Cahaya bulan menerangi gelapnya malam, menemani sosok lelaki tua yang sedang mencari rejeki. Warsono, lelaki berusia 69 tahun ini telah mengabdikan hidup pada profesinya sebagai pengayuh becak puluhan tahun. Warso berupa sapaan akrabnya, lahir di Solo pada tahun 1943. Sejak awal kedatangaannya di Bandung (1963), saat itu ia berusia 20 tahun, ia mulai menjalani profesinya sebagai pengayuh becak hingga saat ini.
Warso bertubuh kecil dengan pundak sedikit turun, gigi depan yang sudah berkurang, lengkap dengan keriput pada wajahnya. Namun raut wajah yang tampak tidak menyiratkan kelelahan melainkan kebahagaian.
Setiap hari ia menjalani profesinya dengan penuh energik. Ironisnya profesi yang ia tekuni keberadaannya sudah tidak sebaik dulu. Becak jaman dulu dengan becak di jaman modern ini sangat berbeda. Dulu becak merupakan alat transportasi yang banyak digunakan masyarakat. Sekarang persaingan transportasi mulai banyak. Dengan adanya ojek, bis, angkutan umum, dan taxi membuat masyarakat jarang menggunakan jasa pengayuh becak lagi. Pemasukan para pengayuh becak menjadi minim. Meskipun hingga saat ini becak tetap masih ada.
Berbeda dengan para pengayuh becak lainnya, yang biasanya mengisi waktu (menunggu penumpang) dengan tidur, ngerumpi, atau bermalas-malasan. Warso menyibukkan diri dengan aktifitas lain. Di perempatan jln. Purnawarman, Bandung. Tempat biasanya Warso memarkirkan becaknya, ia sering menjadi kenek, atau membantu orang-orang menyebrang jalan. Dari aktifitas itulah ia mendapatkan penghasilan tambahan.
Sejak kecil Warso hidup ditengah keluarga tidak mampu, ia pun hanya berijazahkan Sekolah Rakyat. Nasibnya semakin terpuruk ketika ia menjadi bandar togel (1970-1971). Selama satu tahun itu, sedikit harta yang dimiliki Warso semakin habis. Namun hal tersebut tidak membuat ia putus asa. Dengan kesadarannya akhirnya Warso tidak lagi menjadi bandar togel. Banyak pengalaman-pengalaman mengajarkannya untuk mensyukuri apa yang telah ia peroleh selama ini. Meskipun Warso serba kekukarangan, satu hal yang ia banggakan, ia berhasil menyekolahkan keenam anaknya. Bahkan tiga diantaranya telah berhasil mendapatkan gelar S1. Dengan kerja kerasnya, Warso tidak ingin semua anaknya menggantikan ia sebagai pengayuh becak.
Warso, pengayuh becak, salah satu orang yang berstatuskan ekonomi ke bawah, namun berhasil membiayai kehidupan keluarganya. Ia pun berpesan “pekerjaan apa pun tidak ada yang tidak capek. Kita harus jalanin aja, syukuri. Jangan pernah malu, jangan takut. Yang penting tuh kita sehat, kuat dan jangan males. Karena kalau cuma sehat dan kuat tapi orangnya males, ujung-ujungnya malah jadi copet, preman. Ga bener yang kaya gitu”. (http://dininaoviani.blogspot.co.id/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar