Ilustrasi
BERITA TERKAIT
Dana Pensiun yang dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sudah berjalan enam bulan. Namun, program tersebut masih belum lepas dari kritik publik. BPJS Watch pun masih mempertanyakan manfaat yang diterima buruh dari program tersebut.
Ketua Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, regulasi terkait dana pensiun nasional masih belum memuaskan. Salah satunya, besaran manfaat yang diterima oleh peserta dana pensiun. Menurutnya, keputusan pemerintah untuk mencantumkan nominal sebagai ukuran manfaat yang diterima.
’’Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 tahun 2015 tentang Pensiun, disebutkan jumlah uang pensiun yg akan didapat pekerja ada pada kisaran Rp 300 ribu – 3,6 juta. Itu didapat setelah pekerja mengiur 180 bulan atau 15 tahun. Anehnya, batas bawahnya justru lebih kecil dari Indikator garis kemiskinan,’’ ungkapnya di Jakarta kemarin (9/1).
Hal itu, lanjut dia, mengacu pada lansiran ?Badan Pusat Statitik (BPS). Per bulan September 2015, BPS memakai indikator garis kemiskinan dengan pendapatan senilai Rp. 344.809 per kapita per bulan. Indikator tersebut naik dari standar yang dipakai pada Maret 2015 senilai R. 330.776 per kapita per orang. Namun, dari standar yang kemiskinan itu justru lebih dari batas bawah manfaat pension.
’’Kalau diandaikan ada penerima batas bawah tahun ini, dia akan masuk ke kelompok di bawah garis kemiskinan. Tentu fakta ini sangat membuat resah para buruh. Manfaat pensiun bukannya membuat hidup setelah tak bekerja mudah malah menurunkan kualitas hidup menurun,’’ imbuhnya.
BERITA TERKAIT
Dia juga menambahkan, dana pensiun bakal pertama kali diterima pada 15 sejak iuran pertama. Dengan kata lain, sekitar tahun 2030. Selama tahun berjalan, inflasi pun bakal ikut mendorong standar ekonomi. Mulai dari rata-rata beban rumah tangga hingga garis kemiskinan. Namun, nominal yang dicantumkan tidak bisa mengakomodasi inflasi tersebut.
’’Kalau dibayangkan, nilai maksimal yang diterima adalah Rp 3,6 juta. Pekerja yang hidup dengan gaji Rp 1 juta di tahun ini saja sudah susah. Jangan-jangan Rp 3,6 juta pada 2030 itu juga tak begitu berarti,’’ terangnya.
Karena itu, dia berharap pemerintah bisa mengubah tolok ukur besaran manfaat dana pensiun. Menurutnya, idealnya adalah memberikan standar berupa presentase dari gaji terakhir yang diterima. Dengan begitu, pekerja tetap bisa menerima manfaat yang sesuai inflasi saat baru melakukan pensiun.
’’Paling gampang sesuaikan saja dengan aturan ILO (International Labour Organization). Dalam aturan mereka, pekerja berhak mendapatkan 40 persen dari gaji terakhir. Saya rasa hal itu wajar dan sudah dilakukan pada manfaat pensiun PNS di Indonesia,’’ jelasnya. (http://www.jawapos.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar