Rabu, 07 Januari 2015

Dedikasi Daiyah ’Orang-Orang Buangan’

FOTO: NURANURAN

Siti Thoyyibah
Lima tahun ia membina orang-orang tak waras, gelandangan dan pengemis. Berkat kesabaran dan ketulusannya, anak-anak liar itu kini menjadi baik.
Belum dua minggu Siti Thoyyibah kehilangan putri sulungnya karena sakit. Tentu saja rasa duka masih menyelimutinya. Namun, ia tak mau hanyut lebih jauh. Sebab, ia masih punya ‘anak-anak’ yang lain. Dan mereka saat itu sedang menunggu kehadiran Thoyyibah, begitu perempuan berusia 65 tahun ini akrab dipanggil.
Thoyyibah tak mau jika ‘anak-anaknya’ itu menunggu sia-sia. Meski sore itu, awan hitam bergelayut di langit Keputih Surabaya. Perempuan yang senantiasa berjilbab rapi ini tetap melangkahkan kakinya menuju Lingkungan Pondok Sosial (Linponsos), Surabaya, sekitar satu kilometer dari rumahnya. Di sanalah ‘anak-anak’ Thoyyibah menunggu.
Begitu tiba, setelah istirahat sebentar di ruang tamu, Thoyyibah terus menuju mushalla. “Assalamu’alikum,” sapa Thoyyibah yang langsung dibalas salam oleh ‘anak-anaknya’. Sesaat kemudian muluncurlah nasehat-nasehat dari perempuan kelahiran Lamongan, Jawa Timur ini. “Kita semua bersaudara, karena itu harus rukun. Tidak boleh tukaran (berantam),” katanya.
Nasehat itu kelihatan sederhana, tapi tidak bagi mereka. “Pernah ada yang cakar-cakaran saat saya lagi memberi pengajian,” kata Thoyyibah.
Maklum, mereka adalah anak-anak jalanan. Mereka biasa hidup tanpa aturan. Yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Karena lagi ‘sial’ saja, mereka terciduk petugas Satpol PP. Selanjutnya, mereka dikirim ke Linponsos untuk dibina. Nah, Thoyyibah adalah salah pembina itu.
Tentu saja tidak mudah membina “orang-orang buangan” seperti itu. Butuh kesabaran dan ketabahan. “Pertama mengajar mereka saya hampir muntah, karena bau mereka tak sedap,” kata Thoyyibah. Maklum, mereka jarang mandi. Ibu enam anak ini mengaku nyaris mundur. “Tapi saya kuat-kuatkan, sebab kalau kita tinggal takut dimasuki Kristen,” katanya.
Persis di depan Liponsos memang ada Pondok Kasih, semacam pusat pembinaan anak-anak telantar milik Nasrani.
Thoyyibah membina di Linponsos sejak lima tahun lalu. Bermula dari pertemuannya dengan Suci, Kepala Kerumahtanggaan Linponsos dalam sebuah pengajian di Surabaya. Suci lalu menawari Thoyyibah mengisi pengajian di lembaga tempatnya bekerja. Nenek yang kini sudah dikarunia 11 cucu itu pun menyanggupi.
Pertama mengaji, kata Thoyyibah, yang datang hanya beberapa gelintir. Mereka juga belum tertib. “Kita bicara mereka ngomong sendiri,” katanya. Tidak itu saja, cara berpakaian pun seenaknya. Dan yang paling jorok, ya itu tadi, baunya.
Thoyyibah yang sudah berdakwah sejak 40 tahun lalu ini tak kurang akal. Untuk memancing minat, ia kerap memberi hadiah. Kadang berupa uang, kadang berupa makanan. Cuma, hadiah itu tak begitu saja diberikan. Ia membuat kuis, siapa bisa menjawab pertanyaannya berhak menikmati hadiah itu.
Setelah memberikan materi, Thoyyibah biasanya melontarkan beberapa pertanyaan sederhana, misalnya, “Puasa sunnah yang dilaksanakan enam hari, puasa apa?”
Para ’santri’ pun berebut mengangkat jarinya. Siapa yang dapat menjawab dengan benar, mendapat hadiah uang yang dimasukkan dalam amplop. Dari mana uangnya? “Saya bawa sendiri,” ujar Thoyyibah.
Lain waktu, Thoyyibah membawa sekarung pakaian. Pakaian layak pakai yang dikumpulkan dari jamaah pengajian binaannya itu, dibagikan kepada seluruh peserta. Tak heran bila kini mereka berpakaian rapi lengkap dengan jilbab dan parfum saat mengikuti pengajian.
Jurus lain, saat melihat mereka mulai jenuh atau bicara sendiri, Thoyyibah mengajak melantunkan shalawat atau syair puji-pujian seperti banyak dilakukan di masjid atau mushalla. Misalnya lagu Tombo Ati.
Dengan jurus-jurus seperti itu, perlahan-lahan makin banyak yang datang ke pengajian. Tidak hanya para penghuni Linponsos, melainkan juga masyarakat sekitar. Seperti disaksikan Suara Hidayatullah, sore itu yang hadir tak kurang dari 40 orang. “Biasanya lebih banyak lagi. Karena pas hujan, sehingga warga kampung sekitar sini tak datang,” kata Suci.
Dengan pendekatan seperti itu, hubungan Thoyyibah dengan mereka sudah seperti anak dengan ibunya. Mungkin, lantaran merasa dekat itu, mereka kadang ada yang berani meminta uang. “Kalau lagi pas membawa uang ya saya kasih,” kata Thoyyibah. Kata Suci, selama membina di Liponsos, Thoyyibah tak pernah dibayar. “Baru tahun ini kita usulkan ada uang transportasi,” ujar Suci.
Walau demikian, hal itu tak mengurangi dedikasi istri dari Sudarman, pensiunan petugas pemadam kebakaran di Surabaya ini. Menurut Suci, sangat jarang ustadzah lulusan sebuah pesantren di Gresik ini mangkir dari jadwal yang telah ditentukan. Bahkan sekarang dia menambah jadwal pertemuan. Dari seminggu sekali menjadi dua kali. “Khusus hari Sabtu untuk mengajar membaca al-Qur`an,” kata Suci.
Ada yang membuat terharu Thoyyibah. Usai memberi pengajian, tiba-tiba ada salah seorang penghuni Liponsos merayu sambil tidur di pangkuannya. “Dia minta saya bilang ke pimpinan Linponsos agar dia dipulangkan kepada keluarganya,” kata Thoyyibah.
Dia, kata Thoyyibah, ternyata punya kelainan jiwa. Dia baru saja membunuh ibunya, sekalipun itu dia lakukan tanpa sadar. Setelah dimasukkan ke rumah sakit, dan keluarganya tak mau mengambil, akhirnya dikirim ke Linponsos.
Selain orang-orang sakit jiwa, pasien lain -begitu Suci menyebut para penguhuni Linponsos- adalah gelandangan dan pengemis (gepeng), dan juga lanjut usia (lansia) yang tak punya keluarga atau keluarganya tak mau mengambilnya. Mereka berasal dari Surabaya dan sekitarnya. Menurut Suci, sekarang ada sekitar 700 orang yang ditampung lembaga milik Dinas Sosial Kodya Surabaya itu. Daya tampungnya sebenarnya cuma mampu untuk sekitar 300 orang.
Di Linponsos mereka dibina dengan diberi latihan berbagai keterampilan, misalnya menjahit. Juga tak kalah penting adalah pembinaan mental. Pembinaan yang dilakukan Thoyyibah adalah bagian dari pembinaan mental itu. Yang dibina Thoyyibah khusus pasien perempuan, sedangkan pasien laki-laki ada pembinanya sendiri.
Menurut Suci, ada perubahan antara sebelum dan sesudah mengikuti pengajian. “Mereka menjadi lebih tertib dan tidak liar,” katanya.
Bila sudah baik, mereka dikembalikan kepada keluarga atau dikirim ke pelbagai yayasan sosial yang bersedia menampung. Anehnya, tak semua keluarga peduli kepada mereka. Bahkan, kata Suci, ada juga keluarga tak bersedia menerima kembali. Yang repot itu kalau pasien sudah tak ingat lagi rumahnya di mana. “Pernah kita mengantar pulang, tapi di tengah jalan balik lagi, karena pasien tak ingat lagi jalan ke rumahnya,” Suci menambahkan. Kalau sudah begitu, biasanya pasien itu menjadi penghuni tetap Linponsos hingga ajal menjemput. *Bambang Subagyo/Suara Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar