Minggu, 22 Juni 2014

Nikmatnya Masa Tua Kakek Buta Huruf 92 Tahun ini


1365981663873161022
Eks-romusha: masih segar di usia senja (Foto: Rozi)
Mungkin saja Sofyan muda tak akan mengira jika dirinya bakal dikaruniai umur panjang. Ketika umurnya 20-an tahun, sebagai anak tertua dari delapan bersaudara, ia ditawan tentara Jepang untuk dipekerjakan sebagai romusha. Sempat kabur dari camp kerja paksa, ia ditangkap lagi. Di camp yang baru, ia mencoba melarikan diri lagi. Usahanya ternyata berhasil. Agar tidak ditangkap lagi, ia sembunyi di hutan di sekitar gunung Anjasmoro Jawa Timur hingga situasi dianggapnya aman untuk kembali ke desanya.
Seperti adat sebagian masyarakat Jawa, ketika menikah namanya diganti. Kini namanya menjadi Supriyo. Setelah pernikahannya mengalami kegagalan dalam hitungan minggu, ia mengasingkan diri di hutan. Di sana ia membuka lahan untuk ditanami jagung. Menjelang jagung siap dipanen, ia menengok orangtuanya di desa. Ketika kembali ke hutan, ia mengalami shock. Ladang jagungnya terbakar (tidak diceritakan dengan jelas terbakar atau sengajar dibakar orang). Akhirnya ia memutuskan kembali ke desa dan melanjutkan pekerjaan sebagai buruh tani.
Ketika usianya melewati angka 30, seorang pedagang kain keliling singgah di desanya. Rupanya si ibu bakul kain tertarik untuk menjodohkan pria ini dengan kemenakannya yang tinggal agak jauh di desa lain. Tawarannya tidak bertepuk sebelah tangan. Perjodohan berlangsung tanpa banyak kata.
Usai menikah, ia tinggal di desa tempat istrinya. Pekerjaannya tetap, sebagai buruh tani. Dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan, ia dan istrinya dikaruniai sebelas anak. Namun dua di antaranya telah meninggal dunia. Ada kalanya ia merasa frustasi dengan keadaannya. Sebagai anak tertua di keluarganya, ia memang tidak pernah sekolah dan karenanya ia buta huruf hingga saat ini. Keadaannya berbeda dengan adik-adiknya yang semuanya sempat menikmati belajar di sekolah hingga dua di antaranya ada yang menjadi guru.
Tapi ia mencoba tawakkal dengan memperbanyak shalat tahajud dan kerja keras sebagai buruh tani. Sampai-sampai orang desa menyebut cara pria ini bekerja layaknya kitiran (baling-baling) yang tak berhenti. Lewat ikhtiarnya ini pula rezekinya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya hingga akhirnya mempunyai sawah sendiri.
Ada juga cerita menarik yang dialami istrinya ketika mencari ikan di sungai. Manakala mencari ikan dengan ibu-ibu yang lain, istrinya yang bernama Mariyam selalu saja memperoleh ikan lebih banyak di banding kawan-kawannya. Meskipun kawan-kawannya kemudian mengajak bertukar tempat, tetapi tetap saja ikan yang dibawa pulang oleh Mariyam selalu lebih banyak, agaknya karena mulut yang menunggu di rumah juga lebih banyak.
136598185635083527
Yang setia mendampingi (Foto: Rozi)
Singkat cerita, semua anaknya akhirnya dapat menyelesaikan sekolahnya. Di antaranya dibantu oleh saudara iparnya yang tinggal di kota Surabaya. Bahkan lima di antaranya berhasil menyelesaikan belajar di perguruan tinggi. Anak pertamanya yang lulusan STM kini telah pensiun namun tetap dipekerjakan di PT PAL Surabaya. Empat adiknya bekerja sebagai guru. Adiknya yang lain kini menjadi dokter di RS Moewardi Surakarta. Ada juga anaknya yang cukup sukses menjadi pengusaha bengkel mesin pendingin di Jakarta yang mempekerjakan 25 karyawan. Dua anaknya lagi bekerja sebagai aparat pemerintah.
Menjelang usia 80 tahun anak-anaknya yang mulai mapan hidupnya mendorongnya untuk berangkat haji. Dengan menjual sebagian sawah dan urunan anak-anaknya impian pergi ke tanah suci akhirnya terlaksana. Sepulang haji, anak-anaknya meminta Supriyo dengan sangat untuk “pensiun” sebagai petani. Sesekali tetap boleh menjenguk sawah, agar tidak bosan di rumah. Bagaimanapun sawah adalah “urat nadi” jiwanya. Perlahan-lahan sawah ditinggalkan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, anak-anaknya tetap urunan setiap bulan. Anaknya yang tinggal terdekat di lain kecamatan di Jombang sana setiap minggu menjenguknya sambil membelanjakan semua kebutuhannya. Dan, di usia senjanya, Supriyo dan istrinya harus belajar minum susu yang di sepanjang hidupnya minuman ini adalah sebuah kemewahan. Kini, minum susu telah menjadi kebiasaannya.
Setahun lalu, di usianya yang ke-91, di hari raya Idul Fitri, 9 anak-anaknya yang lengkap berkumpul di desa, menyarankan agar semua tanah yang dimilikinya diwakafkan. Kata salah satu anaknya yang mewakili yang lain, “Mumpung masih hidup, Insya Allah nilai wakafnya lebih besar di hadapan Allah.”
Kakek yang kini memiliki 27 cucu ini menyepakati gagasan anaknya. Wajahnya berseri-seri atas apa yang berlangsung hari itu. Hari raya, semua anaknya berkumpul, wakaf, cucu, kisah-kisah lucu masa lalu, dll. Rasanya sudah tak ada lagi aneka macam hasrat yang menggelisahkan hidupnya. Urusan dunia sudah selesai. Yang terungkap dari anak-anaknya, “Bisakah kita menjalani masa tua seperti orang tua kita kini?”
Apalagi empat tahunan ini, anak-anaknya secara bergantian menjenguknya setiap minggu, meskipun mereka tinggal cukup jauh: Surabaya, Sidoarjo, Mataram, Solo (Surakarta), Purworejo, Jakarta.
Hanya ada satu saja anaknya yang tidak bisa turut bergantian menjenguknya di desa. Ia kini sedang “tersesat” di negeri Inggris dan menjadi kompasianer yang statusnya baru terverifikasi seminggu lalu.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa orang tua kami, dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil. Allahumma amin.”
Sebuah tulisan kangen. (mohammad rozi, sosok.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar