Pada usia di atas 35 atau 40 tahun. kita kerap sibuk dengan
persiapan pensiun, persiapan hari tua. Biasanya, persiapan itu berkaitan
dengan uang dan kesehatan. Kita sudah terpola untuk berpikir ingin
hidup tenang di hari tua, duduk-duduk tanpa beban, hanya bermain dengan
cucu, jalan-jalan ke sana ke mari. Kita ingin hidup di zona nyaman. Atau
kita hanya berpikir menghabiskan masa tua hanya dengan shalat dan
membaca Quran dari waktu ke waktu, tanpa kegiatan lain. Itulah mindset kita. Itulah fenomena yang terjadi di sekitar kita.
Pun, ketika kita belum memasuki usia pensiun, baru mendekati atau
memasuki usia 40 tahun, kita kerap sudah merasa bukan saatnya untuk
aktif. Kita kehilangan gairah. Bahkan mungkin kehilangan arah: mau apa,
mau ke mana, untuk apa? Hanya ingin hidup tenang di zona nyaman. Hanya
ingin bersenang-senang, tak ingin bergerak. Hanya ingin bercanda,
berkumpul sana-sini, ngobrol ngalor-ngidul tanpa tujuan jelas.
Kita bahkan cenderung hanya ingin memikirkan diri sendiri, makin tak
peduli. Kita merasa sudah saatnya istirahat.
Tapi, adakah Islam mengajarkan pola pikir semacam itu tentang hari tua?
Ingatlah, Rasulullah memulai hidup baru di usia 40 tahun. Demikian
pula sahabat-sahabat beliau, seperti Abu Bakar Siddiq yang lebih muda 2
tahun enam bulan dibanding Rasulullah. Di usia itu, Rasulullah dan para
sahabat memasuki perjuangan baru, meninggalkan kenyamanan yang selama
ini mereka rasakan. Harta, mereka infaqkan. Martabat manusia, mereka
perjuangkan. Bukannya bersantai dan stagnan, mereka makin aktif dan
dinamis.
Di usia tua, Rasulullah tidak sibuk dengan shalat dan membaca Quran
saja, tapi beliau makin aktif membina hubungan dengan sesama manusia.
Tidak hanya hubungan dengan Allah, tapi juga hubungan dengan manusia.
Beliau makin bermasyarakat, makin terlibat dalam kehidupan sosial.
Artinya, memasuki usia pensiun bukan alasan kita untuk melepaskan diri
dari kehidupan sosial dan hanya sibuk dengan diri sendiri. Ingatlah,
Islam itu tidak mengajari umatnya untuk egois dan selfish.
Hingga akhir hayat, Rasulullah tidak pernah diam dan tidak juga ingin
beristirahat. Beliau bahkan ‘tidak tenang’ karena masih memikirkan
umatnya. Beliau juga tidak meninggal dalam keadaan kaya, tidak dalam
keadaan pensiun karena beliau tetap memimpin umatnya. Pensiunnya beliau
adalah kematian.
Begitu juga sahabat-sahabat Rasulullah yang lain. Saya pribadi belum
pernah mendengar sahabat Rasulullah pensiun ketika wafat. Abu Bakar,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, contohnya. Begitu
juga dalam hal mencari nafkah. Mereka bekerja hingga akhir hayat.,
Bukan bergantung kepada uang pensiun dari negara dan tidak mau menjadi
beban orang lain. Karenanya, dalam Islam, orang yang bekerja mencari
rezeki dan tidak diam berpangku tangan itu sangat dihargai, dianggap
jihad fi sabilillah.
“Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa
terhapus oleh (pahala) shalat,sedekah ataupun haji, namun hanya dapat
ditebus dengan kesungguhan dalam mencari penghidupan.”(H.R.Thabrai)
Konsep pensiun yang umum dipahami masyarakat membuat kita lupa bahwa
bertambah usia itu berarti kesempatan hidup kita makin berkurang. Waktu
yang bisa kita gunakan untuk meraih mimpi sebagai manusia sukses versi
Allah makin sempit. Manusia sukses versi Islam itu menurut hadist
adalah, “Yang terbaik di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Hadis ini menyiratkan bahwa hubungan sosial, kerja sosial, melakukan
hal-hal yang bermanfaat bagi sesama adalah kunci kesuksesan. Nah, sejauh
ini, apa yang sudah kita lakukan untuk sesama?
Jadi, alih-alih mengendur, di usia pertambahan usia dan bahkan di
usia senja, semangat dan upaya kita untuk menjadi manusia yang
bermanfaat harus lebih tinggi. Alih-alih berpangku tangan, kita harus
berkejaran dengan waktu untuk mengejar target menjadi manusia bemanfaat
sebelum deadline (baca: ajal) tiba. Bertambah usia, kita harus makin
merambah dunia berbagi dan menjadi sosok bermanfaat, bukan berpikir
untuk hidup santai dan sekadar menghabiskan waktu dengan hal-hal tak
jelas. Lagipula, makin pasif seseorang, makin cepat pikunlah dia.
Alhasil, jika memang kita ingin mempersiapkan hari tua, selain
menyiapkan “uang” agar tidak berkekurangan, yang lebih penting adalah
menyiapkan apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa bermanfaat bagi
sesama di hari tua, sampai hari kita menutup mata Pikirkanlah bagaimana
kita mengerjakannya dan agar kita tidak menjadi beban orang lain.
Waktu terus bergerak. Sebagai khalifah Allah, kitalah yang harus
menguasai waktu, bukan tergerus olehnya. Tak ada kata terlambat untuk
memulai hidup baru. Tua, bukan alasan untuk putus asa. Merasa tua dan
berpikir bukan saatnya untuk hidup aktif dan dinamis sepertinya bukan
pilihan yang tepat. Justru, kita harus lebih hidup dan bersemangat.
Tidak ada kata pensiun untuk menjadi manusia sukses di mata Allah.
Harta tidak kita bawa mati, hanya amal kebaikan kita yang bisa
menemani. Mari menjadi sosok yang pandai menggunakan peluang dan waktu
untuk hal-hal berguna bagi sesama, bukan hanya untuk diri sendiri :-) (https://hikmahua.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar