Bukan
saudara, bukan kerabat. Mereka merawat yang renta dengan bersahabat.
Mulai memandikan, mendandani, menyuapi, menuntun, sampai meladeni dengan
telaten ketika sakit. Masih banyak yang mereka lakukan. Nana dan Bagus,
dua di antara sepuluh perawat Griya Werda, berbagi cerita merawat
lansia di panti jompo milik Dinas Sosial Kota Surabaya itu.
”MATI! Mati! Mati!” teriak Suwarni.
Tubuhnya yang renta berupaya meronta ketika tiga perempuan menggotongnya ke
kamar mandi. Seluruh pakaian Suwarni ditanggalkan. Sambil duduk di atas kloset,
kedua tangan Suwarni menangkup di dadanya. Mencoba melindungi diri.
”Adem, adem,” ujar
perempuan 87 tahun itu sambil terus meronta. Air mengalir ke seluruh badannya.
Kulitnya yang keriput menjadi jalan bagi bulir-bulir air menetes ke bawah.
Tangan sigap seorang perempuan segera mengusap setiap lekuk tubuh Suwarni.
Meratakan sabun, memastikan tidak ada kotoran yang tertinggal. ”Kalau tidak
dipaksa mandi seperti ini, sebulan juga tidak mandi. Jadi, pagi dan sore petugas
yang berjaga harus memaksa dia mandi,” ungkap Nasiatul Khasanah.
Kegiatan
memandikan itu selalu dilakukan setiap pagi dan sore. Tidak semua penghuni
dimandikan. Mereka yang masih mampu hanya diingatkan untuk mandi. ”Mbah Warni
(Suwarni) ini sudah pikun. Dia selalu merasa sudah mandi,” imbuh Nana, sapaan
sehari-hari Nasiatul Khasanah.
Pakaian merah muda
dikenakan Suwarni. Mukanya tampak lebih segar dengan bedak putih tebal
menempel. Mirip bayi yang baru mandi. Rambutnya pun sudah rapi. Dia
dikembalikan ke ranjangnya. Suwarni tenang.
Di sisi ranjang
yang lain, Nana menceritakan pengalamannya selama satu tahun di Griya Werda.
Panti jompo yang pada 16 Juli nanti genap berusia dua tahun itu memberikan
warna baru bagi kehidupan Nana. Perempuan asli Kediri tersebut tidak
membayangkan jika dirinya akan menjadi perawat di Griya Werda. ”Awalnya, di dinsos
saya mendaftar sebagai perawat ambulans,” kata perempuan 23 tahun itu.
Hari pertama
bekerja, Nana dibuat haru. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) Griya
Werda saat itu menjelaskan latar belakang lansia di sana. Mereka rata-rata
tidak mempunyai keluarga dan tergolong tidak mampu. Beberapa harus bed rest
karena sakit.
Ada 46 lansia yang
tinggal di panti tersebut. Tidak ada pungutan biaya. Semua ditanggung pemkot.
Hanya, mereka mesti memenuhi syarat tidak mampu secara finansial sekaligus
tidak ada lagi keluarga. Ada sepuluh perawat yang bertugas. Mereka dibagi dalam
tiga sif. ”Saya sampai menangis mendengarkan cerita Pak Candra (kepala UPTD
Griya Werda yang lama),” kenangnya.
Sebagai perawat di
UPTD Griya Werda, Nana harus selalu siap menemani lansia di sana. Tidak hanya
di dalam panti, tetapi dia juga harus menemani kakek nenek tersebut ketika terbaring
sakit di rumah sakit.
Pengalamannya
dengan Mbah Ponijo, menurut dia, paling berkesan. Mbah Ponijo memiliki penyakit
hernia. Setelah dua minggu menjalani operasi kedua, kondisi Mbah Ponijo drop.
Badannya lemas karena menolak makan. Selain itu, dia selalu muntah.
Lulusan D-3 Stikes
Karya Husada Kediri tersebut menunggui Mbah Ponijo. Dokter memutuskan untuk
melakukan operasi lagi. ”Karena tidak ada keluarga, saya yang disuruh tanda
tangan surat yang menyatakan tidak akan menuntut jika terjadi hal fatal ketika
operasi. Saya panik karena dokter pun tidak bisa memberikan banyak harapan,”
ceritanya.
Atas saran Erni
Lutfiyah, kepala UPTD Griya Werda sekarang, Nana menandatangani surat tersebut.
Ketika operasi berlangsung 30 menit, Nana digantikan rekannya, Bagus Prio Budi Utomo.
”Sampai kos pun, saya tidak bisa tidur. Teringat kondisi Mbah Ponijo,” katanya.
Paginya dia mendapat kabar dari Bagus bahwa kondisi Mbah Ponijo membaik. ”Lega
rasanya,” imbuhnya.
”Benar. Kalau
melihat simbah-simbah-nya sehat, kami senang,” ungkap Bagus. Sore itu, pria 25
tahun tersebut baru saja memandikan Supinah. Nenek 66 tahun itu bed rest
karena lemah otot yang dideritanya. Selesai dimandikan, Supinah didudukkan di
kursi roda. Nana memakaikan mukena merah muda. Kemudian, kursi roda Supinah
didorong ke lobi panti. Di sana sudah menunggu kakek nenek lain yang siap untuk
salat Asar berjamaah.
Bagus dan Nana
keluar. Mereka duduk di kursi di halaman Griya Werda menunggu para lansia
selesai salat. Ayam kate berlari ke sana kemari. ”Ini hiburan buat kakek nenek
di sini,” celetuk Bagus.
”Saya tadi habis
menunggu eyang di (RSUD dr) Soetomo,” kata Bagus. Menunggu orang sakit di rumah
sakit memang membosankan. Namun, itu harus dilalui perawat-perawat di Griya
Werda. ”Mungkin aura mereka berbeda ya? Para lansia dari Griya Werda ini seolah
punya daya tarik tersendiri. Banyak keluarga pasien umum yang mendekati mereka,
juga mengajak saya ngobrol. Malah senang, punya teman baru,” cerita pria
kelahiran Tuban yang masih single tersebut.
Bagus merupakan
salah seorang perawat senior di Griya Werda. Sejak panti di Kelurahan Medokan
Ayu itu didirikan, Bagus dan tiga temannya diangkat sebagai petugas di sana. ”Banyak
lansia yang dari jalanan sehingga awalnya kesulitan untuk membiasakan menjalani
rutinitas panti,” kata Bagus.
Dulu sering
didapati lansia yang makan di lantai dan tidak mau mandi. Namun, seiring
berjalannya waktu, kebiasaan itu berubah. Lansia di Griya Werda selalu
dibiasakan makan bersama di ruang makan. Waktunya mandi dan ibadah juga harus
dijalani dengan tertib. ”Salah satu penghuni terlama di sini dulu mantan
preman. Namanya Mbah Kusnan,” cerita Bagus.
Kusnan mempunyai
hobi mengoleksi paku dan silet. Dahulu lansia berusia 67 tahun itu tidak bisa
lepas dari rokok. ”Kan tidak boleh bawa rokok. Mbah Kusnan nekat ngerokok
di kamar mandi pakai kertas semen,” cerita Bagus yang lulusan D-3 keperawatan
Stikes Hang Tuah Surabaya.
Namun, keadaan
sekarang berbeda. Kusnan jadi rajin beribadah. Dia pun mau membantu satpam untuk
menjaga keamanan di sekitar atau menolong petugas dapur. Kalau sedang merawat para lansia itu, mereka sering
teringat kepada orang tua atau nenek kakeknya. ”Saya itu belum pernah
memandikan orang tua atau nenek saya, tapi di sini saya memandikan mereka,” kata
Nana.
Perawat di Griya
Werda sudah menganggap satu sama lain saudara. ”Kan kakek nenek di sini
tidak punya keluarga. Kamilah keluarga yang ada,” tambah Bagus.
Untuk menjalankan tugas tersebut, mereka memang
mendapat gaji. Tapi, motivasi terbesar mereka adalah perasaan iba karena melihat
para lansia itu sebatang kara. ”Semoga saat tua, saya diperlakukan dengan baik
oleh anak-anak saya nanti,” ujar Nana. (http://www.jawapos.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar