JALAN HIDUP: Zainuddin Husni yang memilih pensiun agar fokus mengajar. (Khafidlul Ulum/Jawa Pos)
Kiai yang lulusan pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam sudah banyak. Tapi, kiai yang mantan tentara masih jarang. Salah seorang di antaranya KH Zainuddin Husni, pengasuh Pondok Pesantren Tarbiyatul Qulub. Dia memilih keluar dari TNI agar bisa fokus berdakwah.
* * *
SEJAK usia 14 tahun, Zainuddin Husni aktif mengajar mengaji. Sebagai anak seorang kiai, KH Hosni Tamrin Rosyidi, dia juga mendapatkan didikan agama cukup ketat. Zainuddin kecil disiplin dalam menjalankan agama.
Namun, hidupnya tidak melulu di lingkungan pesantren. Dia pun sempat mengenyam pendidikan di sekolah umum, yaitu SMAN 1 Pamekasan. Walaupun menimba ilmu di sekolah umum, dia tetap berusaha aktif mengadakan kajian Islam dan mengisi pengajian. Usianya memang masih belia, tapi aktivitas dakwah sudah menjadi kegemarannya.
Lulus SMA pada 1981, dia tidak melanjutkan kuliah di perguruan tinggi Islam. Anak Suhairiyah dan Hosni Tamrin Rosyidi itu malah masuk TNI. Orang tuanya kaget saat mengetahui Zainuddin memilih jadi tentara. Apalagi sebelumnya dia izin berangkat ke Jakarta untuk silaturahmi di salah satu pesantren milik kiai ternama. Ternyata, dia malah masuk tentara.
Namun, melihat tekadnya yang kuat, akhirnya orang tua mengizinkan dia menjadi abdi negara. Apalagi alasan Zainuddin masuk tentara bukan untuk menjadi pejabat tinggi yang disegani, tapi agar bisa berdakwah di kalangan militer. ”Dunia militer itu keras. Saya ingin memberikan sentuhan agama,” ucap Zainuddin. Dia pun semakin mantap masuk dunia kemiliteran.
Ayah tiga anak tersebut mengikuti pendidikan militer dengan disiplin tinggi. Setelah pendidikan, dia kemudian ditugaskan di TNI-AL di Jakarta. Ketika berdinas itulah, dia mulai menyebarkan dakwah. Dia tidak langsung mengadakan pengajian atau mengisi pengajian, tapi lebih melalui pendekatan personel kepada para anggota.
Karena dikenal sering memberikan nasihat dan arahan kepada teman-temannya, Zainuddin semakin dipercaya untuk memimpin doa dan mengisi taushiyah di masjid. Kelihaiannya menyampaikan nasihat agama semakin melambungkan namanya. Dia juga mulai membentuk majelis taklim dan zikir di kalangan anggota dan istri anggota.
Saat dipindahkan tugas di Batam dan Papua misalnya, dia tetap gencar berdakwah. Kebiasaannya adalah membentuk majelis taklim. Misalnya, Majelis Alikhlas. Selain mengisi majelis taklim, dia masih tetap berdakwah secara personal. Yang menjadi sasaran adalah anggota yang arogan dan tidak taat agama.
Dengan sabar, dia melakukan pendekatan. Dia rutin mengajaknya berdiskusi tentang agama dan berusaha memberikan nasihat. Usahanya membuahkan hasil. Hati anggota tersebut mulai terbuka dan mau salat. Kebiasaan buruk seperti minum juga mulai ditinggalkan. ”Dia betul-betul bertobat,” terang pria kelahiran 5 Oktober 1961 itu.
Setelah berpindah-pindah tugas, dia akhirnya dipindah tugas ke Surabaya. Ketika bertugas di Kota Pahlawan, dia semakin gencar menyebarkan syiar agama. Selain di lingkungan bapak-bapak, dia membentuk majelis taklim dan zikir di kalangan ibu-ibu. Zainuddin pun semakin aktif mengisi pengajian. Namun, dia tetap disiplin dengan jadwal kedinasan. ”Saya banyak belajar kedisiplinan di tentara,” ucapnya.
Tidak hanya berdakwah di lingkungan tentara, dia juga aktif mengisi pengajian di luar. Dia semakin sering mendapatkan undangan untuk mengisi taklim dan zikir. Sebagai tentara, dia harus pintar mengatur waktu. Dia baru bisa mengisi pengajian di luar jam dinas.
Ketika dia semakin sibuk dengan rutinitas dakwah, muncul rasa ketidaksukaan di hati rekan kerjanya. Beberapa orang mencibirnya. Namun, Zainuddin tetap melaksanakan kewajibannya sebagai abdi negara dan pendakwah. Pengajiannya malah semakin berkembang. Pada 1987, dia mulai merintis pengajian di rumahnya, Jalan Asem Raya, Kecamatan Asemrowo, yang nanti menjadi cikal bakal pesantren.
Selain pengajian, jamaah mulai tinggal di asrama yang disediakan. Jamaah yang mondok semakin bertambah. Jadwal Zainnudin kian padat. Setelah pulang dari kantor pukul 16.00, dia langsung mengisi pengajian. Begitu juga setelah magrib dan isya. Setelah subuh, dia juga mengisi kajian dan zikir untuk masyarakat sekitar yang datang ke musala di rumahnya. Begitulah aktivitasnya setiap hari. Dia mulai merenungi ritme kehidupannya yang begitu padat, antara dinas tentara dan dakwah.
Di sisi lain, isu yang menyudutkan dia semakin gencar disebarkan orang yang tidak senang kepadanya. Bahkan, dia dianggap menyebarkan aliran sesat. ”Saya pernah menerima surat kaleng yang berisi fitnah,” terang dia. Rumahnya juga sering dimata-matai petugas karena dianggap penyebar aliran sesat. Selain datang dari internal kedinasan, masyarakat luar gencar mencacinya. Namun, semua itu dihadapi dengan tenang.
Setelah merenung sekian lama, pada 2007 Zainuddin akhirnya memutuskan pensiun dini sebagai tentara pada usia 46 tahun. Dia memang harus memilih dan dia lebih memilih menjadi kiai agar fokus berdakwah. Pada tahun yang sama, pesantren yang dia rintis sejak lama akhirnya diresmikan dengan nama Pesantren Tarbiyatul Qulub yang artinya pendidikan hati.
* * *
Seusai mengisi pengajian di Sampang, Madura, Zainuddin harus cepat-cepat pulang ke rumahnya. Selasa lalu (15/7) enam orang perwakilan dari perusahaan swasta sudah menunggunya. Sekitar pukul 14.00 pria yang hobi berenang itu menemui para tamu. Mereka ditemui di musala pesantren.
Mereka menyampaikan tawaran kontrak kepada Zainuddin untuk mengisi acara. Setelah sekitar 30 menit berbincang, mereka kemudian undur diri. Namun, sebelum tamunya pergi, Zainuddin mengajak mereka berdoa dan berzikir agar semua urusan diberi kemudahan.
Menurut dia, tamu itu mengontrak dirinya selama setahun. Jadi, dia diminta mengisi acara yang diadakan perusahaan swasta tersebut. Sebelumnya, perusahaan itu mengontrak penceramah dari Jakarta. Namun, setelah beberapa kali mengundang Zainuddin, mereka akhirnya tertarik dan mengontraknya selama setahun. Dia menyambut baik tawaran tersebut karena itu salah satu cara untuk menyebarkan ajaran agama.
Setelah tamunya pulang, seabrek kesibukan sudah menantinya. Sebelum berbuka puasa, dia harus mengisi pengajian untuk masyarakat umum, yaitu kajian tafsir. Kemudian setelah isya, dia kembali mengisi zikir bersama para jamaah. Tidak hanya di pesantren sendiri, dia juga sibuk berkeliling ke berbagai daerah untuk menjadi penceramah.
Baik di Jawa Timur maupun di luar Jawa, seperti Papua, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya. Jamaah zikirnya tidak hanya berasal dari dalam negeri. Dia juga mempunyai ribuan jamaah di luar negeri. Misalnya, di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Australia.
Saat mengadakan tablig akbar di Pesantren Tarbiyatul Qulub, banyak jamaah dari mancanegara yang hadir. Dia juga sering diundang ke luar negeri. Sebulan sekali dia diundang ke Singapura, dua bulan sekali ke Malaysia, dan tiga bulan sekali ke Australia dan Brunei Darussalam.
Karena percaya dengan Zainuddin, banyak jamaah yang memondokkan anaknya di Pesantren Tarbiyatul Qulub. Sekarang ada sekitar 15 siswa dari luar negeri yang tinggal di pesantren tersebut. ”Sudah banyak yang lulus dari sini. Mereka kembali ke negara masing-masing,” kata pria berkumis tebal itu.
Jumlah siswa yang mondok di pesantren tersebut cukup banyak. Sekarang jumlahnya mencapai 439 orang. Selain pendidikan agama, mereka memperoleh pendidikan formal. Mulai SD sampai SMA. Banyak alumnus pesantren itu yang menjadi kiai dan mendirikan pondok di beberapa daerah. Misalnya, di Pontianak, Lumajang, Sidayu, dan Bali.
Selain pendidikan, Zainuddin mengembangkan usaha bibit ikan gurami. Para santri yang mengelola usaha tersebut. Banyak pembudi daya ikan yang mengambil bibit dari pesantren. Tidak hanya dari Surabaya, tapi juga dari luar kota. ”Dengan usaha itu, santri bisa belajar berwirausaha,” terang dia. (dari http://www.jawapos.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar