Tetangga saya di Perumnas Simalingkar (dulu) pasangan lansia (lanjut
usia). Semua putra-putrinya sudah berhasil (mentas). Ada yang terbilang
kaya dan yang lain hidup sederhana, tidak ada yang hidupnya susah.
Cucunya banyak, sudah pun beranjak dewasa, dan satu per satu mulai
berumah tangga.
Dialah Pak Haji Ahmad dan istrinya oleh teman-teman tetangga saya dinilai kontroversial, mengapa?
Sebagai
pensiunan perusahaan swasta terkenal Pak Ahmad sebenarnya bisa hidup
berkecukupan dengan hasil jeri payahnya selama bekerja. Punya harta, dan
uang pensiun sehingga bisa melanglang buana menikmati masa tuanya
dengan jalan-jalan ke mana pun dia suka (kalau mau).
Namun
Haji Ahmad tidak begitu menikmati masa tuanya karena lebih memilih
menyewa rumah di Perumnas. Padahal, rumah anaknya dekat dan hidupnya
berkecukupan, hanya berjarak satu rumah saja dengannya.
Apakah
sang anak tidak mengajaknya tinggal serumah saja? Tidak demikian. Pak
Ahmad lah yang menolak serumah dengan anak dan menantunya. Dia hanya
ingin dekat dengan anak terutama cucu-cucunya. Tak mau menyusahkan rumah
tangga anak-menantunya sehingga sekalipun anak-anaknya berupaya
membujuk tinggal serumah dia tetap menolak.
Itu
yang saya tahu ketika masih menetap di Simalingkar. Setiap hari sang
cucu datang ke rumah kakek dan neneknya. Di sinilah saya melihat
kegembiraan dan kepuasan batin sang kakek dan nenek yang usianya
berkisar 70an. Anak-anaknya yang lain selalu mengunjunginya. Bahkan
menginap di rumahnya. Sesekali Pak Ahmad dan istri pergi mengunjungi
rumah anak-anaknya, termasuk ke luar kota Medan.
Mengapa
Pak Ahmad dan istri memilih hidup mandiri seperti itu? Lama saya tidak
mendapatkan jawabannya. Sampai saya pindah dari Simalingkar tahun 2006.
Buku ‘’Tua Itu Indah’’
Alhamdulillah.
Dua hari lalu saya memperoleh buku berjudul ‘’Tua Itu Indah (TII)’’
dari rekan sekerja saya, Muhammad Faisal. Konon buku itu baru saja
di-launching. Kepada M. Faisal saya berjanji, insya Allah akan membuat
artikel semi resensi.
Awalnya
melihat-lihat daftar isi, seterusnya tertarik membaca sejumlah topik
yang umumnya menarik guna menambah referensi dan pengetahuan seputar
menyikapi hidup menuju tahapan lansia. Dari buku’’TII’’ ini pula saya memperoleh jawaban seputar pola kehidupan dan sifat lansia seperti jiran saya, Pak Ahmad.
Ternyata, semakin tua usia seseorang sifatnya pun ikut berubah. Namun tidak semua berubah. Sebagian orang selalu mengatakan, orang
lansia sifatnya kembali seperti anak-anak, tentu ada benarnya, seperti
mudah tersinggung, gampang merajuk, ingin diperhatian dll.
Tentu
tidak semua kelakuannya persis anak-anak, karena seperti halnya Pak
Ahmad sifat keras dan disiplinnya masih konstan. Sikap dan penampilannya
masih berwibawa, disegani jiran tatangga. Dia pun masih aktif membaca
koran (Waspada). Tentu tak lupa mengaji Al-Quran dan buku-buku agama
lainnya terlihat di meja.
Sudah
sepatutnya memang hidup di masa tua-lansia harus lebih banyak
beribadah, ketimbang masa produktif saat muda dan aktif bekerja dulunya.
Itulah yang dikerjakan Haji Ahmad dan istrinya sekalipun sikap kerasnya
belum banyak berubah. Prinsip: ‘’Hidup jangan menyusahkan orang lain.
Kalau mungkin (mampu) menyenangkan orang lain’’ benar-benar dipegangnya
dan saya kira positif.
Wajib disyukuri
Secara umum tahapan menuju lansia harus melewati empat masa, yaitu: 1. Masa kanak-kanak; dari
sejak dilahirkan hingga mencapai umur 15 tahun; 2. Masa muda; dari umur
15 tahun hingga umur 40 tahun; 3. Masa dewasa; dari umur 40 tahun
hingga umur 55 tahun; 4. Masa tua; dari umur 55 tahun hingga umur 70
tahun; baru memasuki masa lansia; dari umur 70 tahun hingga akhir umur yang ditentukan oleh Allah SWT.
Sedangkan
dalam buku ‘’TII’’ mengutip Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lansia bila sudah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Sedangkan di negara-negara maju lansia dihitung dari usia 65 tahun ke
atas. (Hal.174-175).
Yang
harus dipahami semua orang, terutama generasi tua adalah menjadi tua
itu merupakan hukum alam atau kodrat yang wajib disyukuri sebagai
karunia-Nya. Diberi umur panjang sehingga dapat menunaikan tanggung
jawab sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak hingga menyelesaikan
masa pengabdian memasuki masa pensiun dengan selamat tentu anugerah
Allah SWT.
Apalagi
kalau di masa tua kondisi kesehatan relatif masih cukup prima --selalu
dikatakan ‘’sehat-sehat orang tua’’-- tapi masih dapat melakukan
aktivitas sosial kemasyarakatan. Apalagi kalau anak-anak sudah berumah
tangga semua, hidup pun berkecukupan, tidak ada yang merongrong, dan
kini tinggal berdua saja dengan istri tercinta di rumah sebagaimana
ketika awal berumah tangga dulu.
Masa
indah-indah seperti itu kembali datang sehingga bagi sebagian pasangan
usia 60 tahun, pastilah teringat dengan nostalgia sukacita hidup berdua
bersama pasangan saat usia muda .
Tak pelak lagi menjadi
tua merupakan karunia Allah SWT yang sekali lagi wajib disyukuri.
Sebab, tidak banyak yang bisa mendapatkannya, diberi umur panjang dan
kesehatan yang masih ‘’oke’’ dalam usia tua apalagi sudah lansia.
Tentunya, tidak semua orang tua dan lansia hidupnya senang dan bahagia.
Bisa menikmati masa tuanya dengan penuh kebahagiaan sebagaimana
dicita-citakannya semasa kecil dan diupayakan, dirintis dengan kerja
keras memanfaatkan potensi diri setelah dewasa sembari tak lupa berdoa dan bertawakkal kepada-Nya.
Dalam
buku ‘’TII’’ dikupas secara khusus kasus tiga orang lansia yang sifat
dan karakter kehidupannya berbeda-beda. Lansia yang satu egonya kelewat
besar, lansia kedua nafsu mengumpulkan harta masih dominan, sedangkan
lansia ketiga memiliki pola hidup dan pola pikir yang sederhana.
Tidak
ngoyo. Tentu saja gambaran lansia ketiga patut dijadikan contoh, yaitu
mampu membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (Hal.
65-73). Pada bab lain berjudul ‘’Perempuan Lansia Yang Tangguh: The
Wonderfull Old Women’’ ditampilkan kisah sejumlah ibu yang mampu
mendidik putra-putrinya, jumlah anaknya 15 orang sebagai orang tua
tunggal tentu tidak mudah. Tidak hanya selesai sampai sarjana S-1 tapi
bisa sampai jenjang tertinggi doktoral (S-3). (Hal. 113-128).
Lansia kurang beruntung
Nah,
bagaimana dengan para lansia yang hidupnya susah alias kurang
beruntung? Di usia renta masih harus bekerja mencari nafkah? Lebih parah
masih tetap dirongrong oleh anak, menantu, dan cucu. Mereka itu
pastilah lansia kurang beruntung, karena tidak dapat menikmati kodratnya
sebagai lansia yang pasti lebih ingin dekat dengan Sang Pencipta,
memperbanyak amal baik menjelang ajal menjemput.
Dalam
buku itu dijelaskan lebih detail seputar persepsi salah tentang masa
tua sering membuat orang gamang menghadapinya, karena yang terbayang
adalah gambaran kehidupan yang menyedihkan, seperti lemah,
sakit-sakitan, hidup menderita, bahkan menjadi beban keluarga.
Bayang-bayang kesengsaraan di depan mata. Bisa jadi terbuang di panti
jompo. Itu bagi yang hidupnya susah, karena sang anak maupun menantu
kurang menaruh perhatian padanya.
Buku setebal 207 halaman plus sambutan (kata pengantar) dari sejumlah tokoh, seperti H. Ali Soekardi, Dr
H Ardiansyah, Lc, MA, dan Prof Hasan Asari itu banyak dikupas triks
menghadapi masa tua- lansia untuk persiapan dan menggapai hidup yang
bermakna. Sehingga jika isi buku ‘’TII’’ dibaca secara seksama, banyak
pelajaran bisa dipetik bagi mereka yang ingin tahu dan berharap saat memasuki masa tua –lansia dengan sejuta bahagia. Pun tidak ada alasan bagi kita takut menghadapi masa tua.
Ya,
menjadi tua adalah suatu kepastian dan tidak ada yang bisa menolaknya,
sekalipun dia menjabat presiden, mantan jenderal, pengusaha sukses,
bertikel profesor-doktor, termasuk orang-orang kebanyakan.Semua bakal
tua dengan segala suka-duka dan keberuntungannya. Tergantung bagaimana
masing-masing individu menjalaninya, menyikapi hidupnya.
Mengutip
adagium: ‘’Saat muda kaya raya, tua hidup bahagia, kalau mati masuk
surga’’ tentu semua kita mengharapkan kehidupan yang ideal seperti itu,
namun cita-cita dan harapan itu hanya mungkin terwujud jika kita
menyikapinya dengan bijaksana dengan berupaya terus belajar untuk
menggapai ridho Allah SWT.
Penutup
Perubahan
fisik boleh jadi sudah tidak prima lagi, semangat, pemikiran pun sudah
menurun. Namun yang namanya hidup harus terus berjalan dan disikapi
dengan banyak bersyukur.
Artinya,selama
kita masih diberikan kesempatan melihat indahnya dunia, masih bisa
menghirup udara segar dan diberi kesehatan yang lumayan, dapat berkumpul
dengan anak-cucu, maka semuanya harus disyukuri dengan catatan semakin
rajin ke masjid, beramal mendekatkan diri pada Allah SWT.
Bagi
anda ingin tahu penjelasan lebih komprehensif seputar triks menikmati
masa tua-lansia yang bahagia bisa membaca buku ‘’Tua Itu Indah’’
karangan HM Farid Nasution, MA terbitan Perdana Publishing. Buku ini
menyajikan topik menarik, kisah nyata, memberi motivasi dan energi bahwa
usia tua-lansia bukan sesuatu yang menakutkan jika disikapi dengan
bijak dan benar.
Intinya,
jangan takut menjadi tua-lansia karena sudah kodratnya makhluk hidup.
Oleh karena itu, jalani dengan pikiran positif dan produktif beribadah,
karena di situlah seni hidup merajut indahnya masa tua. Insya Allah. (waspadamedan.com)
|
Minggu, 15 Juni 2014
Seni Hidup Merajut Indahnya Masa Tua
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar