Kamis, 05 Juni 2014

Hidayah Datang di Hari Tua

1396552746771777230
Sumber ilustrasi :http://www.unipdu.ac.id
Oleh : J. Haryadi
Tidak jauh dari sebuah mushola tua, terlihat seorang Sersan tua dari sebuah kesatuan TNI sedang duduk termenung. Hari itu dirinya merasa lelah setelah seharian bertugas dikantornya. Berita di televisi tentang tragedi tsunami Aceh yang memakan banyak korban jiwa dan diberitakan berkali-kali oleh berbagai stasiun televisi telah membuat hatinya tergoncang hebat.
Sebagai prajurit TNI, jiwa pria paruh baya ini dikenal keras, hatinya kuat dan tidak mudah cengeng. Tetapi entah mengapa, hari itu ada yang aneh dalam dirinya. Mendadak dirinya menjadi rapuh dan merasa sangat kecil dihadapan-Nya. Kejadian di Aceh itu sangat membekas dalam jiwanya, sehingga dirinya merasa seolah-olah hadir ditengah bencana tersebut. Dalam pikirannya, dia  merasa kejadian tersebut bisa melanda dirinya yang kini sudah mulai renta.
Tentara bertubuh tinggi besar itu lalu secara perlahan menghampiri mushola. Padahal selama ini dia sudah begitu sering melewatinya. Baru kali ini terbersit dalam hatinya untuk mampir dan masuk kedalam mushola. Didalamnya tampak seorang pria kurus setengah baya yang sedang membersihkan lantai.
Assalamu’alaikum, ” terdengar suara sersan tua itu memecah kesunyian.
Wa’alaikum Salam,” jawaban lembut keluar dari dalam mushola.
Keduanya lalu bersalaman. Pria penghuni mushola lalu mempersilahkan sersan tua itu untuk masuk ke dalam.
Ma’af pak Ustad…….boleh nggak mengganggu waktunya sebentar ?” pinta sersan kepada lpria tua tadi, yang tak lain adalah seorang Ustad pengurus mushola tersebut.
Boleh…boleh Pak ! Ada apa ya ?” jawab pak Ustad setengah heran.
Tentu saja, sebab baru kali ini ada seorang tentara berpakaian dinas tiba-tiba masuk kedalam musholanya hanya untuk berdiskusi. Ustad itu  belum pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Anu…..anu…..oh, begini pak ustad…..saya jadi bingung mau memulainya. Saya mau belajar mengaji pak Ustad ……,” suara serak dan agak tertahan keluar dari mulut sersan tua itu.
Tampaknya prajurit TNI itu agak sulit mengutarakan maksud kehadirannya. Tetapi dirinya sudah bulat tekad untuk mengatakannya. Baginya tidak ada istilah terlambat untuk belajar, walau usianya kini sudah diatas kepala empat.
Ma’af pak…….apakah selama ini Bapak tidak sholat ?” tanya pak ustad setengah tak percaya.
Saya sering sholat pak ustad, bahkan hampir tak pernah meninggalkannya. Tapi saya datang kesini karena mau belajar mengaji …..….
Tapi ….bukankah Bapak sudah sering sholat ? Itu artinya bapak sudah bisa mengaji. Bukankah untuk bisa sholat Bapak harus membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an ? Bukankah itu salah satu syarat menunaikan ibadah sholat ?
Betul pak Ustad…..selama ini saya memang sholat dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, namun yang saya baca selama ini belum tentu benar. Saya bisa hafal ayat-ayat Al-Qur’an hanya dengan membaca bacaan huruf latinnya pak Ustad, bukan membaca huruf Arabnya. Jadi saya belum mengerti arti atau makna dari ayat-ayat yang saya baca. Jadi saya betul-betul belum bisa mengaji pakai huruf Arab pak Ustad…….”
Jadi Bapak selama ini memang belum bisa membaca huruf Arab ?
Betul Pak Ustad…..”
Bapak serius mau belajar ? Bapak tidak malu belajar dengan saya ? Saya ini bukan siapa-siapa….saya hanyalah makhluk Tuhan yang hanya tahu sedikit tentang ilmu agama. Saya juga masih belajar pak,” jawab pak Ustad itu merendah.
Saya serius pak Ustad…..saya takut mati. Saya tidak mau kalau ibadah yang saya lakukan selama ini tidak dinilai oleh Allah. Saya merasa ibadah saya masih jauh dari sempurna. Saya mau menjalankan agama dengan baik. Dulu saya tak sempat belajar mengaji dengan benar, sehingga pengetahuan saya hanya terbatas. Saya ingin pintar mengaji seperti pak Ustad.”
Kalau Bapak seirus, saya bersedia membantu Bapak belajar mengaji disini. Kapan Bapak bersedia memulainya ?
Saya mau belajar secepatnya pak Ustad. Bagaimana kalau ba’da Magrib pak Ustad ?”
Baiklah….kalau begitu, mulai hari ini Bapak boleh mengaji disini.”
Sejak hari itu, hampir setiap ba’da Magrib sang Sersan datang ke mushola tersebut untuk belajar mengaji. Sersan tua itu diberi buku Iqro yang biasa dipakai anak-anak belajar mengaji. Ia terus tekun berlatih belajar mengaji sendiri dibawah bimbingan pak Ustad.
Selang beberapa minggu kemudian, tetangga lainnya yang berusia lebih tua dari Sersan itu datang menemuinya. Mereka bertemu tidak sengaja ketika dia hendak berangkat ke mushola.
Maaf pak Karyo, Saya lihat beberapa minggu ini Bapak rajin ke mushola…ada apa ya pak ?” tanya lelaki bertubuh tambun tersebut setengah keheranan. Maklum, selama ini ia belum pernah melihat Sersan Karyo begitu rajin datang ke mushola.
Anu…pak ….Saya….Saya sedang belajar mengaji,” jawab Sersan Karyo malu-malu.
Belajar mengaji ? bukankah Pak Karyo sudah bisa sholat ? Kita kan sering sholat Jum’at bersama, jadi seharusnya Bapak sudah bisa mengaji kan ?” balas lelaki tambun itu.
Benar pak Darno…….tapi kan saya hanya hafal dimulut saja. Selama ini saya belajar ngaji hanya dengan membaca huruf Latin saja pak, bukan huruf Arabnya. Sekarang saya mau sholat saya diterima Allah, jadi saya sekarang sedang belajar mengaji dengan pak Ustad yang mengurus mushola itu,” jawab sersan tua itu sambil jari telunjuknya mengarah ke mushola.
Ma’af pak Karyo …….boleh gak Saya ikut mengaji juga ?
Maksud Pak Darmo ?
Ya…..Saya mau ikut mengaji seperti Pak Karyo ……sebab Saya juga sama dengan Bapak, selama ini hanya hafal dari baca huruf Latin. Dari dulu Saya mau belajar mengaji tapi malu karena sudah tua, tapi……. setelah melihat Pak karyo, Saya mau mengaji pak …..kan ada teman.”
Alhamdulillah, terima kasih Bapak mau menemani Saya. Bagaimana kalo kita mulai dari sekarang pak ?”
Boleh…..nanti saya ganti pakaian dulu ya pak, Saya mau pakai sarung dan peci kayak pak Karyo
Pak Karyo tidak menyangka kalau masih ada orang lain seusianya yang bernasib sama. Semula dia menyangka hanya dirinya sendiri yang tidak bisa mengaji dilingkungannya. Ternyata masih ada juga orang yang tidak bisa mengaji seperti dirinya.
Setelah memasuki bulan kedua, datang lagi temannya pak Darmo bergabung dengan pengajian tersebut. Sampai akhirnya ada 12 orang yang mengaji di mushola itu. Mereka rata-rata berusia antara 45 sampai 60 tahun. Diantara ke 12 orang tersebut, ternyata Pak Karyo merupakan santri yang paling muda di kelompok pengajiannya, karena semua teman-teman mengajinya berusia lebih tua darinya.
Setelah sekitar setahun belajar mengaji dengan tekun, kedua belas santri tua itu semuanya bisa khatam Al-Qur’an. Mereka lalu syukuran dengan membuat nasi tumpeng untuk dimakan bersama di mushola itu dengan mengundang beberapa orang tetangga terdekat.
Kini, dari kedua belas santri tua itu, delapan  orang diantaranya sudah bisa berdakwah dan sering diundang ceramah dimasjid-masjid. Mereka semua sepakat untuk mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan dengan cara mengajarkan kepada orang lain untuk tidak putus asa dan tidak malu belajar. Diri mereka sendiri adalah contoh yang nyata. Ternyata kalau kita mau belajar, Allah pasti akan memberikan ilmu untuk kita. (sumber: http://lifestyle.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar