Minggu, 15 Juni 2014

Hari Tua yang Indah Bagi Prabowo

14025508401398108117
Sumber: info-biografi.blogspot.com
Mungkin banyak orang yang abai bahwasanya jauh sebelum Jokowi blusukan, Prabowo muda sudah terlebih dahulu melakukannya. Jika Jokowi blusukan ke kampung-kampung, maka Prabowo blusukan ke sarang pemberontak dan penyandera. Jika Jokowi turun bertemu masyarakat, maka yang dihadapi Prabowo adalah kelompok bersenjata yang seketika bisa saja meledakkan isi kepalanya. Jika yang mengintai Jokowi adalah para wartawan, maka yang mengintai Prabowo tak lain hanyalah kematian.
Lahir dari keluarga bangsawan kaya tak lantas membuat Prabowo muda memilih untuk ongkang-ongkang kaki. Ia memilih jadi tentara yang bertaruh nyawa dan menolak tawaran kuliah di George Washington Unversity yang mengundangnya.
Di jaman sekarang mungkin pribadi seperti Prabowo muda sudah langka. Anak orang kaya masa kini lebih gemar menghambur-hamburkan harta orang tuanya. Jangankan untuk membela kehormatan bangsa dan negara, menjaga kehormatan keluarga saja mereka kadang tak sanggup.
Ada jawaban menarik dari adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo bahwa ambisi Prabowo untuk jadi presiden adalah opsi yang ia (Prabowo) pilih untuk pengabdian di hari tua. Sejatinya didalam diri Prabowo itu ia tak pernah berhenti darah pengabdian. Prabowo dan jiwa patriotnya sudah kadung melebur tak terpisahkan. Itulah kenapa ia kembali dan maju sebagai calon presiden. Tujuannya hanya satu, memenuhi hasrat kecintaan dan haus pengabdian kepada tanah air. Hasrat yang sama yang pernah membuatnya nyaris mati dibunuh tatkala bertugas di timor-timur (sekarang timor leste).
"Saya sudah mau mati sejak usia muda. Bertugas di Timor Timur ketika masih letnan. Saat itu saya sudah hitung bahwa tidak mungkin saya bisa selamat. Sayapun sudah ucapkan dua kalimat syahadat. Tapi saya masih lolos, saya bersyukur." (Prabowo Subianto)
Sekarang banyak orang bertanya-tanya tentang keikhlasan dan ketulusan seorang Prabowo jika terpilih sebagai presiden. Saya pribadi yang sudah beberapa tahun terakhir terus mencari tahu tentang jati diri Prabowo, merasa malu jika harus ikut bertanya tentang keikhlasan Prabowo. Setelah sekian banyak yang ia lakukan untuk negara, pengabdian, pengorbanan, bertaruh nyawa, menjaga perdamaian, membebaskan sandera, menjaga tiap jengkal NKRI dari pemberontak, baku tembak dibelantara hutan hingga harus menanggung dosa orang lain perihal tragedi 1998. Lalu kita lupa, kita berpura-pura, kita cuma ingat yang jeleknya saja. Tidak apa-apa, memang begitu sifat orang Indonesia.
"Selaku pemimpin politik, saya harus selalu siap menjadi pembawa bendera. Siap berada di garis terdepan, siap menerima kritik dan hantaman." (Prabowo Subianto)
Setelah karir militernya dihentikan secara paksa, Prabowo melanjutkan hidupnya dengan berbisnis di luar negeri. Tujuan utamanya mungkin mencari ketenangan. Hal ini kemudian kerap dituduhkan oleh pendukung Jokowi - JK sebagai usaha melarikan diri Prabowo atas kasus HAM. Padahal saat itu sidang DKP telah usai dan Prabowo sendiri telah mendapatkan ijin dari Pangab Jenderal TNI Wiranto. Tapi lagi-lagi fitnahan yang didapat oleh putra Sumitro ini.
Satu-satunya hal yang membuat Prabowo tetap kuat menghadapi hantaman adalah pesan Sumitro Djojohadikusumo, ayahnya sendiri. Sebuah pesan motivasi dan mulia yang akhirnya menenangkan Prabowo. Sumitro kerap berpesan agar putranya tetap tabah. Jangan mengasihi diri sendiri dan putus asa. Termasuk sebuah pesan mulia bahwa Prabowo tidak boleh menaruh dendam pada siapapun. Cukup hadapi saja. Beliau (Sumitro) berkata pernah mengalami kepahitan yang lebih pahit.
Tak jarang Prabowo seringkali mendaur ulang pesan-pesan baik dari ayahanda di media sosial. Itu mencerminkan sikap kepatuhan dan hormat Prabowo terhadap ayahnya seperti yang dulu pernah diungkapkan Sumitro. Ungkapan-ungkapan ini yang kemudian lantas dipreteli media dan barisan pembenci Prabowo seolah-olah sebuah serangan pada kubu rival. Padahal dalam kampanye dan laman facebook-nya, Prabowo meneruskan pesan-pesan baik pada pendukungnya. Menjauhi fitnah dan jangan membalas fitnah dengan fitnah. Kebenaran mungkin bisa kalah tapi tak akan pernah bisa diubah jadi kesalahan.
Tidak bisa dipungkiri majunya Prabowo menjadi capres seketika menggentarkan oknum-oknum yang masih punya rahasia kelam masalalu. Termasuk kasus HAM 98 dan kasus-kasus lainnya yang tak pernah terungkap. Jika Prabowo jadi presiden, mereka takut skenario busuk yang dilakukan terhadap Prabowo dimasalalu akan terungkap. Mereka takut dalang kasus Munir kembali menyeruak. Dan kini mereka berdiri bahu membahu dibelakang Jokowi - JK demi menjegal Prabowo untuk kedua kalinya.
Namun, kecintaan dan fanatisme terhadap Jokowi membuat sebagian kita memaafkan orang-orang dibelakangnya atas kejahatan yang mungkin jauh lebih besar. Sebagian kita setuju untuk membutakan fakta-fakta. Bersatu-padu menghancurkan Prabowo. Memberangus cita-cita mulia pengabdiannya di hari tua. Tak sadarkah kita? Orang yang kita hina, kita caci maki, kita dzalimi itu adalah Prabowo putra Sumitro. Seorang letnan yang dulu nyaris mati dibelantara hutan demi kedaulatan tanah air yang kini kita tinggali. Seorang satria yang mencatat segudang prestasi, penghargaan, tanda bintang dengan kedua tangan dan taruhan nyawanya. Tak ada pencitraan, tak ada wartawan. Yang ada hanya pekat malam, pemberontak bersenjata dan seorang prajurit yang bergumul dengan maut demi bukti cinta pada bangsa, negara, dan tanah air.
"Saya ini kesatria, pendekar. Anda harus dalami filosofi pendekar, siap mati untuk negara, bangsa, dan kebenaran." (Prabowo Subianto)
-Selesai-
(http://m.kompasiana.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar