Minggu, 12 Juli 2015

Duka dan Nestapa Jaminan Hari Tua


Oleh: Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

Pekerja di Indonesia hari-hari ini sedang menyiapkan dan menyambut musim mudik lebaran. Rasa bahagia ingin bertemu keluarga di kampung halaman telah menutup banyaknya uang yang akan dikeluarkan. Sayangnya, momentum itu dirusak oleh pemerintah. Pemerintah memberikan kado pahit terkait revisi aturan Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Aturan baru menyatakan pengambilan dana JHT baru bisa dicairkan setelah 10 tahun kepesertaan. Sedangkan aturan lama menyebutkan bahwa dana JHT bisa dicairkan dalam jangka waktu lima tahun kepesertaan. Hal ini tak pelak menimbulkan polemik.
Netizen di dunia maya sudah menggalang petisi penolakan terkait kebijakan baru pemerintah tersebut. Petisi sudah diikuti puluhan ribu orang yang menggugat BPJS Ketenagakerjaan, Presiden RI Joko Widodo, dan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri.
Sekadar diketahui, JHT merupakan bagian penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai bentuk jaminan sosial dasar bagi kalangan pekerja dan masyarakat umum. Selain itu juga menjadi bukti pelaksanaan konsep “Decent Work for All” atau pekerjaan yang layak untuk semua” sebagaimana diusung International Labor Organization (ILO).
Aturan baru JHT BPJS diteken Presiden Joko Widodo pada 29 Juni 2015 dan efektif mulai berlaku pada 1 Juli 2015. Perubahan dilakukan pada syarat tenggat waktu pencairan JHT, sedangkan besaran iuran tetap sama yaitu 5,7 persen per bulan.
BPJS memberikan penjelasan bahwa aturan baru tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No 46 Tahun 2015. PP tersebut merupakan implementasi dari UU No 40 Tahun 2004 yang diteken saat era Presiden Megawati. PP baru tersebut juga menambahkan manfaat lain berupa dana pensiun yang ditetapkan sebesar 3 persen.
Aturan lama berisikan JHT dapat diambil penuh jika peserta sudah terdaftar selama 5 tahun 1 bulan di BPJS Ketenagakerjaan. Syaratnya adalah keluar dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan.
Sedangkan dalam aturan baru, syarat pencairan JHT naik menjadi minimal 10 tahun terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Peserta memungkinkan dapat sebagian dana JHT tanpa keluar dari kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, tetapi jumlahnya hanya 10 persen dari saldo untuk persiapan pensiun, serta 30 persen untuk pembiayaan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) rumah pertama. Jika peserta ingin menarik seluruh saldo JHT, maka peserta harus sudah dinyatakan berumur 56 tahun.
Aturan baru juga menambahkan manfaat lain berupa dana pensiun yang ditetapkan sebesar 3 persen. Pihak BPJS memberikan justifikasi bahwa perubahan aturan sudah sesuai dengan filiosofi jaminan buat orang yang sudah memasuki masa tua, sehingga tidak lagi produktif atau berpenghasilan.
BPJS Ketenagakerjaan berdalih bahwa pada awalnya JHT juga hanya bisa diambil setelah peserta memasuki usia 56 tahun. Selanjutnya pascakrisis moneter tahun 1998 pemerintah mengubahnya menjadi 5 tahun 1 bulan, karena pertimbangan kesulitan ekonomi masyarakat.
Evaluasi Kebijakan
Buruh atau tenaga kerja merupakan penyokong perekonomian nasional. Sedangkan kondisi perekonomian kini sedang melambat jika tidak ingin dikatakan terpuruk.
Rupiah terus melemah dan daya beli masyarakat menurun. Seiring momentum Ramadan dan menjelang Lebaran, harga-harga kebutuhan pokok juga melambung. Secara global, banyak negara mengalami resesi dan dikhawatirkan berimbas pada perekonomian nasional.
Mendasarkan kondisi ini, pemerintah mestinya bersikap tanggap dan bijak. Perubahan aturan JHT BPJS cukup sensitif, karena menyangkut kehidupan tenaga kerja. Polemik hadir sebagai buah kebijakan yang terkesan mendadak tanpa kajian dan sosialisasi. Jika dipaksakan, maka berpotensi semakin memperburuk perekonomian, menimbulkan gejolak, hingga dapat menjadi blunder politik.
Bukan kali ini Pemerintahan Jokowi menelurkan kebijakan kontroversial dan terkesan tanpa perencanaan matang. Publik bahkan sebagian berprasangka pemerintah sedang menganut pola test case. Kebijakan dilemparkan begitu saja, jika ditolak secara masif baru ditarik kembali.
Yang lebih ekstrem, sebagian juga curiga justru kebijakan baru Jokowi ini merupakan bagian dari implementasi politik pencitraan. Penarikan kembali dapat dipolitisasi bahwa pemerintah menjadi pahlawan dan mendengar kritik publik. Indikasi lain memang ada mismanajemen kebijakan pemerintahan Jokowi.
Preseden kebijakan kontroversial dan akhirnya dicabut sebelum ini tercatat sudah tiga kali. Pertama, pembatalan Peraturan Presiden (Perpres) tentang fasilitas mobil pejabat. Kedua, pembatalan rencana penaikan harga Pertamax. Ketiga, pembatalan keputusan Menpora tentang pembekuan PSSI. Penyikapan serius penting dilakukan pemerintahan Jokowi dan publik sendiri.
Yang menjadi pertimbangannya bisa dilihat dari berbagai hal. Pertama, mekanisme dan pertimbangan penerbitan kebijakan pemerintah penting ditunjau ulang. Kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat dan berpotensi kontroversial mesti mendapatkan prioritas serta dicermati lebih rinci dan mendalam.
Pemerintahan Jokowi mesti lebih mengasah kepekaan sosial serta mengoptimalkan insting politik. Hal ini demi mengantisipasi polemik publik apalagi mengarah pada potensi disharmoni sosial.
Kedua, pihak BPJS sebagai operator pemerintah sekaligus pelayan masyarakat, mesti berperan aktif dan optimal. Bagaimanapun BPJS lahir dengan orientasi utama aspek sosial bukan bisnis. BPJS penting memberikan pertimbangan kajian mendalam terhadap pemerintah. Selanjutnya mesti mengoptimalkan pelayanan prima kepada masyarakat sebagai peserta.
Ketiga, publik mesti terus mengawasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang jauh dari prorakyat. Gelombang aksi penolakan, baik di dunia maya maupun nyata menjadi bagian hak konstitusional. Langkah memungkinkan dilakukan dengan mengajukan gugatan ke PTUN.
Perlindungan sektor tenaga kerja menjadi salah satu kunci penguat perekonomian nasional. Perubahan aturan JHT ini penting dikaji ulang secara partisipatif dengan sosialisasi yang masif. (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar