Senin, 14 September 2015

Mewaspadai Kanker Nasofaring


Kanker nasofaring memang kalah popular disbanding kanker rahim, kanker paru atau kanker payudara. Namun, di tengah polusi udara yang terus meningkat kita patut mewaspadai kanker yang menyerang rongga hidung bagian dalam ini. 
==================

Alkisah, dalam beberapa bulan terakhir, telinga kanan Mpok Mumun (40) terasa berdenging. Hidungnya pun kerap tersumbat. Badannya terasa cepat capek, baru berjalan beberapa puluh meter sudah kecapaian. Nafsu makannya juga menurun drastic.

Lantaran merasa ada gangguan di telinganya, warga pnggiran Bekasi ini lalu memeriksakan diri ke dokter spesialis THT. Dari pemeriksaan dokter, semua organ pendengarannya sehat-sehat saja. Sang dokter lalu meraba bagian belakang bawah telinga Mpok Mumun. Dan ada sedikit benjolan sebesar biji kacang ijo.

Dokter THT lantas merekomendasikan Mpok Mumun untuk menjalani pemeriksaan dengan mengambil cairan dan jaringan dalam benjolan itu. Dokter mengambil sedikit jaringan untuk diperiksa. Beberapa hari berselang, dokter mendiagnosa Mpok Mumun terkena kanker nesofaring.

“Gejala nasofaring itu tidak khas,'' ujar dokter ahli THT RS Kanker Dharmais, Budianto Komari, beberapa waktu lalu di Jakarta. Gejalanya mirip flu. Sebab itu, banyak pasien datang ke dokter umum mengeluhkan budek atau kesulitan mendengar pada salah satu telinga, dan dokter menyatakan itu gejala flu.

Pada stadium awal, gejala kanker nasofaring tampak ringan seperti telinga berdenging dan hidung tersumbat dengan sedikit darah pada ingus. Masyarakat biasanya meanggap darah berasal dari jaringan hidung yang robek karena kesalahan saat membersihkan hidung. `'Kalau darah sedikit, biasanya tidak dipermasalahkan,'' katanya menjelaskan.

Bila sudah stadium lanjut, gejala tersebut menyebar ke mata, saraf dan penyebaran di antaranya leher. Pada umumnya, terdapat benjolan padat di leher namun penderita tidak merasa sakit. Justru, tidak berasa sakit inilah yang perlu diwaspadai.

Penyebaran melalui mata mengakibatkan mata menjadi juling. Penyebaran melalui tulang, penderita akan merasa semua tulang sakit, keropos, dan berakhir dengan patah tulang. Jika menyebar pada paru-paru, sering batuk-batuk. Yang paling parah ketika virus yang penyebab nasofaring, epstein barr, menyebar ke otak.

Gejala awal kanker nasofaring sering tidak disadari oleh pasien ataupun dokter umum karena letaknya yang tersembunyi, di hidung bagian dalam. Karena itu, pemeriksaan lebih sulit, apalagi bagi orang yang sensitif. Misalnya apa pun benda yang masuk, bisa merangsang orang untuk batuk.

Pemeriksaan menggunakan nasoendoskopi mengharuskan pasien duduk tenang sehingga alat yang dimasukkan melalui hidung ke saluran nasofaring bisa berjalan optimal. `'Sebab itu penderita nasofaring yang datang ke RS biasanya sudah stadium lanjut, karena gejala stadium lanjut lebih terlihat dan pemeriksaannya lebih gampang,'' ujar Budianto.

Dia menyarankan pasien untuk banyak bertanya kepada dokter jika mengalami gangguan pendengaran sebelah namun ia tidak flu. Sebab, bisa saja terkena kanker nasofaring.

Lalu, apa itu kanker nasofaring? Kanker nasofaring adalah kanker yang berada di nasofaring, yakni saluran yang terletak di belakang hidung, tepatnya di atas rongga mulut. Nasofaring tidak mempunyai fungsi apa pun hanya berupa lekukan.

Kanker ini disebabkan virus epstein barr. Bila virus terbangun, dapat terjadi mutasi sel yang berujung pada kanker nasofaring. Kanker ini menduduki peringkat pertama di bidang THT dan peringkat empat di seluruh kanker ganas yang ada. Yakni setelah kanker leher rahim, payudara, dan kulit.

Penyakit ini banyak menyerang ras mongoloid. Di Cina Selatan terjadi 40-50 kasus per 100 ribu penduduk. Sedangkan Eropa dan Amerika Utara kurang dari satu kasus per 100 ribu penduduk dan di Indonesia 6,2 kasus per 100 ribu penduduk. Hal ini disebabkan karena kebiasaan faktor makanan. Ras mongoloid banyak memakan makanan yang mengandung nitrosamine seperti ikan asin.

`'Mereka memakan ikan asin tiap hari, asupan nitrosamine tiap hari, berpotensi besar terkena kanker nasofaring,'' terang Budianto. Selain ikan asin, pengonsumsian berlebihan sayuran yang diawetkan, makanan fermentasi, daging yang dikeringkan, berpotensi terkena kanker nasofaring.

`'Yang tidak boleh itu jika makan terus menerus, tapi kalau makan sesekali boleh saja. Makanya kita dianjurkan mengonsumsi makanan yang beragam setiap hari,'' cetus dia.

Faktor lain penyebab kanker nasofaring adalah asap. Yakni, kebiasaan memasak, asap dan gas rumah tangga, terlebih kebiasaan memasak di rumah kayu yang membuat asap sulit keluar, memperbesar kemungkinan kanker nasofaring. Lalu asap dupa dan kemenyan. Selain itu, orang yang bekerja dengan gas dan bahan kimia industri, peleburan besi, formaldehida, serta serbuk kayu, menjadi faktor penyebab kanker nasofaring.

Faktor-faktor penyebab itulah, demikian Budianto, penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki. `'Laki-laki lebih banyak bekerja di luar ruangan dengan potensi asap yang lebih tinggi,'' katanya menjelaskan.

Penyakit ini banyak ditemui pada rentang usia 25-60 tahun. Di Cina, kanker nasofaring merupakan penyakit yang biasa terjadi. Untuk itu, salah satu saran yang paling mudah adalah dengan menggunakan masker, baik saat mengendarai sepeda motor ataupun saat bekerja. (*)



Boks:

Deteksi Dini Kanker Nasofaring

Kanker nasofaring atau Nasopharynx Cancer (NPC) merupakan salah satu jenis kanker dengan angka kejadian rendah, kurang dari 1 per 100 ribu penduduk per tahun di dunia. Namun demikian, pada negara tertentu di kawasan Afrika dan Asia Tenggara memiliki angka kejadian yang tergolong menengah sampai dengan tinggi. Salah satunya di Indonesia dengan angka kejadian 6,2 per 100 ribu penduduk per tahun.

Di Indonesia, penyakit yang menyerang daerah leher kepala ini menempati urutan keempat di antarara kanker yang ada. Sayangnya deteksi dini terhadap gejala kanker nasofaring belum banyak dikembangkan. Sebagian besar penderita datang dalam kondisi stadium lanjut sehingga sulit ditangani.

“Dengan keadaan stadium lanjut maka tingkat keberhasilan penanganan penyakit rendah, yaitu kurang dari 30 persen. Selain itu penanganannya pun  harus dengan terapi kombinasi yakni radioterapi dan kemoterapi dengan efek samping tinggi dan biaya mahal. Sedangkan NPC stadium dini dapat ditangani dengan radioterapi saja, dengan tingkat keberhasilan lebih dari 80 persen, efek samping yang lebih rendah dan biayanya relatif murah. Untuk itu, dibutuhkan metode untuk mendeteksi NPC pada stadium dini,” urai Dewi Kartika Paramita, S.Si., M.Si., Ph.D., penemu alat deteksi dini kanker nasofaring, baru-baru ini di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta.

Dewi mengembangkan alat deteksi dini NPC yang mudah, cepat, serta akurat. Bahkan dengan biaya yang lebih murah. Satu kit alat tes yang diberi nama IgG NPC Strip ini dibanderol dengan harga  maksimal Rp50 ribu. Alat akan dilempar ke pasaran dalam waktu dekat setelah proses registrasi ke Kementrian Kesehatan RI. Alat ini diharapkan mampu mendeteksi kanker nasofaring pada stadium awal. Dengan begitu angka kesembuhan kanker nasofaring dapat ditingkatkan.

“IgG NPC Strip ini memakai protein EBV sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap protein EA pada pasien kanker nasofaring,” jelasnya sembari menambahkan, pembuatan alat deteksi NPC bekerjasama dengan Lab. Hepatika NTB.

Satu kit IgG NPC Strip berisi 1 strip yang dibungkus aluminium foil dengan rapat, 1 tube berisi 100 µL larutan buffer untuk mengencerkan darah, 1 lancet, dan 1 stik plastik untuk memasukkan darah ke dalam larutan buffer. Penggunaan alat deteksi NPC cukup mudah layaknya alat tes kehamilan. Namun dalam tes ini menggunakan satu tetes darah pasien untuk diuji serumnya. Darah kemudian diencerkan dengan larutan buffer yang telah tersedia pada kit. Selanjutnya NPC strip dicelupkan pada larutan.

 “Dalam waktu 3-5 menit hasilnya sudah bisa dilihat. Dinyatakan positif jika terbentuk 2 garis berwarna merah muda dan negatif jika hanya terbentuk 1 garis warna merah muda,” ujar wanita kelahiran Yogyakarta, 3 Maret 1971 ini. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar