lebih baik bagi mereka membayar panti wreda itu beberatus ribu setiap bulan ketimbang mengurus anggota keluarga yang menua. Budaya memelihara orangtua sudah mulai memupus di kalangan keluarga menengah ke atas di perkotaan.
Ada seorang perempuan yang terus menggenggam saputangan. Saputangan itu sudah kumal, namun dia menolak jika ada petugas yang hendak mengambil dan mencucinya. “Ini saputangan pemberian anakku,” begitu selalu alasannya, seolah dengan memegang saputangan itu, cinta dan kerinduannya akan anaknya tersalurkan.
Jadi, sungguh tepat imbauan PBB seperti yang dimuat oleh VOA dalam postingan tanggal 1 Oktober 2012 yang bertajuk ‘PBB Desak Perlindungan Lebih Besar untuk Manula’.
Kalau direnungkan, perlakuan terhadap manula atau lansia adalah bentuk diskriminasi paling dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Lansia akan disingkirkan dalam lapangan pekerjaan formal, karena dia dianggap tidak produktif (kecuali jika dia si empunya perusahaan, tak ada yang berani memecatnya). Lansia juga dianggap keluarganya menjadi beban karena tak memiliki penghasilan serta lambat mengerjakan pekerjaan rumah harian (walau banyak manula yang masih aktif). Apalagi jika mereka mulai pikun. Belum lagi anggapan bahwa lansia identik dengan beragam penyakit, sejalan dengan menurunnya kekuatan fisik mereka.
Menarik mengamati desakan PBB agar negara di dunia lebih memberi perlindungan kepada lansianya. Kepedulian kita kepada lansia memang mulai menurun. Di Indonesia misalnya, budaya memelihara orangtua hingga akhir hayat di masa lalu, kini mulai pupus. Kerap pula di antara kita memperlakukan orangtua yang jompo tidak manusiawi, membentak-bentak, dengan alasan orangtua mulai pekak dan pikun.
Dalam hal ini saya mesti belajar dari dua negara tetangga, Malaysia dan Thailand. Di Penang, ada rumah sakit gratis buat lansia dan orang miskin. Pendirinya, yayasan buddha setempat. Di rumah sakit ini siapapun boleh datang dan akan mendapat pengobatan ala China. Sementara di Thailand, hampir di setiap propinsi ada ‘Senior Citizen Hospital’, yaitu rumah sakit khusus lansia.
Thailand juga memperlakukan para lansia dengan baik, mulai di angkutan umum, tempat antrian, dan masih banyak lagi. Penghormatan orang Thailand terhadap lansia sama dengan penghormatan mereka terhadap pendeta buddha atau ‘monk’.
Ingat saya akan kata-kata teman saat di Kamboja beberapa waktu lalu. “Jangan kaget jika melihat banyak pengemis tua di Phnom Penh. Mereka mengemis karena tak menemukan pekerjaan lagi paska pensiun. Uang pensiun terlalu sedikit untuk hidup. ” Tak heran jika banyak orang berlomba memberi uang pada para pengemis di terminal bus Phnom Penh. Sebuah bentuk bantuan dan kepedulian?
Seperti dilansir dari berita VOA tadi, di beberapa negara, dana pensiun lansia semakin berkurang. Sementara perhatian negara terhadap manulanya pun kecil porsinya. Mengharapkan bantuan pemerintah? Ah, rasanya nyaris utopia. Begitu banyak penduduk yang diurusi pemerintah Indonesia yang korup ini.
Mau tak mau orang seperti saya harus mempersiapkan diri sejak dini sebelum masuk usia senjaa, agar bisa hidup cukup dan bahagia. Memiliki cukup tabungan hari tua, dan asuransi kesehatan menjadi sebuah kewajiban. Begitu juga mempersiapkan karir abadi seperti di bidang seni, penulisan, merawat kebun, dan lainnya. Kalau tidak, sebaiknya melakukan euthanasia ketimbang mengemis dan menjadi gelandangan. Saya tak mau selagi muda harus selalu kerja keras, lalu menua masih sengsara. Alangkah menyedihkannya ditakdirkan menjadi manusia kalau begitu. (http://othervisions.wordpress.com/2012/10/13/impian-saya-tua-bahagia-mati-masuk-surga/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar