Oleh: Rita Fadilah S.Psi., Psikolog (Ketua HIMPSI Wilayah Banten)
Program Suara Pena Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) mendukung
Hari Lansia Nasional dengan tema “Peduli dan Mendukung Pemberdayaan Tiga Generasi”
29 Mei 2015
Hari Lansia Nasional dengan tema “Peduli dan Mendukung Pemberdayaan Tiga Generasi”
29 Mei 2015
Masyarakat bangsa timur umumnya menganggap bahwa kelompok sosial lanjut usia (lansia) sebagai lapisan masyarakat bijaksana yang mampu dipercaya untuk menjaga keutuhan nilai-nilai agama dan menjadi sumber nasihat yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Demikian pula di Indonesia. Bagi sebagian besar bangsa kita, orang tua tetap mendapat posisi istimewa. Walau anak-anaknya merantau jauh dan telah sukses secara ekonomi hidupnya, minimal setahun sekali akan menyempatkan untuk mengunjungi orangtua di kampung halaman yang kita kenal sebagai budaya “mudik”.
Seiring dengan perkembangan zaman, nilai telah bergeser. Bagi sebagian masyarakat yang memiliki orientasi materi, hedonisme dan pola konsumtif yang semakin menguat, terdapat fakta yang cukup memprihatinkan. Ada pihak yang menganggap lansia hanya sebagai beban. Bagaimana masa depan bangsa, bila tidak memuliakan para lanjut usia, baik keluarga sendiri ataupun masyarakat lansia yang lain? Di sisi lain, fakta yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia selama 40 tahun terakhir menjadi dua kali lipat, tetapi penduduk lanjut usia menjadi sepuluh kali lipat, dari sekitar 2 juta di tahun 1970 menjadi lebih dari 20 juta pada tahun 2010. Usia harapan hidup penduduk meningkat melampaui angka di atas 60 tahun. Prof. Dr. Haryono Suyono, Ketua Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI) mengungkapkan bahwa pada tahun 2015 ini diperkirakan penduduk lansia Indonesia mencapai sekitar 29-30 juta. Pada tahun 2050 akan mencapai 80 juta, di antaranya sekitar 35-36 juta berusia 60-69 tahun.
Presiden Soeharto mencanangkan Hari Lansia Nasional di Semarang pada tanggal 29 Mei 1996 sebagai bentuk penghormatan kepada Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, yang lahir pada tahun 1879. Pada usia lanjut, beliau memimpin sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI, 1945). Undang-undang No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia menyatakan bahwa batasan usia lansia adalah 60 tahun ke atas. Peringatan Hari Lansia Nasional ini dapat dianggap sebagai wujud kepedulian dan penghargaan bagi warganegara yang sudah lansia.
Bagaimana efek peringatan Hari Lansia terhadap kehidupan sehari-hari? Perlahan tapi pasti, masyarakat kota ‘kembali’ dimotivasi oleh kepedulian terhadap para lansia. Di Commuter Line atau di bis Trans Jakarta dapat dilihat tersedianya tempat khusus untuk para lansia, ibu hamil dan penyandang disabilitas. Kampanye kepada masyarakat luas tentang pentingnya memuliakan lansia serta bahwa lansia bukan menjadi beban keluarga, namun mereka adalah menjadi bagian keluarga yang memiliki hak untuk menikmati kebahagiaan, terjaga kesehatannya, dan masih tetap bisa produktif sesuai dengan kemampuan fisiknya.
Perusahaan yang sudah mengedepankan pengembangan sumber daya manusia memasukkan program persiapan pensiun yang berkesinambungan yang salah satu tujuannya adalah memberdayakan karyawan memasuki masa pensiun dan tentunya menjadi lansia yang tetap produktif. Justru sangat umum di awal masa lansia, mereka kebanyakan masih produktif, mampu mentransfer ilmu dan pengalaman menjadi narasumber untuk suatu bidang kerja/profesi, kompeten di bidangnya dan terlibat aktif dalam berbagai bidang seperti organisasi/ yayasan sosial dan pendidikan serta kelompok hobi tertentu. Keaktifan lansia kelompok menengah atas biasanya tidak selalu bermotif ekonomi namun lebih pada aktualisasi diri. Sementara bagi lansia kelas menengah ke bawah, pemerintah mendorong mereka untuk tetap produktif dan punya penghasilan sendiri.
Membentuk bangsa yang kuat tentunya sangat didukung oleh keluarga inti atau nuclear family yang harmonis dan memiliki karakter yang kuat, antara lain tanggung jawab terhadap diri dan orang lain, mandiri, peduli terhadap sesama, memegang teguh nilai-nilai religius atau norma masyarakat yang sesuai dengan fitrah manusia, memiliki motivasi dan kesungguhan untuk terus maju (berprestasi atau peningkatan segala perannya). Kekuatan bangsa ditunjang pula bagaimana peran lansia yang secara harmonis berinteraksi dengan anak dan cucu, serta peran di masyarakat. Peran lansia dalam pengasuhan anak dan penanaman nilai sangat signifikan, terutama bagi pasangan bekerja yang punya waktu minim untuk berinteraksi dengan anak, sementara asisten rumah tangga yang bekerja kebanyakan belum memiliki kapasitas memadai untuk tugas penanaman nilai. Lansia yang bertindak sebagai kakek/nenek menggantikan peran ayah/ibu yang bekerja penuh waktu di era yang penuh tantangan.
Dalam proses tumbuh kembang anak yang mengalami pola asuh yang tepat dari orang tuanya, diharapkan dapat mencapai kematangan di masing-masing tahap perkembangannya menjadi remaja, dewasa awal, hingga bisa mencapai masa dewasa akhir (lansia) yang bahagia. Adapun tugas perkembangan lansia yang bersumber dari Havighurst, seorang tokoh psikologi perkembangan, adalah (a) pemantapan dalam pengamalan nilai religius; (b) penyesuaian diri dengan penurunan kemampuan fisik dan kesehatan; (c) penyesuaian diri dengan masa pensiun & berkurangnya penghasilan; (d) penyesuaian diri dengan kematian pasangan hidup; (e) membentuk hubungan sosial dengan orang yang seusia; dan (f) pemantapan hubungan yang lebih harmonis dengan anggota keluarga (anak, menantu, dan cucu). Keharmonisan hubungan dalam keluarga akan menciptakan suasana kondusif untuk berkarya bagi kepentingan keluarga yang dapat berimbas pada pembangunan bangsa, termasuk meningkatkan kesejahteraan secara fisik maupun psikologis diri lansia dan keluarga.
Individu yang bahagia mencapai tingkat spiritualitas pada kategori tinggi dengan memiliki dimensi religiusitas, kedamaian hidup, makna dan tujuan hidup, optimisme, antisipasi masa depan, dan nilai-nilai untuk membimbing hidup dan pembuatan keputusan. Untuk mencapai kondisi lansia berkualitas tersebut diperlukan persiapan dan pembentukan yang terencana sejak dini, mulai dari tingkat balita, anak-anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Kematangan spiritualitas untuk dapat meraih kebahagiaan di usia lansia tidaklah terjadi begitu saja seperti menunggu durian runtuh, namun benar-benar harus dipersiapkan secara serius semenjak dini.
Untuk mewujudkan lansia bahagia yang tetap produktif, Psikolog dan Ilmuwan psikologi dapat berperan aktif pada pemberdayaan agar tidak menganggap masa pensiun sebagai akhir dari segalanya dan justru menjadikannya momentum baru untuk meningkatkan baktinya kepada pemberdayaan tiga generasi, yaitu sesama generasi lanjut usia, generasi muda dan dewasa serta generasi anak-anak lewat berbagai cara. Persiapan menjadi lansia yang tangguh, produktif dan bahagia dapat direncanakan guna mampu melewati tahap perkembangan di masing-masing generasi.
Disetujui oleh: Dr. Seger Handoyo, Psikolog (Ketua Umum HIMPSI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar