Jepang, sebagai negara maju dengan lingkungan yang higienis, masyarakat bergaya hidup sehat, serta teknologi pengobatan yang muktahir, tak mengherankan memiliki banyak penduduk berumur panjang. Menurut data statistik WHO 2010, Jepang menempati peringkat tertinggi di seluruh dunia dalam hal angka harapan hidup (laki-laki: 79 tahun, perempuan: 86 tahun. Bahkan saat ini ada yang mencapai umur 113 tahun lho.). Ngomong-ngomong Indonesia ada di urutan ke-berapa ya? Ternyata di urutan 123 dengan usia rata-rata 67 tahun. Tetapi berumur panjang ternyata tidak selalu menggembirakan.
Seiring dengan perkembangan ekonomi suatu negara, ada 3 perubahan pola perkembangan jumlah penduduk negara tersebut, yaitu dari pola tingkat kelahiran tinggi dan tingkat kematian tinggi, menjadi pola tingkat kelahiran tinggi dan tingkat kematian rendah, menjadi pola tingkat kelahiran rendah dan tingkat kematian rendah. Jepang sedang berada di pola yang ke-3.
Dari data Kementrian Umum Jepang (Soumusho) tahun 2010, jumlah penduduk lansia (berumur 65 tahun ke atas) mencapai sekitar 29 juta atau 23 % dari total jumlah penduduk, meningkat 0,4% dari tahun sebelumnya. Besarnya angka ini disebabkan karena generasi baby boom (masa tingkat kelahiran yang tinggi) pertama, yang lahir di tahun 1947-1949 sekarang menjadi lansia. Angka ini diperkirakan masih akan mengalami peningkatan drastis saat generasi masa baby boom kedua di tahun 1971-1974 mencapai usia lanjut nanti.
Dengan angka rata-rata setiap ibu di Jepang hanya melahirkan 1 bayi, komposisi jumlah penduduk yang produktif (usia kerja) dan tidak produktif akan menjadi tidak seimbang. Pemasukan pajak dari penduduk produktif berkurang, sehingga uang pensiun untuk para lansia pun menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan kekhawatiran pada penduduk yang membayar asuransi hari tua saat ini apakah nantinya bisa menerima pensiun sesuai yang dibayar atau tidak. Saat ini jumlah pensiun yang dibayarkan rata-rata perbulan telah berkurang dari tahun sebelumnya, untuk laki-laki sekitar 180 ribu yen (sekitar 18 juta rupiah), dan perempuan 100 ribu yen.
Dengan banyaknya lansia di Jepang ini, perubahan apa yang terjadi pada masyarakat Jepang?
Diperlukan lebih banyak rumah sakit dan panti jompo, termasuk pekerja di dalamnya. Dengan tingkat gaji yang rendah dan beban pekerjaan yang berat tidak banyak orang Jepang yang tertarik dengan pekerjaan perawat. Indonesia ambil bagian dalam memecahkan masalah ini dengan kerjasama antara pemerintah Jepang dan Indonesia yang dimulai tahun 2008, untuk merekrut tenaga profesional, perawat yang ditempatkan di rumah sakit dan care worker untuk ditempatkan di panti jompo di seluruh Jepang.
Perawat dan calon care worker Indonesia mulai berdatangan ke Jepang sejak 2009 secara bertahap yang totalnya akan menjadi 1.000 orang. Untuk perawat diberikan kesempatan masa training selama 3 tahun dengan 3 kali ujian Negara untuk dapat lulus menjadi perawat di Jepang. Sedangkan para calon care worker diberi kesempatan 4 tahun masa training dengan 1 kali ujian negara. Meskipun ada rasa pesimis apakah orang Indonesia bisa lulus ujian negara yang untuk orang Jepang pun sulit, namun dalam masa pelatihan sampai saat ini, pelayanan para perawat dan care worker dari Indonesia mendapat tanggapan positif.
Bagaimana dengan masalah transportasi untuk para lansia? Di beberapa daerah hal ini menjadi kendala cukup besar. Jumlah penduduk yang semakin sedikit membuat beberapa jalur bis dihilangkan karena tidak memberikan keuntungan, sehingga untuk berbelanja atau cek kesehatan ke rumah sakit sekali saja bisa membutuhkan biaya 5 sampai 10 ribu yen. Demikian pula supermarket atau kawasan pertokoan pun banyak yang tutup karena merugi akibat kurangnya pembeli. Di wilayah Hokkaido yang luas dengan masa musim dingin yang panjang dan suhu yang rendah, terkadang sulit mencari bahan bakar yang sangat diperlukan untuk pemanas, karena pom bensin banyak yang bangkrut.
Beberapa wilayah berhasil menanggulangi masalah fasilitas ini dengan swadaya masyarakat sendiri. Misalnya setelah berdiskusi dengan perusahaan bis dan pemda, disediakanlah bis yang beroperasi sesuai keperluan, misalnya seminggu 2 kali. Dengan demikian, biaya operasional tercukupi dan kebutuhan pendudukpun terpenuhi. Ada pula beberapa supermarket yang menyediakan jasa pengantaran barang. Pembeli hanya perlu menelepon untuk memesan dan pihak supermarket akan mengantarkan barang-barang sampai ke rumah. Atau, melalui internet atau “net suupaa”, pembeli tinggal mengklik barang yang dibutuhkan.
Ada juga beberapa mini market menyediakan layanan dengan mini bis berisi barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ada pula NPO (lembaga non profit) pemerhati masalah lansia, membantu menghubungkan penjual dan pembeli lansia dengan mengantarkan barang belanjaan. Hal ini dilakukan sekaligus untuk mengecek ada tidaknya masalah dengan lansia yang hidup sendiri, karena tidak sedikit lansia yang hidup sendiri tanpa sanak saudara meninggal tanpa diketahui. Ada pula solusi lain dengan memperbanyak mini market, menggunakan jasa kantor pos untuk layanan pengiriman barang dan bank pos untuk pengambilan uang pensiun atau pembayaran asuransi kesehatan. Salah satu cara pemecahan masalah sosial dengan inisiatif masyarakat yang baik ya.
Cara lansia Jepang melewatkan masa pensiun
Banyak lansia yang memasuki masa pensiun berkumpul untuk membuat perusahaan yang kebanyakan bergerak di bidang konsultansi dengan memanfaatkan pengalaman semasa bekerja. Ada juga yang menjadi relawan sebagai ahli (silver expert) yang dikirim mewakili JICA (Japan International Coorporation Agency) ke negara-negara berkembang, seperti para dokter hewan yang pada 1997-2000 membuat misi menjadikan susu murni di Jawa Barat lebih berkualitas. Ada pula yang bekerja kembali di yayasan seperti JASS (Japan Association of Second-life Service) dengan berbagai kegiatan seperti menyelenggarakan seminar tentang pembelajaran hidup, berdiskusi dengan orang asing mengenai budaya, atau mengadakan kelas-kelas untuk memperdalam hobi. Dalam satu tahun ada sekitar 2.500 acara yang diselenggarakan oleh JASS di seluruh Jepang. Betapa semangat dan sibuknya para lansia ini belajar kan, berarti kita harus lebih bersemangat lagi daripada mereka ya.
Penduduk Jepang dengan jumlah lansia yang semakin banyak makin banyak masalah yang harus dihadapi. Indonesia memang masih jauh dari apa yang dialami Jepang saat ini, namun semangat lansianya untuk tetap terus belajar dan berkarya, perlu sekali kita contoh.
Bahan bacaan:
Penulis:
Dewi Kusrini, staf pengajar jurusan Pendidikan Bahasa Jepang di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), alumnus Osaka Prefecture University, Jepang. Kontak: dewipadi(at)hotmail(dot)com.
Dewi Kusrini, staf pengajar jurusan Pendidikan Bahasa Jepang di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), alumnus Osaka Prefecture University, Jepang. Kontak: dewipadi(at)hotmail(dot)com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar