Sabtu, 18 Juli 2015

Menghitung Kembali Jaminan Hari Tua


Kisruh soal Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua tidak cukup diselesaikan dengan merevisi beleid tersebut. Para pemangku kepentingan, pemerintah, buruh, dan pengusaha harus duduk bersama untuk membicarakan lagi masalah kesejahteraan pekerja ini.

Persoalannya bukan sekadar perubahan syarat pencairan dana jaminan hari tua yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, dari semula setelah kepesertaan minimal lima tahun menjadi 10 tahun, seperti amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial, atau minimnya waktu sosialisasi peraturan presiden, yang baru dikeluarkan pada 30 Juni 2015, sehari sebelum berlaku.

Pengetatan pencairan jaminan hari tua itu sudah tepat, karena simpanan wajib bagi pekerja bukan tabungan yang bisa dicairkan sewaktu-waktu, apalagi untuk kepentingan konsumtif.

Tujuan program ini adalah memberikan jaminan kesejahteraan saat buruh sudah tidak bisa bekerja. Karena itu, keluhan korban pemutusan hubungan kerja, yang berharap bisa mencairkannya untuk modal berwiraswasta atau biaya hidup sementara masih menganggur, tidak bisa dijawab dengan mengendurkan ketentuan.

Masalah yang dihadapi pekerja adalah minimnya program jaminan dalam menutup kebutuhan di masa tua atau jika sewaktu-waktu terkena pemutusan hubungan kerja. Saat ini, pekerja diwajibkan ikut jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Untuk jaminan hari tua, diberlakukan iuran sebesar 5,7 persen dari upah, dengan ketentuan pekerja menanggung 2 persen dan perusahaan 3,7 persen. Adapun jaminan pensiun, iuran sebesar 3 persen dari upah dengan ketentuan perusahaan menanggung 2 persen dan buruh 1 persen.

Dengan iuran itu, buruh berpenghasilan Rp 2,3 juta per bulan, misalnya, akan mendapatkan jaminan hari tua sebesar Rp 42 juta untuk masa kerja 15 tahun. Tentu bukan jumlah yang besar, karena nilainya akan tergerus inflasi. Jumlah iuran pensiun yang hanya 3 persen membuat buruh akan mendapat manfaat sebesar 15-40 persen dari gaji terakhirnya. Jumlah ini sangat kecil, berbeda jauh dengan pegawai negeri, yang mendapat manfaat pensiun 60 persen dari gaji terakhirnya.

Kecilnya manfaat jaminan hari tua dan pensiun ini terjadi akibat sedikitnya besaran iuran—apalagi jika dibandingkan dengan yang harus dibayar buruh di negara lain. Di Singapura, misalnya, iuran jaminan kesehatan, perumahan, dan pensiun ditetapkan sebesar 37 persen dari upah dengan buruh menanggung 20 persen dan perusahaan 17 persen.

Dengan iuran yang cukup besar, BPJS bisa mengalokasikan anggaran untuk para karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. Di sejumlah negara maju, seperti Belanda, korban PHK mendapat tunjangan pengangguran saat mereka sedang mencari pekerjaan baru.

Pemerintah perlu meninjau kembali peraturan tentang besaran iuran bagi peserta jaminan sosial tenaga kerja ini. Kita tidak berharap iuran sebesar seperti di Singapura—karena hal itu bisa membuat perusahaan kesulitan keuangan dan buruh berat menutupi kebutuhannya. Namun setidaknya diperlukan sebuah "hitung-hitungan" yang hasilnya cukup memberi jaminan untuk para pekerja di hari tuanya.
sumber: www.tempo.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar