Jumat, 13 Februari 2015

Hasil Survei Sebut Warga Sumatera Barat Kurang Bahagia, Apa Iya?

  Kabar kurang menggembirakan itu datang setelah Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei indeks kebahagiaan masyarakat yang menempatkan Sumatera Barat pada urutan tiga terbawah setelah Papua dan Nusa Tenggara Timur.

Berbeda jauh dengan Kepulauan Riau yang hanya berjarak 45 menit menggunakan pesawat udara dari Padang. Ternyata provinsi yang berbatasan dengan Singapura itu dinobatkan sebagai provinsi yang penduduknya paling bahagia di Indonesia dengan angka 72,42 poin.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS pada 2.368 rumah tangga tersebar di 19 kabupaten dan kota, diperoleh hasil indeks kebahagiaan warga Sumatera Barat berada pada angka 66,79 dari skala 0-100.

Beragam komentar pro dan kontra bermunculan menanggapi hal itu, mulai dari tokoh masyarakat, pejabat, politisi, hingga menjadi perbincangan di sejumlah warung kopi, dunia maya dan jejaring sosial.

Bahkan Ketua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik yang berasal dari Sumbar ikut berkomentar melalui akun jejaring sosialnya yang mempertanyakan mengapa hasil survei BPS menempatkan tingkat kebahagiaan warga Sumbar hanya pada urutan ketiga dari bawah.

Apa gerangan yang menyebabkan Sumbar hanya berada di atas Papua dan Nusa Tenggara Timur. Benarkah orang Minang tidak bahagia? Menjawab hal itu, Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Sumbar Satriono menjelaskan pihaknya menggunakan 10 indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan dimana semakin tinggi angkanya menunjukan tingkat kehidupan yang semakin bahagia.

Ia mengatakan kebahagiaan merupakan suatu hal yang dirasakan dan dipersepsikan secara berbeda oleh setiap orang, karena itu pengukuran kebahagiaan merupakan hal yang subjektif.

"Kebahagiaan menggambarkan indikator kesejahteraan subjektif yang digunakan untuk melengkapi indikator objektif," kata dia seperti dilansir Antara, Selasa (10/2).

Satriono menjelaskan 10 indikator yang dipakai dalam mengukur indeks kebahagiaan tersebut adalah keharmonisan keluarga, kondisi keamanan, keadaan lingkungan, hubungan sosial, dan ketersediaan waktu luang.

Kemudian, kesehatan, pekerjaan, kondisi rumah dan aset, pendapatan rumah tangga dan pendidikan.

"Ke-10 aspek tersebut secara substansi dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan, berurutan dari tingkat kepuasan warga," kata dia.

Menurutnya tiga aspek yang berkontribusi paling tinggi dalam menentukan indeks kebahagiaan warga Sumbar adalah pendapatan rumah tangga sebesar 14,49 persen, pendidikan 13,59 persen serta kondisi rumah dan aset 13,53 persen.

Ternyata, tingkat kepuasan penduduk Sumatera Barat terhadap keharmonisan keluarga adalah paling tinggi sebesar 78,87, sementara tingkat kepuasan terendah terjadi pada aspek pendidikan sebesar 57,04.

Lebih lanjut ia mengatakan ternyata perempuan lebih bahagia dibandingkan laki-laki, dimana indeks kebahagian laki-laki berada pada angka 66,28 dan perempuan pada angka 67,09.

Tidak hanya itu, penduduk berstatus belum menikah memiliki indeks kebahagiaan paling tinggi, yakni sebesar 68,22 dan mereka yang berstatus cerai lebih rendah indeks kebahagiaannya, yaitu cerai hidup 62,65 dan cerai mati 63,80, kata dia.

Kemudian, penduduk umur di bawah 24 tahun memiliki indeks kebahagiaan tertinggi sebesar 71,42 dan penduduk lansia berumur di atas 65 tahun mempunyai indeks kebahagiaan paling rendah 63,38.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumbar Asnawi Bahar menilai salah satu faktor yang menyebabkan rangking kebahagiaan masyarakat Sumbar rendah kemungkinannya adalah faktor ekonomi.

"Saat ini investasi di Sumbar kurang bergairah, penuh tekanan dan regulasi yang ada kurang mendukung sehingga terjadi kelesuan," kata dia.

Asnawi melihat salah satu penyebabnya adalah tidak hadirnya pemerintah ketika ada warga yang menghadapi permasalahan.

Pada bagian lain ancaman bencana alam juga mengintai mulai dari gempa dan banjir sehingga investasi menjadi sulit, ujar pria yang pernah menjadi calon Wali Kota Padang ini.

Apalagi ia menilai di masa lalu pembangunan Sumatera Barat cukup pesat, namun pascagempa 2009 terjadi penurunan.

Sementara ulama Sumatera Barat Buya Masoed Abidin menilai kebahagiaan adalah sesuatu yang mudah disebutkan, tapi lebih berhubungan dengan rasa yang wujudnya tidak terlihat.

"Oleh sebab itu ada orang bahagia ketika memberikan sesuatu pada orang lain, sebaliknya ada yang merasa bahagia ketika menumpuk materi bahkan ketika melakukan korupsi," kata Ketua Dewan Dakwah Islam Sumbar ini.

Ia mengakui memang terjadi penurunan standar nilai dan tatanan dalam masyarakat Sumatera Barat saat ini jika dibandingkan dengan masa lalu.

Dulu generasi muda Minang diajarkan berdagang dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun saat ini lebih banyak yang muncul adalah generasi instan, katanya.

Persepsi Menanggapi hal itu pengamat sosial dari Universitas Andalas (Unand) Padang Prof Damsar mengatakan hasil survei yang menyatakan warga Sumbar kurang bahagia merupakan persepsi atau cara pandang warga Sumbar dalam memandang kebahagiaan.

Persepsi itu merupakan sudut pandang seseorang dalam melihat dan menilai sesuatu dimana akan berbeda-beda pada masing-masing individu disebabkan sejumlah faktor sehingga menjadi sangat subjektif, kata dia.

Damsar memberi contoh ada dua orang yang memiliki pekerjaan dan penghasilan yang sama, akan tetapi belum tentu kebahagiaanya sama karena latar belakang keluarga yang berbeda.

"Karena itu dapat saja secara ekonomi kondisi masyarakat Sumbar lebih baik dari daerah lain, namun masyarakat menggunakan standar yang tinggi dalam menilai kebahagiaan," kata akademisi yang pernah menjabat Ketua Kopertis Wilayah X ini.

Menurut dia, hal itu bisa disebabkan karena tingginya ambisi atau target pencapaian dalam hidup sehingga walaupun sudah memenuhi sejumlah kebutuhan masih belum puas dengan kondisi yang ada.

Masyarakat di daerah lain ketika telah memperoleh pencapaian tertentu dalam hidup sudah merasa puas dan bahagia namun di Sumbar dengan pencapaian yang sama merasa belum bahagia, kata dia.

Lebih jauh ia sedikit khawatir jangan-jangan warga Sumatera Barat kurang bersyukur dengan pencapaian yang ada sehingga merasa kurang puas.

Sementara Wakil Gubernur Sumatera Barat Muslim Kasim berpendapat tingkat kebahagiaan masyarakat relatif dan tidak dapat diukur secara matematika.

Hasil survei yang menyatakan masyarakat Sumbar berada pada urutan bawah untuk tingkat kebahagiaannya adalah kenyataan yang harus dihadapi, katanya.

Ia berpesan membahagiakan masyarakat bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tugas semua pihak dengan bahu membahu mencari solusi bersama.
  (http://www.harianterbit.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar