Beberapa hari yang lalu, saya dan Phoe-san bersama Zhao-san mengunjungi sebuah tempat yang berjarak kurang lebih 1 jam 20 menit dari Sapporo jika ditempuh dengan rapid train. Kota itu bernama Takikawa, salah satu kota kecil dengan penduduk yang hanya berjumlah sekitar 43 ribu jiwa, dengan kepadatan penduduk 373 jiwa per km2, dan luas wilayah 115,82 km2. Banyak bertemu dengan orang-orang baru semakin membuka lebar mata saya mengenai persoalan-persoalan sosial yang terjadi di Negara Matahari Terbit ini. Seiring dengan berkembangnya volume perut kami karena dihajar-ditraktir habis-habisan oleh Bapak Mizuguchi dan juga Mbak Midori di resto Italia dan resto cake ala Prancis, wawasan kami juga berkembang.
Salah satu hal yang menarik yang menjadi topik perbincangan saya dengan orang asli Takikawa adalah persoalan depopulasi. Fenomena ‘Aging’ (penuaan) yang terjadi di Jepang tidak dapat dipungkiri sangat berdampak tinggi pada kondisi sosial ekonomi masyarakat dan juga pembangunan wilayah. Di Takikawa, beberapa tahun lalu, satu unit sekolah dasar mampu membuka tiga kelas untuk satu level, dan saat ini, kondisi bergeser secara drastis dan masing-masing unit hanya mampu membuka satu kelas saja. Bahkan beberapa sekolah dengan jumlah murid yang tidak mampu mencapai kuota minimal terpaksa ditutup. Hal ini tentu saja terjadi karena jumlah penduduk usia sekolah sangat rendah. Menurut penuturan masyarakat lokal Takikawa, hal tersebut dikarenakan adanya beberapa kemungkinan kondisi.
Pertama, tingkat keinginan menikah rendah. Kedua, kalaupun menikah, tingkat keinginan untuk bereproduksi (atau memiliki anak) rendah. Ketiga, penduduk usia produktif cenderung memilih untuk pindah dan menetap di kota-kota besar. Faktor pertama dan kedua nampaknya sangat dipengaruhi oleh mahalnya biaya pendidikan di Jepang dan biaya hidup yang makin meningkat. Pemuda-pemudinya terlihat sibuk dengan karir dan dunianya. Sedangkan faktor ketiga tampaknya dipengaruhi oleh terbatasnya ketersediaan pilihan lapangan pekerjaan dan fasilitas publik yang tersedia di kota kecil dan pedesaan. Hal ini rasanya adalah jawaban dari fenomena menarik bahwa 35% penduduk Pulau Hokkaido bermukim di kota Sapporo, sedangkan 65% sisanya tersebar2 di 34 (tigapuluh empat..!) kota lain yang ada di Pulau (Perfektur) Hokkaido ini.
Rendahnya jumlah penduduk usia muda dan tingginya jumlah penduduk usia tua mendorong penduduk usia tua untuk memelihara hewan peliharaan seperti anjing atau kucing sebagai bentuk solusi atas suasana hening yang ada di sekitarnya. Mereka hanya memiiki sedikit cucu atau bahkan tidak memiliki cucu. Itulah sebabnya, pusat perawatan hewan menjadi salah satu business source yang berkembang pesat di Jepang. Apa yang terjadi di Takikawa ini, sepertinya hanyalah gambaran kecil dari apa yang terjadi di seluruh penjuru negara ini. Persoalan ‘Aging’ terjadi secara merata khususnya di wilayah-wilayah pelosok. Dan tentu saja ini menjadi PR besar pemerintah Jepang tentang bagaimana distriibusi penduduk mampu dikelola agar jumlah wilayah marginal tidak semakin bertambah dan juga bagaimana meningkatkan keinginan menikah penduduk usia produktif, agar proses regenerasi mampu berjalan semestinya.
Dan berikut ini adalah penuturan Bapak Lubis yang sudah tinggal belasan tahun di Sapporo:“Salah satu yang membuat orang Jepang puyeng adalah kenyataan bahwa 2 orang produktif (15 – 64 tahun) harus mensupport 1 orang non produktif (1-14 tahun 13 % dan di atas 65 tahun 23 %). Dan angka ini diperkirakan akan naik jadi 1 banding 1 ke depannya. Ini sebabnya mereka ingin menambah manusia yang produktif karena nggak bisa mengurangi orang-orang tua. Salah satu jalan adalah menambah kelahiran, akan tetapi ini juga kelihatan agak mampet. Akhirnya ada ide untuk mencari manusia produktif dari luar negeri (selama ini mereka bertahan untuk tidak menambah imigran), yang akhirnya jumlah ryugakusei (mahasiswa asing) dan pekerja asing jadi bertambah. Makanya zaman sekarang lebih mudah bagi ryugakusei untuk mendapat kerja di dalam Jepang daripada zaman kami dulu. Ini data penduduk Jp. http://www.stat.go.jp/data/jinsui/2011np/pdf/gaiyou.pdf#page=1 . Yang menarik, lihat 図5 (grafik 5). Dari tahun 1950 persentase produktif nya tetap antara 60-70 %, akan tetapi jumlah orangtua naik dari sekitar 6 % jadi 23 %, dan yang menambah parah adalah persentase anak-anak, dari sekitar 36 % menjadi 13 %. Kedepannya, yang 13 % itu yang akan menanggung 87 %..! Ngeri..! Mungkin Jepang perlu KB-6 (keluarga berencana dgn 6 anak). Keadaan Jepang sekarang yang membuka mata bahwa ndak perlu mengekang kealamiahan manusia untuk be-reproduksi, yang diperlukan adalah bagaimana membimbing, mengarahkan dan mengelola hasil reproduksi itu..”
(ditulis oleh ISMA ROSYIDA, Hokkaido University)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar