Kamis, 30 April 2015

Paling Senang kalau Simbah-Simbah Selalu Sehat

TELATEN: Bagus (kiri) dan Nana membantu nenek Supinah duduk di kursi roda. (Ferlynda Putri/Jawa Pos)
Bukan saudara, bukan kerabat. Mereka merawat yang renta dengan bersahabat. Mulai memandikan, mendandani, menyuapi, menuntun, sampai meladeni dengan telaten ketika sakit. Masih banyak yang mereka lakukan. Nana dan Bagus, dua di antara sepuluh perawat Griya Werda, berbagi cerita merawat lansia di panti jompo milik Dinas Sosial Kota Surabaya itu.
”MATI! Mati! Mati!” teriak Suwarni. Tubuhnya yang renta berupaya meronta ketika tiga perempuan menggotongnya ke kamar mandi. Seluruh pakaian Suwarni ditanggalkan. Sambil duduk di atas kloset, kedua tangan Suwarni menangkup di dadanya. Mencoba melindungi diri.
”Adem, adem,” ujar perempuan 87 tahun itu sambil terus meronta. Air mengalir ke seluruh badannya. Kulitnya yang keriput menjadi jalan bagi bulir-bulir air menetes ke bawah. Tangan sigap seorang perempuan segera mengusap setiap lekuk tubuh Suwarni. Meratakan sabun, memastikan tidak ada kotoran yang tertinggal. ”Kalau tidak dipaksa mandi seperti ini, sebulan juga tidak mandi. Jadi, pagi dan sore petugas yang berjaga harus memaksa dia mandi,” ungkap Nasiatul Khasanah.
Kegiatan memandikan itu selalu dilakukan setiap pagi dan sore. Tidak semua penghuni dimandikan. Mereka yang masih mampu hanya diingatkan untuk mandi. ”Mbah Warni (Suwarni) ini sudah pikun. Dia selalu merasa sudah mandi,” imbuh Nana, sapaan sehari-hari Nasiatul Khasanah.
Pakaian merah muda dikenakan Suwarni. Mukanya tampak lebih segar dengan bedak putih tebal menempel. Mirip bayi yang baru mandi. Rambutnya pun sudah rapi. Dia dikembalikan ke ranjangnya. Suwarni tenang.
Di sisi ranjang yang lain, Nana menceritakan pengalamannya selama satu tahun di Griya Werda. Panti jompo yang pada 16 Juli nanti genap berusia dua tahun itu memberikan warna baru bagi kehidupan Nana. Perempuan asli Kediri tersebut tidak membayangkan jika dirinya akan menjadi perawat di Griya Werda. ”Awalnya, di dinsos saya mendaftar sebagai perawat ambulans,” kata perempuan 23 tahun itu.
Hari pertama bekerja, Nana dibuat haru. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) Griya Werda saat itu menjelaskan latar belakang lansia di sana. Mereka rata-rata tidak mempunyai keluarga dan tergolong tidak mampu. Beberapa harus bed rest karena sakit.
Ada 46 lansia yang tinggal di panti tersebut. Tidak ada pungutan biaya. Semua ditanggung pemkot. Hanya, mereka mesti memenuhi syarat tidak mampu secara finansial sekaligus tidak ada lagi keluarga. Ada sepuluh perawat yang bertugas. Mereka dibagi dalam tiga sif. ”Saya sampai menangis mendengarkan cerita Pak Candra (kepala UPTD Griya Werda yang lama),” kenangnya.
Sebagai perawat di UPTD Griya Werda, Nana harus selalu siap menemani lansia di sana. Tidak hanya di dalam panti, tetapi dia juga harus menemani kakek nenek tersebut ketika terbaring sakit di rumah sakit.
Pengalamannya dengan Mbah Ponijo, menurut dia, paling berkesan. Mbah Ponijo memiliki penyakit hernia. Setelah dua minggu menjalani operasi kedua, kondisi Mbah Ponijo drop. Badannya lemas karena menolak makan. Selain itu, dia selalu muntah.
Lulusan D-3 Stikes Karya Husada Kediri tersebut menunggui Mbah Ponijo. Dokter memutuskan untuk melakukan operasi lagi. ”Karena tidak ada keluarga, saya yang disuruh tanda tangan surat yang menyatakan tidak akan menuntut jika terjadi hal fatal ketika operasi. Saya panik karena dokter pun tidak bisa memberikan banyak harapan,” ceritanya.
Atas saran Erni Lutfiyah, kepala UPTD Griya Werda sekarang, Nana menandatangani surat tersebut. Ketika operasi berlangsung 30 menit, Nana digantikan rekannya, Bagus Prio Budi Utomo. ”Sampai kos pun, saya tidak bisa tidur. Teringat kondisi Mbah Ponijo,” katanya. Paginya dia mendapat kabar dari Bagus bahwa kondisi Mbah Ponijo membaik. ”Lega rasanya,” imbuhnya.
”Benar. Kalau melihat simbah-simbah-nya sehat, kami senang,” ungkap Bagus. Sore itu, pria 25 tahun tersebut baru saja memandikan Supinah. Nenek 66 tahun itu bed rest karena lemah otot yang dideritanya. Selesai dimandikan, Supinah didudukkan di kursi roda. Nana memakaikan mukena merah muda. Kemudian, kursi roda Supinah didorong ke lobi panti. Di sana sudah menunggu kakek nenek lain yang siap untuk salat Asar berjamaah.
Bagus dan Nana keluar. Mereka duduk di kursi di halaman Griya Werda menunggu para lansia selesai salat. Ayam kate berlari ke sana kemari. ”Ini hiburan buat kakek nenek di sini,” celetuk Bagus.
”Saya tadi habis menunggu eyang di (RSUD dr) Soetomo,” kata Bagus. Menunggu orang sakit di rumah sakit memang membosankan. Namun, itu harus dilalui perawat-perawat di Griya Werda. ”Mungkin aura mereka berbeda ya? Para lansia dari Griya Werda ini seolah punya daya tarik tersendiri. Banyak keluarga pasien umum yang mendekati mereka, juga mengajak saya ngobrol. Malah senang, punya teman baru,” cerita pria kelahiran Tuban yang masih single tersebut.
Bagus merupakan salah seorang perawat senior di Griya Werda. Sejak panti di Kelurahan Medokan Ayu itu didirikan, Bagus dan tiga temannya diangkat sebagai petugas di sana. ”Banyak lansia yang dari jalanan sehingga awalnya kesulitan untuk membiasakan menjalani rutinitas panti,” kata Bagus.
Dulu sering didapati lansia yang makan di lantai dan tidak mau mandi. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu berubah. Lansia di Griya Werda selalu dibiasakan makan bersama di ruang makan. Waktunya mandi dan ibadah juga harus dijalani dengan tertib. ”Salah satu penghuni terlama di sini dulu mantan preman. Namanya Mbah Kusnan,” cerita Bagus.
Kusnan mempunyai hobi mengoleksi paku dan silet. Dahulu lansia berusia 67 tahun itu tidak bisa lepas dari rokok. ”Kan tidak boleh bawa rokok. Mbah Kusnan nekat ngerokok di kamar mandi pakai kertas semen,” cerita Bagus yang lulusan D-3 keperawatan Stikes Hang Tuah Surabaya.
Namun, keadaan sekarang berbeda. Kusnan jadi rajin beribadah. Dia pun mau membantu satpam untuk menjaga keamanan di sekitar atau menolong petugas dapur. Kalau sedang merawat para lansia itu, mereka sering teringat kepada orang tua atau nenek kakeknya. ”Saya itu belum pernah memandikan orang tua atau nenek saya, tapi di sini saya memandikan mereka,” kata Nana.
Perawat di Griya Werda sudah menganggap satu sama lain saudara. ”Kan kakek nenek di sini tidak punya keluarga. Kamilah keluarga yang ada,” tambah Bagus.
Untuk menjalankan tugas tersebut, mereka memang mendapat gaji. Tapi, motivasi terbesar mereka adalah perasaan iba karena melihat para lansia itu sebatang kara. ”Semoga saat tua, saya diperlakukan dengan baik oleh anak-anak saya nanti,” ujar Nana. (http://www.jawapos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar