Minggu, 20 September 2015

Berusaha Mengembangkan Relasi Peneliti dengan Industri


* sosok Dr Ir Akmadi Abbas, Wakil Kepala LIPI
 
Banyak orang begitu bangga belajar di luar negeri namun tergagap-gagap saat balik ke tanah air. Terkaget-kaget lantaran ilmu yang dipelajarinya tidak dapat diterapkan untuk anak bangsa. Sebab itu, pilihlah bidang ilmu yang bisa diaplikasikan buat memajukan negeri sendiri.
========================

Siapa yang ingin mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri? Jika pertanyaan ini ditujukan kepada mereka para mahasiswa yang sedang berada di puncak semangat mencari berbagai sumber ilmu, tentu mereka dengan penuh keyakinan akan menjawab bahwa mereka sangat ingin mendapatkan peluang itu. Tidak terkecuali bagi seorang Akmadi Abbas. Dia memperoleh kesempatan belajar ke  negeri orang saat masih dalam masa kuliah. Kesempatan belajar ke luar negeri adalah salah satu dari 99 capaian yang ingin digapai Akmadi muda.
Bagi Akmadi, kesempatan belajar ke luar negeri akan sangat bermakna besar dan memberi kekayaan warna kehidupan. Selain pengalaman dan ilmu yang baru, kesempatan studi di luar negeri jelas menjadikan masa-masa perkuliahannya tidak monoton. Ada variasi warna dan suasana yang memperkaya batin dan olah pikir.
Belajar dari perbedaan bahasa dan budaya, memahami cara pikir, cara pandang, dan kiat menyelesaikan persoalan. Itulah yang dirasakan oleh Akmadi Abbas, alumni master dari The University of New South Wales (1987), dengan beasiswa dari program Colombo Plan, yang kini menjadi Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sejak awal Akmadi memang bercita-cita jadi peneliti. Sebab itu, setamat dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dia langsung bekerja di LIPI.
Dalam pengamatannya, perhatian masyarakat Indonesia terhadap pentingnya pendidikan semakin tinggi. Sewaktu Akmadi masih duduk di bangku SMA, dia merasakan masih sedikit kawan-kawannya yang meneruskan kuliah. Seiring dengan makin terbukanya informasi, kini minat melanjutkan ke jenjang  pendidikan tinggi itu kian meningkat. Orang tua menjadi bangga bila anak-anaknya mampu menyelesaikan pendidikan sarjana S1, S2 bahkan S3. Kini, dengan semakin banyaknya peluang beasiswa studi ke luar negeri, dan akses informasi sangat terbuka, dia mendorong agar semakin banyak pelajar yang memanfaatkannya.
Dia sangat berharap agar para pelajar Indonesia di Australia bersedia berbagi ilmu pengetahuan terbaru di bidang kajian yang digelutinya. Lembaganya (LIPI) telah beberapa kali mengadakan forum terbatas dan workshop dengan mengundang pelajar yang sedang meneliti bidang ilmu tertentu, misalnya nano teknologi. LIPI pun terbuka untuk didatangi para pelajar yang ingin berbagi informasi.
Menurut Akmadi, mereka dapat pula menghubungi himpunan profesi sesuai bidang ilmu tertentu, seperti biologi, geologi, dan lain-lain. Himpunan-himpunan profesi ini secara rutin mengadakan seminar untuk membahas informasi terbaru. LIPI akan membantu untuk mencarikan lembaga yang membutuhkan informasi terbaru itu, menemukan partner untuk kolaborasi dan untuk pengembangannya. Begitu pula untuk bidang pengembangan masyarakat. Kultur di Australia atau negara maju lainnya memang berbeda dengan Indonesia, tetapi metodologi yang dipakai dapat dikaji untuk diterapkan di Indonesia.
Untuk keahlian tertentu yang sangat canggih, misalnya bidang antariksa, diakui Akmadi, masih ada keterbatasan di dalam negeri. Tetapi jika tetap ingin mengabdi, alumni dengan keahlian khusus itu bisa bersama-sama mencari terobosan agar riset sejenis berkembang juga di Indonesia. Justru di sinilah pentingnya jejaring yang terbangun selama para pelajar itu studi di luar negeri. Mereka dapat menjalin kerjasama, minimal dengan almamaternya, untuk mengembangkan teknologi canggih itu di Indonesia. Dengan demikian ia akan menjadi perintis pada bidang tersebut. Keterbatasan yang ada di Indonesia jangan dijadikan hambatan, namun justru menjadi peluang dan tantangan untuk dicarikan jalan keluar bersama-sama.
Saat ini, jelas Akmadi, LIPI tengah menjalin kerjasama dengan University of Queensland. Kerjasama itu meliputi penelitian bersama, pengembangan staf dan pendidikan pascasarjana, pertukaran ilmuwan, dan semimar bersama. Pakar yang membidangi Pengembangan Teknologi Pasca Panen dan Pengembangan Masyarakat ini sangat menghargai jika dalam melanjutkan studi ke luar negeri, seorang pelajar menentukan rencana risetnya berdasarkan persoalan yang sangat mendesak di Indonesia, misalkan penanganan bencana atau alih teknologi. Dengan begitu, saat lulus kelak, alumni luar negeri tersebut dapat langsung menerapkan pengetahuannya untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan kualitas lingkungan dan sumber daya manusia di Indonesia.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1984 pihak pemberi Bea Siswa (yaitu Collombo Plan) menawarkan kepada pegawai instansi pemerintah Indonesia --termasuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)-- yang berminat untuk melanjutkan studi ke Benua Kanguru itu. “Bidang penelitian saya sesungguhnya adalah pertanian, lebih tepatnya Mekanisasi Pertanian, saya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan tetap mengembangkan bidang tersebut di Australia,” kata Dr Ir Akmadi Abbas kepada Sofyan Hadi dari FORUM, Selasa (15/9), di Gedung LIPI Jakarta.
Saat itu, satuan kerja di LIPI di mana dia bertugas, mengemban tugas pokok dan fungsi berkaitan dengan bidang teknologi tepat guna. “Dengan pengalaman itu, saat ada tawaran beasiswa ke Australia, saya ingin belajar atau menekuni pengembangan bidang pertanian berbasis teknologi tepat guna,” Akmadi mengenang.
Cita-cita tak selalu selaras dengan kenyataan. Setelah aplikasi (placement) di University of New South Wales (UNSW) pada tahun 1985, ternyata Akmadi diterima di bidang yang berbeda. “Pada mulanya, saya berharap belajar pada bidang agricultural engineering di UNSW, tapi nyatanya saya diterima di School of Mechanical and Industrial Engineering bidang Mechanical Engineering. Terhadap penetapan bidang studi tersebut, saya merasakan beban yang sangat berat untuk mengikuti pelajaran di School tersebut, karena menurut saya apa yang dipelajari lebih pada pendalaman ilmu-ilmu yang belum saya pelajari. Pada saat Strata Satu (S1) yang dipelajari lebih pada penerapan ilmu-ilmu mekanik dan sejenisnya di bidang pertanian,” ujar pria berperawakan subur.
Di School of Mechanical and Industrial Engineering, dia memulai dari strata diploma sesuai ketentuan penerimaan beasiswa. “Jarang atau sedikit mahasiswa yang berasal dari luar Australia menekuni bidang Mechanical Engineering, namun di antara yang sedikit itu alhamdulillah saya berhasil lulus dan lanjut ke program master hingga lulus mendapat ijazah,” tutur Akmadi.
Akmadi Abbas berupaya keras dan belajar cerdas agar mampu menyelesaikan studi tepat waktu. Jika dia gagal menuntaskan studi di UNSW, maka yang disorot bukan hanya LIPI tapi juga perjalanan kariernya ke depan. “Saya harus sering belajar di perpustakaan. Perpustakaan di sana sangat lengkap. Di sana saya bertemu teman-teman lain, saya tidak malu bertanya kepada mereka,” imbuhnya.  
Dia menuturkan fungsi perpustakaan, selain untuk melatih para mahasiswa  belajar mandiri, juga buat bertemu dan saling berdiskusi serta membuat jejaring. “Saya juga dipacu oleh dua teman baik saya yang walaupun berbeda bidang atau school-nya, tapi tempat tinggal kami berdekatan. Kami bertiga saling memberikan motivasi satu sama lain,” kenang Akmadi.
Selain itu, di Australia --khususnya di UNSW-- fasilitas komputer tersedia di mana-mana dengan server informasi yang siap digunakan. “Kami memiliki akses yang baik. Di Indonesia saat itu (1986), hanya sedikit yang bisa kami gunakan. Selain itu, dengan membuat appointment terlebih dulu, kami mudah menemui dosen pembimbing untuk berkonsultasi. Hal-hal tersebut yang menurut saya jadi pembeda,” ungkapnya.
Lelaki kelahiran Gegesik, Cirebon, Jawa Barat, ini pun membuka sedikit rahasia kala berada di Negeri Kangguru itu. “Di flat sewaan kami saling bertukar informasi. Rasanya kami bisa saling memberikan solusi untuk berbagai masalah yang kami hadapi. Saya melihat dua teman saya saat belajar tidak tanggung-tanggung, mereka belajar sampai pagi. Saya salut kepada mereka dan akhirnya saya ikut pola yang sama dengan mereka. Saya termotivasi mengapa mereka bisa sedangkan saya belajar hanya biasa-biasa saja,” ujarnya penuh kenangan.
Hal tersebut yang membuat Akmadi mempunyai prinsip harus bisa seperti mereka dan tidak boleh gagal. Memang di masa muda itu Akmadi pernah melanglang ke beberapa Negara, terutama di lingkup Asia Tenggara. Australia menggoreskan pengalaman yang berbeda.
“Pemikiran saya saat itu Australia punya kemajuan ilmu lebih baik daripada Indonesia dan negara-negara ASEAN, baik dari pola pendidikan juga kehidupan sosialnya secara luas. Saya mendapat masukan kalau kuliah di negara-negara liberal, pendidikannya lebih fair. Tidak ada pembedaan atau patronisme yang harus dijaga. Itu gambaran saya saat itu,” papar Akmadi ihwalnya kesan tak terlupakan di Australia.
Setelah lulus kuliah di Australia pada tahun 1989, kepercayaan diri Akmadi Abbas semakin meningkat.  Dia mampu menunjukkan kepada pimpinan LIPI bahwa dirinya berhasil meski di bidang studi berbeda dengan pilihannya. Di Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI, Akmadi mempunyai grup penelitian yang solid dan kompak sepulang dari Australia dan melakukan penelitian dan pengembangan bidang Alat Mesin Pertanian (Alsintan). Berbekal kepercayaan diri dan amanah pimpinan Puslitbang Fisika Terapan LIPI pada tahun 1990, Akmadi mengelola dan berkerjasama dengan Departemen Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarat Desa) dan Markas Komando AKABRI terkait dengan Latsitarda Nusantara sampai dengan tahun 2010.
“Pada tahun 1993 saya diminta Kepala Puslitbang Fisika Terapan LIPI sebagai pimpinan Bagian Proyek Pengembangan Masyarakat Pedesaan di Wamena sampai tahun 1995. Sebagai wakil LIPI di Wamena, di situ lah segala pengalaman keilmuan saya selama di Australia benar-benar dapat saya terapkan bersama dengan warga masyarakat Wamena,” jelas Akmadi.

Selama berada di Wamena, dia mendapat tempaan kedewasaan pada dirinya. Bukan hanya ilmu tentang mechanical, namun juga manajemen pengelolaan proyek, komunikasi dengan masyarakat, juga menghadapi konflik di masyarakat dan berbagai hal lain yang tidak pernah dia dapatkan di bangku kuliah S1 dan S2. Berbagai penugasan yang pernah diberikan LIPI merupakan amanah yang harus dia laksanakan dengan baik, walaupun tentunya diiringi dengan berbagai kendala dan hambatan yang harus diatasi selama pelaksanaan tugas.

“Berbekal pendidikan, pengalaman dan peningkatan serta pengembangan kemampuan, alhamdulillah karier saya mengalir seperti air,” ujarnya bangga.  Dimulai dari sebagai staf peneliti, sebagai Kepala UPT Balai Pengembangan TTG (1996-2005), Kepala Balai Besar Pengembangan TTG (2005-2010), Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan (2010-1012), Sestama LIPI (2012-2014) dan Wakil Kepala (2014-Sekarang). Untuk karier sebagai peneliti, Akmadi bersyukur sekarang sudah pada tingkat Ahli Peneliti Utama (APU).

Menurut dia, banyak hal yang bisa dilakukan selepas pulang dari Benua Kangguru. Dengan ilmu yang diperoleh di Australia, dia mampu mengkoordinasikan teman-teman untuk melakukan penelitian dan bekerja sama dengan industri alat berat pertanian. Katanya lebih lanjut, “Saya juga berusaha mengembangkan relasi dengan pihak pemerintah daerah dan pelaku industri. Berbeda dengan teman-teman lain yang ketika pulang terkaget-kaget karena ternyata di sini tidak ada fasilitas, saya justru merasa bisa menerapkan ilmu saya karena basis pengembangan ilmu saya adalah teknologi tepat guna yang ilmunya dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi Indonesia. Saya bisa menerapkan hal-hal yang saya pelajari di sana karena yang saya pelajari adalah disain berbagai alat pertanian sehingga saya mampu merancang alat pertanian disesuaikan dengan kondisi pertanian di Indonesia.”  

Dia lantas berpesan kepada para mahasiswa yang sedang berkuliah di luar negeri, jangan sampai apa yang telah dipelajari ternyata tidak dapat diterapkan atau dimanfaatkan untuk penyelesaian masalah di Indonesia. “Jadi dari pemilihan topik, pikirkan mana yang bisa dikembangan di Indonesia. Pertimbangkan mana yang bisa diaplikasikan setelah pulang menuntut ilmu di luar negeri,” pesannya.   (Sofyan Hadi)

Biodata




Nama
TTL
:
:
Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng.Sc
Cirebon, 29 September 1956

Satuan kerja
:
Wakil Kepala LIPI (Jakarta-Gatot Subroto) diperbantukan dari Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna 
Pendidikan
:
S-3 Universitas Padjadjaran
S-2 The University of New South Wales
S-1 Institut Pertanian Bogor
SLTA
SMP Negeri di Gegesik, Cirebon
SD Negeri di Gegesik, Cirebon
Pengalaman
:
Pimbagpro Wamena 1993 - 1994
Pj TU Sumbawa 1995 - 1996
Kegiatan
:
Pengembangan Teknologi Pasca Panen
Pengembangan Masyarakat
Kemampuan bahasa
:
Bhs Inggris pasif
Status kepegawaian
:
PNS (1 Maret 1982 - 29 September 2021)
Golongan IV/e Pembina Utama (Peneliti Utama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar