Polemik
pencairan jaminan hari tua (JHT) akhirnya disudahi dengan sikap pemerintah
berjanji merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan JHT yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Para pekerja sekarang boleh bernapas lega karena uang mereka yang disimpan
dalam JHT bisa dicairkan lebih cepat. Sebelumnya, pada PP tersebut, pencairan
JHT harus menunggu masa kerja 10 tahun atau yang pekerja berusia 56 tahun. Para
buruh memprotes dengan alasan yang sederhana, ”Kenapa uang yang mereka simpan
kok sulit atau lama sekali mengambilnya lagi?”
Kira-kira seperti itu. Banyak pihak, terutama anggota Dewan, menganggap
pemerintah sembrono dalam meneken PP tersebut. PP yang justru membuat para
pekerja atau buruh tenang justru membuat kegelisahan. Kementerian
Ketenagakerjaan dianggap lalai dengan meloloskan PP tersebut.
Beberapa pihak juga menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang tidak teliti dalam
menandatangani sebuah peraturan. Ini bukan kali pertama ini, Presiden Jokowi
seperti kecele dalam menandatangani sebuah aturan. Akhirnya, sikap-sikap
tersebut mengesankan, Presiden Jokowi suka grusa-grusu dalam menyelesaikan
sebuah persoalan.
Sepertinya pemerintah kurang teliti dalam melihat dampak dari sebuah keputusan.
Jika dilihat dari sisi risiko manajemen, mitigasi tentang risiko di
pemerintahan saat ini kurang baik. Lalu, apakah sikap pemerintah dengan menetapkan
pencairan JHT setelah 10 tahun atau pada umur ke-56 tahun adalah kebijakan yang
salah? Sebenarnya benar atau salah tinggal dari perspektif mana melihat JHT
tersebut.
Sebagian besar, terutama para buruh dan pekerja, menganggap JHT adalah
tabungan. Sebagian kecil upah mereka setiap bulan dipotong lalu dimasukkan ke
JHT. Karena dianggap tabungan, banyak pekerja menganggap uang itu bisa
dicairkan sewaktu-waktu. Kapan para pekerja atau buruh butuh uang, JHT bisa
diambil. Apakah hanya sebagian besar pekerja dan buruh yang bersikap di atas?
Tidak.
Para kaum terpelajar dan intelektual seperti anggota Dewan pun masih ada yang
bersikap seperti itu yaitu JHT adalah tabungan yang bisa dicairkan kapan saja.
Terutama anggotaanggota Dewan yang mempunyai kepentingan berseberangan dengan
pemerintah atau sekadar ingin membela buruh. Padahal, sebenarnya mereka sangat
tahu apa itu JHT dan tujuan dari program pemerintah tersebut.
Karena suatu kepentingan, beberapa anggota Dewan dan kaum terpelajar lainnya
seolah menjadi bodoh. Tidak ada yang salah jika pekerja dan buruh menganggap
JHT adalah tabungan yang bisa cair kapan pun (kalau bahasa manajemen keuangan
likuid). Selama ini pemerintah memang sangat kurang melakukan sosialisasi.
Sangat jarang mendengar ada penjelasan tentang apa itu JHT dan apa manfaatnya.
Padahal, dari sisi aturan, JHT adalah bentuk paksaan dari negara agar warga
pekerja bisa menyisihkan uangnya untuk hari tua nanti. Pemerintah sangat lemah
dalam melakukan komunikasi sehingga ada distorsi tujuan dari program. Ini yang
banyak disesalkan.
Nah, para pekerja dan buruh pun sebenarnya jika bisa memahami lebih jauh
tentang JHT. Dari sisi namanya saja sebenarnya, JHT adalah sebuah program
investasi yang dikelola pemerintah untuk masa tak produktif nanti atau masa
pensiun. Negara memang memaksa agar pada saat pensiun nanti pekerja tidak
mempunyai persoalan atau masalah.
Karena bentuknya investasi atau jaminan hari tua, sifatnya tidak likuid atau
bisa cair sewaktu-waktu seperti tabungan. JHT adalah bentuk investasi yang
tidak likuid yang bisa dipetik manfaatnya pada masa datang. Jika melihatnya
dari sisi uang yang dipotong lalu disimpan dan dianggap tabungan, pemerintah
memang salah atau kurang tepat.
Namun, kalau melihat bahwa JHT adalah investasi jangka panjang di usia tua
nanti serta mampu memproteksi ketika usia tidak produktif, cara yang dilakukan
pemerintah sudah benar. Sekarang tak perlu berpolemik lagi benar atau salah.
Pemerintah sudah merevisi dan buruh bisa tersenyum. Tugas selanjutnya, pemerintah
harus pintar melakukan sosialisasi dan buruh (pekerja) juga harus lebih
komprehensif melihat sebuah program.
source: http://nasional.sindonews.com/read/1021364/16/polemik-jht-1436318719Polemik JHT
Koran SINDO
Rabu, 8 Juli 2015 − 08:25 WIB
Polemik JHT
grafis KORAN SINDO
Polemik pencairan jaminan hari tua (JHT) akhirnya disudahi dengan
sikap pemerintah berjanji merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46
Tahun 2015 tentang Pengelolaan JHT yang ditandatangani Presiden Joko
Widodo (Jokowi).
Para pekerja sekarang boleh bernapas lega karena uang mereka yang
disimpan dalam JHT bisa dicairkan lebih cepat. Sebelumnya, pada PP
tersebut, pencairan JHT harus menunggu masa kerja 10 tahun atau yang
pekerja berusia 56 tahun. Para buruh memprotes dengan alasan yang
sederhana, ”Kenapa uang yang mereka simpan kok sulit atau lama sekali
mengambilnya lagi?”
Kira-kira seperti itu. Banyak pihak, terutama anggota Dewan,
menganggap pemerintah sembrono dalam meneken PP tersebut. PP yang justru
membuat para pekerja atau buruh tenang justru membuat kegelisahan.
Kementerian Ketenagakerjaan dianggap lalai dengan meloloskan PP
tersebut.
Beberapa pihak juga menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang tidak
teliti dalam menandatangani sebuah peraturan. Ini bukan kali pertama
ini, Presiden Jokowi seperti kecele dalam menandatangani sebuah aturan.
Akhirnya, sikap-sikap tersebut mengesankan, Presiden Jokowi suka
grusa-grusu dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Sepertinya pemerintah kurang teliti dalam melihat dampak dari sebuah
keputusan. Jika dilihat dari sisi risiko manajemen, mitigasi tentang
risiko di pemerintahan saat ini kurang baik. Lalu, apakah sikap
pemerintah dengan menetapkan pencairan JHT setelah 10 tahun atau pada
umur ke-56 tahun adalah kebijakan yang salah? Sebenarnya benar atau
salah tinggal dari perspektif mana melihat JHT tersebut.
Sebagian besar, terutama para buruh dan pekerja, menganggap JHT
adalah tabungan. Sebagian kecil upah mereka setiap bulan dipotong lalu
dimasukkan ke JHT. Karena dianggap tabungan, banyak pekerja menganggap
uang itu bisa dicairkan sewaktu-waktu. Kapan para pekerja atau buruh
butuh uang, JHT bisa diambil. Apakah hanya sebagian besar pekerja dan
buruh yang bersikap di atas? Tidak.
Para kaum terpelajar dan intelektual seperti anggota Dewan pun masih
ada yang bersikap seperti itu yaitu JHT adalah tabungan yang bisa
dicairkan kapan saja. Terutama anggotaanggota Dewan yang mempunyai
kepentingan berseberangan dengan pemerintah atau sekadar ingin membela
buruh. Padahal, sebenarnya mereka sangat tahu apa itu JHT dan tujuan
dari program pemerintah tersebut.
Karena suatu kepentingan, beberapa anggota Dewan dan kaum terpelajar
lainnya seolah menjadi bodoh. Tidak ada yang salah jika pekerja dan
buruh menganggap JHT adalah tabungan yang bisa cair kapan pun (kalau
bahasa manajemen keuangan likuid). Selama ini pemerintah memang sangat
kurang melakukan sosialisasi.
Sangat jarang mendengar ada penjelasan tentang apa itu JHT dan apa
manfaatnya. Padahal, dari sisi aturan, JHT adalah bentuk paksaan dari
negara agar warga pekerja bisa menyisihkan uangnya untuk hari tua nanti.
Pemerintah sangat lemah dalam melakukan komunikasi sehingga ada
distorsi tujuan dari program. Ini yang banyak disesalkan.
Nah, para pekerja dan buruh pun sebenarnya jika bisa memahami lebih
jauh tentang JHT. Dari sisi namanya saja sebenarnya, JHT adalah sebuah
program investasi yang dikelola pemerintah untuk masa tak produktif
nanti atau masa pensiun. Negara memang memaksa agar pada saat pensiun
nanti pekerja tidak mempunyai persoalan atau masalah.
Karena bentuknya investasi atau jaminan hari tua, sifatnya tidak
likuid atau bisa cair sewaktu-waktu seperti tabungan. JHT adalah bentuk
investasi yang tidak likuid yang bisa dipetik manfaatnya pada masa
datang. Jika melihatnya dari sisi uang yang dipotong lalu disimpan dan
dianggap tabungan, pemerintah memang salah atau kurang tepat.
Namun, kalau melihat bahwa JHT adalah investasi jangka panjang di
usia tua nanti serta mampu memproteksi ketika usia tidak produktif, cara
yang dilakukan pemerintah sudah benar. Sekarang tak perlu berpolemik
lagi benar atau salah.
Pemerintah sudah merevisi dan buruh bisa tersenyum. Tugas
selanjutnya, pemerintah harus pintar melakukan sosialisasi dan buruh
(pekerja) juga harus lebih komprehensif melihat sebuah program.
source: http://nasional.sindonews.com/read/1021364/16/polemik-jht-1436318719
Tidak ada komentar:
Posting Komentar