Senin, 21 September 2015

Miskin tapi Bermartabat

Oleh: Mochamad Yusuf*
Meski ada kejadian yang mengenaskan seperti di Pasuruan beberapa tahun lalu, saya yakin pembagian zakat langsung masih akan terjadi sekarang ini. Saat seperti itu, seseorang yang berzakat/shadaqah akan membagikan langsung kepada para penerima zakatnya. Yang menerima zakat akan berbaris untuk antri mendapat zakat.
Namun karena banyaknya penerima, mereka jadi tak sabar antri. Sehingga yang sering terjadi, mereka akan berdesak-desakan berebut mendapat zakat duluan. Akibatnya yang lemah tenaganya seperti orang tua dan anak-anak, akan kalah dalam ‘aksi perebutan zakat’ ini. Bila tidak ada antisipasi yang baik dari penyelenggara, aksi ini bisa memakan korban. Bahkan korban nyawa.
Mengapa hal demikian terjadi?
Entah, dorongan apa yang membuat mereka sampai rela berdesak-desakan untuk antri zakat. Mungkin karena gratis. Mungkin ada kesempatan dapat zakat tanpa dicek apakah layak menerima zakat atau tidak. Sehingga tua, muda, laki, perempuan dari berbagai pelosok berdatangan ‘memburu’ zakat ini.
Apakah sebenarnya mereka berhak dapat zakat?
Bisa jadi ya, tapi bisa jadi tidak. Karena pembagian zakat langsung biasanya tidak akan dicek apakah dia layak mendapat zakat atau tidak. Bahkan juga tidak mengecek, apakah ada anggota keluarga lain sudah menerima atau tidak. Sehingga siapapun yang datang akan diberi. Sehingga kalau ada 1 keluarga yang terdiri 4 anggota keluarga, ikutan antri maka semuanya juga dapat. Karenanya aksi pembagian zakat ini rawan memakan korban.
Memang seandainya dia berhak zakat, maka dia berhak antri mendapatkannya. Tapi kalau tidak, maka dia merendahkan martabatnya. Dia tidak malu menganggap dirinya miskin, padahal tidak. Ini semua hanya karena ingin mendapat sesuatu dengan gratis. Padahal Nabi SAW bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Artinya lebih baik memberi zakat daripada meminta zakat. Kalaupun memang layak tangan di bawah, jangan sampai meminta-minta.
Waktu di zaman Nabi SAW dulu, orang-orang malah malu kalau dianggap miskin. Mereka meski miskin, tidak mau meminta-minta atau merasa berhak terhadap sesuatu. Seperti kisah di bawah ini.
Pada suatu hari ada seorang sahabat mendapat rezeki kepala kambing. Tentu dengan kepala kambing bisa menikmati makanan yang cukup lezat hari itu. Namun saat akan dimasak, dia berpikir bahwa tetangganya seharusnya lebih berhak. Karena tetangga lebih miskin, lebih membutuhkannya. Maka kepala kambing itu diberikan kepada tetangganya.
Tentu saja tetangganya senang mendapat pemberian sahabat itu. Namun saat mau dimasak, dia merasa ada yang lebih berhak mendapatkan kepala kambing ini. Maka bahan makanan lezat ini diberikan lagi ke tetangganya yang lain. Saat tetangga mau memasak, kejadian ini berulang. Dia merasa ada yang lebih membutuhkan, maka diberikan ke tetangga lain. Terus demikian sampai 7 tetangga.
Akhirnya kepala kambing itu kembali ke sahabat kita yang pertama. Karena memang sahabat itu juga sebenarnya berhak juga mendapat kepala kambing karena miskin. Tapi meski begitu, dia tidak merasa berhak atas kepala kambing itu. Dia masih merasa orang lain lebih butuh. Meski miskin, dia masih menjaga martabatnya.
Ada kejadian lain. Masih di zaman Nabi SAW.
Suatu ketika seorang sahabat mendapat rezeki. Namun dia merasa tak layak untuk memanfaatkannya. Maka dia pergi ke Amil zakat untuk minta dibagikan ke pihak yang lebih berhak. Maka setelah memberikan ini, dia pulang.
Namun beberapa waktu kemudian, dia terkejut karena anaknya mendapat shadaqah yang dia berikan ke Amil tersebut. Dia marah, dan meminta anaknya mengembalikannya ke Amil agar diberikan ke orang lain yang lebih berhak. Lalu dia melaporkan kejadian ini kepada Nabi SAW.
Sabda Nabi, sahabat itu mendapat pahala dari shadaqah yang dilakukan, tapi anaknya juga mendapat bagian shadaqah itu karena dia memang layak. Tidak ada yang salah dengan diterimanya shadaqah oleh anak tersebut.
Mungkin anaknya tak tahu kalau shadaqah itu adalah pemberian anaknya. Atau Amilnya tak tak tahu kalau yang diberi itu adalah anaknya yang memberi shadaqah.
Peristiwa ini memperlihatkan bahwa meski dia miskin dan layak mendapat shadaqah, ketika mendapat rezeki mereka tidak merasa berhak. Tapi malah memberikan ke yang lain yang dirasa lebih berhak. Meski miskin, dia menjaga martabatnya. Maka dia marah ketika tahu anaknya menerima shadaqah, apalagi shadaqah itu dari dia.
Begitu tingginya mereka menjaga martabat. Mereka tak mau jatuh martabatnya jatuh hanya ingin minta-minta atau mendapatkan sesuatu dengan gratis.
Padahal beberapa waktu lalu, diberitakan banyak orang mengaku miskin agar bisa masuk ke sekolah yang diinginkan dari jalur orang miskin. Dan ternyata setelah diverifikasi, mereka tidaklah miskin. Bahkan mereka cukup kaya. Ada yang pegawai negeri, ada yang guru, ada yang dosen dan lainnya.
Mereka menurunkan martabatnya, dan tak malu mengaku orang miskin hanya ingin mencapai sesuatu yang diinginkan. Padahal bisa jadi ada orang yang benar-benar miskin ingin anaknya berhasil masuk sekolah yang diinginkan. Dan dia kalah bersaing karena ada orang mengaku miskin dan tak peduli menyerobot hak orang lain yang lebih berhak.
Saatnya kita menjaga martabat kita. Dan tak merendahkan martabat karena mengaku miskin. [TSA, 11 Ramadhan 1433H / 30 Juli 2012M subuh]

~~~
*Mochamad Yusuf adalah online analyst, pembicara publik tentang IT, host radio, pengajar sekaligus praktisi IT. Aktif menulis dan beberapa bukunya telah terbit. Yang terbaru, “Jurus Sakti Memberangus Virus Pada Komputer, Handphone & PDA”. Anda dapat mengikuti aktivitasnya di personal websitenya, http://yusuf.web.id atau di Facebooknya, http://facebook.com/mcd.yusuf .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar