Minggu, 15 Juni 2014

Seni Hidup Merajut Indahnya Masa Tua

Tetangga saya di Perumnas Simalingkar (dulu) pasangan lansia (lanjut usia). Semua putra-putrinya sudah berhasil (mentas). Ada yang terbilang kaya dan yang lain hidup sederhana, tidak ada yang hidupnya susah. Cucunya banyak, sudah pun beranjak dewasa, dan satu per satu mulai berumah tangga.
Dialah Pak Haji Ahmad dan istrinya oleh teman-teman tetangga saya dinilai kontroversial, mengapa?
Sebagai pensiunan perusahaan swasta terkenal Pak Ahmad sebenarnya bisa hidup berkecukupan dengan hasil jeri payahnya selama bekerja. Punya harta, dan uang pensiun sehingga bisa melanglang buana menikmati masa tuanya dengan jalan-jalan ke mana pun dia suka (kalau mau).
Namun Haji Ahmad tidak begitu menikmati masa tuanya karena lebih memilih menyewa rumah di Perumnas. Padahal, rumah anaknya dekat dan hidupnya berkecukupan, hanya berjarak satu rumah saja dengannya.
Apakah sang anak tidak mengajaknya tinggal serumah saja? Tidak demikian. Pak Ahmad lah yang menolak serumah dengan anak dan menantunya. Dia hanya ingin dekat dengan anak terutama cucu-cucunya. Tak mau menyusahkan rumah tangga anak-menantunya sehingga sekalipun anak-anaknya berupaya membujuk tinggal serumah dia tetap menolak.
Itu yang saya tahu ketika masih menetap di Simalingkar. Setiap hari sang cucu datang ke rumah kakek dan neneknya. Di sinilah saya melihat kegembiraan dan kepuasan batin sang kakek dan nenek yang usianya berkisar 70an. Anak-anaknya yang lain selalu mengunjunginya. Bahkan menginap di rumahnya. Sesekali Pak Ahmad dan istri pergi mengunjungi rumah anak-anaknya, termasuk ke luar kota Medan.
Mengapa Pak Ahmad dan istri memilih hidup mandiri seperti itu? Lama saya tidak mendapatkan jawabannya. Sampai saya pindah dari Simalingkar tahun 2006.
Buku ‘’Tua Itu Indah’’
Alhamdulillah. Dua hari lalu saya memperoleh buku berjudul ‘’Tua Itu Indah (TII)’’ dari rekan sekerja saya, Muhammad Faisal. Konon buku itu baru saja di-launching. Kepada M. Faisal saya berjanji, insya Allah akan membuat artikel semi resensi.
Awalnya melihat-lihat daftar isi, seterusnya tertarik membaca sejumlah topik yang umumnya menarik guna menambah referensi dan pengetahuan seputar menyikapi hidup menuju tahapan lansia. Dari buku’’TII’’ ini pula saya memperoleh jawaban seputar pola kehidupan dan sifat lansia seperti jiran saya, Pak Ahmad.
Ternyata, semakin tua usia seseorang sifatnya pun ikut berubah. Namun tidak semua berubah. Sebagian orang selalu mengatakan, orang lansia sifatnya kembali seperti anak-anak, tentu ada benarnya, seperti mudah tersinggung, gampang merajuk, ingin diperhatian dll.
Tentu tidak semua kelakuannya persis anak-anak, karena seperti halnya Pak Ahmad sifat keras dan disiplinnya masih konstan. Sikap dan penampilannya masih berwibawa, disegani jiran tatangga. Dia pun masih aktif membaca koran (Waspada). Tentu tak lupa mengaji Al-Quran dan buku-buku agama lainnya terlihat di meja.
Sudah sepatutnya memang hidup di masa tua-lansia harus lebih banyak beribadah, ketimbang masa produktif saat muda dan aktif bekerja dulunya. Itulah yang dikerjakan Haji Ahmad dan istrinya sekalipun sikap kerasnya belum banyak berubah. Prinsip: ‘’Hidup jangan menyusahkan orang lain. Kalau mungkin (mampu) menyenangkan orang lain’’ benar-benar dipegangnya dan saya kira positif.
Wajib disyukuri
Secara umum tahapan menuju lansia harus melewati empat masa, yaitu: 1. Masa kanak-kanak; dari sejak dilahirkan hingga mencapai umur 15 tahun; 2. Masa muda; dari umur 15 tahun hingga umur 40 tahun; 3. Masa dewasa; dari umur 40 tahun hingga umur 55 tahun; 4. Masa tua; dari umur 55 tahun hingga umur 70 tahun; baru memasuki masa lansia; dari umur 70 tahun hingga akhir umur yang ditentukan oleh Allah SWT.
Sedangkan dalam buku ‘’TII’’ mengutip Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia bila sudah mencapai usia 60 tahun ke atas. Sedangkan di negara-negara maju lansia dihitung dari usia 65 tahun ke atas. (Hal.174-175).
Yang harus dipahami semua orang, terutama generasi tua adalah menjadi tua itu merupakan hukum alam atau kodrat yang wajib disyukuri sebagai karunia-Nya. Diberi umur panjang sehingga dapat menunaikan tanggung jawab sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak hingga menyelesaikan masa pengabdian memasuki masa pensiun dengan selamat tentu anugerah Allah SWT.
Apalagi kalau di masa tua kondisi kesehatan relatif masih cukup prima --selalu dikatakan ‘’sehat-sehat orang tua’’-- tapi masih dapat melakukan aktivitas sosial kemasyarakatan. Apalagi kalau anak-anak sudah berumah tangga semua, hidup pun berkecukupan, tidak ada yang merongrong, dan kini tinggal berdua saja dengan istri tercinta di rumah sebagaimana ketika awal berumah tangga dulu.
Masa indah-indah seperti itu kembali datang sehingga bagi sebagian pasangan usia 60 tahun, pastilah teringat dengan nostalgia sukacita hidup berdua bersama pasangan saat usia muda .
Tak pelak lagi menjadi tua merupakan karunia Allah SWT yang sekali lagi wajib disyukuri. Sebab, tidak banyak yang bisa mendapatkannya, diberi umur panjang dan kesehatan yang masih ‘’oke’’ dalam usia tua apalagi sudah lansia. Tentunya, tidak semua orang tua dan lansia hidupnya senang dan bahagia. Bisa menikmati masa tuanya dengan penuh kebahagiaan sebagaimana dicita-citakannya semasa kecil dan diupayakan, dirintis dengan kerja keras memanfaatkan potensi diri setelah dewasa sembari tak lupa berdoa dan bertawakkal kepada-Nya.
Dalam buku ‘’TII’’ dikupas secara khusus kasus tiga orang lansia yang sifat dan karakter kehidupannya berbeda-beda. Lansia yang satu egonya kelewat besar, lansia kedua nafsu mengumpulkan harta masih dominan, sedangkan lansia ketiga memiliki pola hidup dan pola pikir yang sederhana.
Tidak ngoyo. Tentu saja gambaran lansia ketiga patut dijadikan contoh, yaitu mampu membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (Hal. 65-73). Pada bab lain berjudul ‘’Perempuan Lansia Yang Tangguh: The Wonderfull Old Women’’ ditampilkan kisah sejumlah ibu yang mampu mendidik putra-putrinya, jumlah anaknya 15 orang sebagai orang tua tunggal tentu tidak mudah. Tidak hanya selesai sampai sarjana S-1 tapi bisa sampai jenjang tertinggi doktoral (S-3). (Hal. 113-128).
Lansia kurang beruntung
Nah, bagaimana dengan para lansia yang hidupnya susah alias kurang beruntung? Di usia renta masih harus bekerja mencari nafkah? Lebih parah masih tetap dirongrong oleh anak, menantu, dan cucu. Mereka itu pastilah lansia kurang beruntung, karena tidak dapat menikmati kodratnya sebagai lansia yang pasti lebih ingin dekat dengan Sang Pencipta, memperbanyak amal baik menjelang ajal menjemput.
Dalam buku itu dijelaskan lebih detail seputar persepsi salah tentang masa tua sering membuat orang gamang menghadapinya, karena yang terbayang adalah gambaran kehidupan yang menyedihkan, seperti lemah, sakit-sakitan, hidup menderita, bahkan menjadi beban keluarga. Bayang-bayang kesengsaraan di depan mata. Bisa jadi terbuang di panti jompo. Itu bagi yang hidupnya susah, karena sang anak maupun menantu kurang menaruh perhatian padanya.
Buku setebal 207 halaman plus sambutan (kata pengantar) dari sejumlah tokoh, seperti H. Ali Soekardi, Dr H Ardiansyah, Lc, MA, dan Prof Hasan Asari itu banyak dikupas triks menghadapi masa tua- lansia untuk persiapan dan menggapai hidup yang bermakna. Sehingga jika isi buku ‘’TII’’ dibaca secara seksama, banyak pelajaran bisa dipetik bagi mereka yang ingin tahu dan berharap saat memasuki masa tua –lansia dengan sejuta bahagia. Pun tidak ada alasan bagi kita takut menghadapi masa tua.
Ya, menjadi tua adalah suatu kepastian dan tidak ada yang bisa menolaknya, sekalipun dia menjabat presiden, mantan jenderal, pengusaha sukses, bertikel profesor-doktor, termasuk orang-orang kebanyakan.Semua bakal tua dengan segala suka-duka dan keberuntungannya. Tergantung bagaimana masing-masing individu menjalaninya, menyikapi hidupnya.
Mengutip adagium: ‘’Saat muda kaya raya, tua hidup bahagia, kalau mati masuk surga’’ tentu semua kita mengharapkan kehidupan yang ideal seperti itu, namun cita-cita dan harapan itu hanya mungkin terwujud jika kita menyikapinya dengan bijaksana dengan berupaya terus belajar untuk menggapai ridho Allah SWT.
Penutup
Perubahan fisik boleh jadi sudah tidak prima lagi, semangat, pemikiran pun sudah menurun. Namun yang namanya hidup harus terus berjalan dan disikapi dengan banyak bersyukur.
Artinya,selama kita masih diberikan kesempatan melihat indahnya dunia, masih bisa menghirup udara segar dan diberi kesehatan yang lumayan, dapat berkumpul dengan anak-cucu, maka semuanya harus disyukuri dengan catatan semakin rajin ke masjid, beramal mendekatkan diri pada Allah SWT.
Bagi anda ingin tahu penjelasan lebih komprehensif seputar triks menikmati masa tua-lansia yang bahagia bisa membaca buku ‘’Tua Itu Indah’’ karangan HM Farid Nasution, MA terbitan Perdana Publishing. Buku ini menyajikan topik menarik, kisah nyata, memberi motivasi dan energi bahwa usia tua-lansia bukan sesuatu yang menakutkan jika disikapi dengan bijak dan benar.
Intinya, jangan takut menjadi tua-lansia karena sudah kodratnya makhluk hidup. Oleh karena itu, jalani dengan pikiran positif dan produktif beribadah, karena di situlah seni hidup merajut indahnya masa tua. Insya Allah. (waspadamedan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar