Mungkin
saja Sofyan muda tak akan mengira jika dirinya bakal dikaruniai umur
panjang. Ketika umurnya 20-an tahun, sebagai anak tertua dari delapan
bersaudara, ia ditawan tentara Jepang untuk dipekerjakan sebagai romusha. Sempat kabur dari camp kerja paksa, ia ditangkap lagi. Di camp
yang baru, ia mencoba melarikan diri lagi. Usahanya ternyata berhasil.
Agar tidak ditangkap lagi, ia sembunyi di hutan di sekitar gunung
Anjasmoro Jawa Timur hingga situasi dianggapnya aman untuk kembali ke
desanya.
Seperti
adat sebagian masyarakat Jawa, ketika menikah namanya diganti. Kini
namanya menjadi Supriyo. Setelah pernikahannya mengalami kegagalan dalam
hitungan minggu, ia mengasingkan diri di hutan. Di sana ia membuka
lahan untuk ditanami jagung. Menjelang jagung siap dipanen, ia menengok
orangtuanya di desa. Ketika kembali ke hutan, ia mengalami shock. Ladang
jagungnya terbakar (tidak diceritakan dengan jelas terbakar atau
sengajar dibakar orang). Akhirnya ia memutuskan kembali ke desa dan
melanjutkan pekerjaan sebagai buruh tani.
Ketika usianya melewati angka 30, seorang pedagang kain keliling singgah di desanya. Rupanya si ibu bakul kain tertarik
untuk menjodohkan pria ini dengan kemenakannya yang tinggal agak jauh
di desa lain. Tawarannya tidak bertepuk sebelah tangan. Perjodohan
berlangsung tanpa banyak kata.
Usai
menikah, ia tinggal di desa tempat istrinya. Pekerjaannya tetap,
sebagai buruh tani. Dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan, ia dan
istrinya dikaruniai sebelas anak. Namun dua di antaranya telah
meninggal dunia. Ada kalanya ia merasa frustasi dengan keadaannya.
Sebagai anak tertua di keluarganya, ia memang tidak pernah sekolah dan
karenanya ia buta huruf hingga saat ini. Keadaannya berbeda dengan
adik-adiknya yang semuanya sempat menikmati belajar di sekolah hingga
dua di antaranya ada yang menjadi guru.
Tapi
ia mencoba tawakkal dengan memperbanyak shalat tahajud dan kerja keras
sebagai buruh tani. Sampai-sampai orang desa menyebut cara pria ini
bekerja layaknya kitiran (baling-baling) yang tak berhenti.
Lewat ikhtiarnya ini pula rezekinya cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya hingga akhirnya mempunyai sawah sendiri.
Ada
juga cerita menarik yang dialami istrinya ketika mencari ikan di
sungai. Manakala mencari ikan dengan ibu-ibu yang lain, istrinya yang
bernama Mariyam selalu saja memperoleh ikan lebih banyak di banding
kawan-kawannya. Meskipun kawan-kawannya kemudian mengajak bertukar
tempat, tetapi tetap saja ikan yang dibawa pulang oleh Mariyam selalu
lebih banyak, agaknya karena mulut yang menunggu di rumah juga lebih
banyak.
Singkat
cerita, semua anaknya akhirnya dapat menyelesaikan sekolahnya. Di
antaranya dibantu oleh saudara iparnya yang tinggal di kota Surabaya.
Bahkan lima di antaranya berhasil menyelesaikan belajar di perguruan
tinggi. Anak pertamanya yang lulusan STM kini telah pensiun namun tetap
dipekerjakan di PT PAL Surabaya. Empat adiknya bekerja sebagai guru.
Adiknya yang lain kini menjadi dokter di RS Moewardi Surakarta. Ada juga
anaknya yang cukup sukses menjadi pengusaha bengkel mesin pendingin di
Jakarta yang mempekerjakan 25 karyawan. Dua anaknya lagi bekerja sebagai aparat pemerintah.
Menjelang
usia 80 tahun anak-anaknya yang mulai mapan hidupnya mendorongnya untuk
berangkat haji. Dengan menjual sebagian sawah dan urunan anak-anaknya
impian pergi ke tanah suci akhirnya
terlaksana. Sepulang haji, anak-anaknya meminta Supriyo dengan sangat
untuk “pensiun” sebagai petani. Sesekali tetap boleh menjenguk sawah,
agar tidak bosan di rumah. Bagaimanapun sawah adalah “urat nadi”
jiwanya. Perlahan-lahan sawah ditinggalkan.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, anak-anaknya tetap urunan setiap bulan.
Anaknya yang tinggal terdekat di lain kecamatan di Jombang sana setiap
minggu menjenguknya sambil membelanjakan semua kebutuhannya. Dan, di
usia senjanya, Supriyo dan istrinya harus belajar minum susu yang di sepanjang hidupnya minuman ini adalah sebuah kemewahan. Kini, minum susu telah menjadi kebiasaannya.
Setahun
lalu, di usianya yang ke-91, di hari raya Idul Fitri, 9 anak-anaknya
yang lengkap berkumpul di desa, menyarankan agar semua tanah yang
dimilikinya diwakafkan. Kata salah satu anaknya yang mewakili yang lain,
“Mumpung masih hidup, Insya Allah nilai wakafnya lebih besar di hadapan
Allah.”
Kakek
yang kini memiliki 27 cucu ini menyepakati gagasan anaknya. Wajahnya
berseri-seri atas apa yang berlangsung hari itu. Hari raya, semua
anaknya berkumpul, wakaf, cucu, kisah-kisah lucu masa lalu, dll. Rasanya
sudah tak ada lagi aneka macam hasrat yang menggelisahkan hidupnya.
Urusan dunia sudah selesai. Yang terungkap dari anak-anaknya, “Bisakah
kita menjalani masa tua seperti orang tua kita kini?”
Apalagi
empat tahunan ini, anak-anaknya secara bergantian menjenguknya setiap
minggu, meskipun mereka tinggal cukup jauh: Surabaya, Sidoarjo, Mataram,
Solo (Surakarta), Purworejo, Jakarta.
Hanya
ada satu saja anaknya yang tidak bisa turut bergantian menjenguknya di
desa. Ia kini sedang “tersesat” di negeri Inggris dan menjadi
kompasianer yang statusnya baru terverifikasi seminggu lalu.
“Ya Allah, ampunilah dosa-dosa orang tua kami, dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil. Allahumma amin.”
Sebuah tulisan kangen. (mohammad rozi, sosok.kompasiana.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar