Beruntung punya media seperti Kompasiana ini.
Bagi penulis pemula atau yang masih malu-malu dan ragu-ragu menampilkan
buah pikirannya, media sosial ini, juga yang lainnya seperti Facebook,
Twitter, Blog, bahkan SMS dan BBM sekalipun, sangat menolong
mengilangkan keraguan tersebut. Pasalnya, kita belum menulis ke taraf
yang ‘lebih tinggi’ lagi seperti menjadi kolumnis atau penulis buku.
Media sosial ini masih aman untuk kita melatih menuangkan ide dengan
gaya penulisan yang kita suka dan mampu menuliskannya.
Naik ke taraf yang lebih serius, tentu kita akan menulis dengan memenuhi
ketentuan teknik penulisan yang lebih baik lagi karena akan dibaca
banyak orang dan nama kita pun tampil, meskipun nama pena. Setidaknya
secara moral kita punya tanggung jawab untuk ‘mempertanggung jawabkan’
apa yang kita tulis itu.
Saya sekarang lagi senang-senangnya mengamati dan membahas tulisan seputar Pensiun. Alasannya sih pribadi karena ‘orang sebelah’ alias soulmate saya, sudah kepingin segera pensiun. Padahal kata ‘Pensiun” buat saya kata yang sangat menakutkan. Bener, lho. Kenapa?
Kalau bicara pensiun, yang terbayang di mata saya adalah figur Ayah
saya, almarhum. Saya tahu persis apa dan bagaimana beliau menyiapkan dan
menjalani masa pensiun tersebut. Beliau juga karena satu dan lain hal,
pensiun sebelum waktunya. Tepatnya “ngambek” (lah, kok dikasih tau
pembaca :D). Beliau mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai PNS ‘cuma’
gara-gara tersinggung dimana beliau seharusnya cikal bakal atau calon
jadi untuk menduduki suatu posisi tertentu yang semua orang juga tahu
dan mendukung. Termasuk atasannya. Namun nasib berkata lain, justru
orang yang tidak dikenal dan datang dari luar instansi beliau yang
diangkat. Ayah saya kecewa karena ide-ide dan rencana yang selama ini
akan dilanjutkan, jika punya wewenang dengan jabatan baru tersebut, akan
membuat program kerja dimana ia berada akan semakin sukses. Ternyata
hal ini tidak diduga oleh beliau. Maka, pensiun dini adalah pilihan
terbaik yang beliau ambil, walau sudah tinggal beberapa tahun saja lagi
masa pensiun itu datang. Untung beliau tetap sehat dan masih bisa ceria
dengan isteri, anak, menantu dan cucu.
Setelah pensiun, ayah saya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
berkebun, hingga halaman rumah kami yang lumayan luas tertata rapi,
hijau, bersih dan membuat decak kagum mereka yang lewat atau singgah di
rumah kami. Selain itu beliau juga jago membuat perkakas rumah tangga, seprti kursi kayu, lemari, memperbaiki mesin air, juga membangun sebuah saung di halaman belakang rumah. Jadilah kami kalau berkumpul makan bersama di atas saung buatan Ayah.
Hobi beliau yang lain adalah membaca, baik koran maupun buku. Ayah saya
punya koleksi buku yang tertata rapi. Jika ada buku baru tentang tokoh
atau olah raga -karena beliau bekerja di dunia keolah ragaan- pasti
dibelinya, lalu kami harus mendengar celoteh beliau tentang buku-buku
yang telah dibacanya.
Namun sayang, Ayah saya kurang suka bergaul. Semenjak pensiun, beliau
lebih senang menghabiskan waktunya dengan segala hobinya seperti di
atas. Kami anak-anaknya, suka membawa beliau jalan-jalan, namun beliau maleees sekali kalau diajak kumpul acara keluarga. Kata beliau, isinya cuma gosip dan perbandingan harta saja….hehehee.
Semakin tua semakin lemah fisik dan psikologis beliau. Pelan-pelan
kepikunan mulai merambah. Ayah semakin senang menyendiri walau masih
suka bersama anak dan cucu-cucunya. Hingga suatu saat dalam usia yang
‘belum terlalu tua’ , 75 tahun, beliau kembali ke haribaanNya dengan
tenang.
Apa yang ingin saya sampaikan dengan kisah di atas adalah, bahwa seorang
pensiunan sebenarnya punya waktu banyak, pengalaman berjibun, dan tanpa
tekanan siapa pun karena betul-betul sudah menjadi orang bebas. Semua
tanggalan bisa jadi dianggap merah. Semua hari libur. Tidak perlu
terburu-buru bangun pagi untuk siap ke kantor, cukup untuk beribadah
saja. Tidak pelu memikirkan kemacetan dan kesimpang siuran perjalanan.
Enak, bukan?
Selain mengisi hari-hari pensiun dengan contoh di atas, terpikir oleh
saya, mengapa para pensiunan tidak menulis dengan aktif ya? Pengalaman
dan pikiran, baik yang sudah tercapai maupun masih potensial untuk
dikembangkan, ditulis sedikit demi sedikit. Terserah bagaimana cara
menulisnya, apa tulis tangan sendiri, atau diketik sendiri, atau
dituliskan orang lain sambil mendengarkan beliau bertutur, atau direkam
ucapan beliau lalu disalin dengan baik menjadi tulisan
Memang, kalau kita perhatikan di koran-koran, misalnya, para penulis itu
memang para senior. Boleh jadi mereka juga sudah pensiun. Tapi bagi
pensiun dari kalangan orang biasa, seperti Ayah saya tadi, sangat bagus
juga kalau sampai bisa menuliskan pengalaman hidupnya. Selain berbagi,
pasti akan mendapat manfaat menulis sebagai ‘healing’ atau terapi jiwa.
Bagi pensiunan yang mengakhiri karirnya dengan mulus, mungkin menuliskan
pengalaman hidup mereka merupakan suatu bentuk “Wisata Hati”. Mereka
bisa berkelana kesana ke mari, membongkar khasanah dan warisan ilmu dan
budayanya bagi orang lain. Mereka bisa dengan sesuka hati berhenti di
satu destinasi pengalaman ke destinasi berikutnya yang tidak kalah
serunya. Ini tentu bisa menjadi wawawan dan acana unik bagi pembacanya.
Setidaknya bagi anak cucunya.
Yang saya takutkan dari pensiun adalah ketika kita menjadi pasif, lemah,
letoi, tidak berdaya, takut dan penyakitan. Itu karena masa pensiun
kita anggap sebagai terminal terakhir perjalanan hidup. Seakan menunggu
maut datang. Hidup diserahkan mutlak kepada waktu dan alam. Hari-hari
hanya dilalui dengan pertengkaran dengan pasangan atau konflik dengan
anak menantu. Ah, amit-amitlah, jangan sampai kita seperti itu.
Bagi yang masih jauh dari pensiun, mari kita mulai latihan menulis,
supaya ketika waktunya tiba hati kita bisa jalan-jalan kesana kemari
walaupun duduk di rumah sambil ngemong cucu. (http://kesehatan.kompasiana.com/)
*Foto diambil dari www.investorschronicle.co.uk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar