Keintiman seksual membuat pasangan manula lebih sehat dan bahagia, menurut studi.
Di antara pasangan usia senja, sakit fisik dapat menggoyahkan pernikahan. Namun, merawat kehidupan seksual yang sehat dapat membuat masing-masing pasangan bahagia, menurut studi baru.
Para peneliti telah mengetahui bahwa penyakit yang muncul karena usia dapat memperburuk kualitas pernikahan. Namun, alasan di balik itu masih jadi pertanyaan besar. Nah, sebuah analisis baru peneliti Amerika Serikat menunjukkan keintiman seksual adalah kaitan yang membuat pasangan tetap positif terhadap pernikahan mereka ketika menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, kurangnya hubungan intim akan memperburuk pernikahan.
Temuan ini “menunjukkan bahwa mungkin penting untuk tetap terhubung secara seksual untuk menjaga” kualitas pernikahan, menurut pemimpin penulis Adena Galinsky kepadaReuters Health, seperti dikutip FoxNews, Rabu (26/2).
Galinsky dan rekan-rekannya dari Center on Demography and Economics of Aging University of Chicago di Illinois, AS, menganalisis data dari 732 "unit pasangan" yang mencakup 1.464 orang, yang kebanyakan berusia antara 65-74 tahun. Dari sini, para peneliti menemukan frekuensi seksual berhubungan dengan kualitas hubungan.
“Tulisan ini membantu kami memahami mengapa kesehatan yang buruk terkait dengan kualitas pernikahan yang buruk,” kata Amelia Karraker, mahasiswa postdoktoral Pusat Studi Kependudukan University of Michigan di Ann Arbor, yang tidak terlibat penelitian baru ini.
Menurut dia, kesejahteraan di usia sepuh berkaitan dengan kesejahteraan psikologi dan fisik. Dan, kesejahteraan seksual berada di persimpangan keduanya,” kata Karraker.
Dalam studi teranyar ini, sebagian besar pria dan perempuan berkulit putih telah berpasngan selama 40 tahun atau lebih. Hampir semua perempuan dan pria yang diteliti telah menikah, tapi hanya 50 persen yang tinggal bersama.
Para partisipan melaporkan rata-rata berhubungan seksual dengan pasangannya sekali sebulan. Studi memperlihatkan, semakin sering bercinta, semakin tinggi kualitas pernikahan.
Para peneliti tidak membuktikan bahwa penurunan aktivitas seksual menyebabkan penurunan kualitas pernikahan. Menurut Galinsky dan rekan-rekannya, kemungkinan itu bisa terjadi, tapi bisa juga sebaliknya.
“Para penulis melakukan pekerjaan yang baik menyoroti ide bahwa jadi aktif secara seksual tidak terbatas pada hubungan seksual, tapi orang-orang dapat memperlebar ide mereka tentang apa itu seks,” kata Karraker.
Para peneliti mencoba menangkap nuansa pernikahan dengan menanyai para pasangan untuk menggambarkan aspek-aspek tertentu yang positif atau negatif. Ambil contoh, “kepuasan emosional” adalah kualitas yang cenderung para partisipan kaitkan dengan pernikahan yang positif. Tapi, sebagian besar pria dan perempuan mendaftarkan “pasangan yang tukang kritik” sebagai kualitas pernikahan yang buruk.
Secara umum, para suami melaporkan sifat-sifat yang positif dalam pernikahan mereka sendiri dibandingkan para istri. Hampir 66 pasangan berkulit gelap secara umum melaporkan tingkat kualitas pernikahan yang lebih negatif dibandingkan pasangan berkulit putih.
Temuan baru ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kesehatan fisik yang baik terkait dengan kualitas pernikahan yang lebih baik.
“Kesehatan fisik yang buruk mempengaruhi kesejahteraan psikologis dari orang itu dan suami atau istrinya, yang pada waktu bersamaan juga mempengaruhi perilaku seksual pasangan,” para penulis melaporkan dalam The Journals of Gerontology: Series B.
“Saya berharap studi kami menginspirasi riset yang menelusuri faktor-faktor apa saja yang membuat pasangan yang tengah bergelut dengan kesehatan yang buruk dapat menemukan energi dan kreativitas untuk memelihara hubungan seksual mereka,” kata Galinsky.
Para peneliti telah mengetahui bahwa penyakit yang muncul karena usia dapat memperburuk kualitas pernikahan. Namun, alasan di balik itu masih jadi pertanyaan besar. Nah, sebuah analisis baru peneliti Amerika Serikat menunjukkan keintiman seksual adalah kaitan yang membuat pasangan tetap positif terhadap pernikahan mereka ketika menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, kurangnya hubungan intim akan memperburuk pernikahan.
Temuan ini “menunjukkan bahwa mungkin penting untuk tetap terhubung secara seksual untuk menjaga” kualitas pernikahan, menurut pemimpin penulis Adena Galinsky kepadaReuters Health, seperti dikutip FoxNews, Rabu (26/2).
Galinsky dan rekan-rekannya dari Center on Demography and Economics of Aging University of Chicago di Illinois, AS, menganalisis data dari 732 "unit pasangan" yang mencakup 1.464 orang, yang kebanyakan berusia antara 65-74 tahun. Dari sini, para peneliti menemukan frekuensi seksual berhubungan dengan kualitas hubungan.
“Tulisan ini membantu kami memahami mengapa kesehatan yang buruk terkait dengan kualitas pernikahan yang buruk,” kata Amelia Karraker, mahasiswa postdoktoral Pusat Studi Kependudukan University of Michigan di Ann Arbor, yang tidak terlibat penelitian baru ini.
Menurut dia, kesejahteraan di usia sepuh berkaitan dengan kesejahteraan psikologi dan fisik. Dan, kesejahteraan seksual berada di persimpangan keduanya,” kata Karraker.
Dalam studi teranyar ini, sebagian besar pria dan perempuan berkulit putih telah berpasngan selama 40 tahun atau lebih. Hampir semua perempuan dan pria yang diteliti telah menikah, tapi hanya 50 persen yang tinggal bersama.
Para partisipan melaporkan rata-rata berhubungan seksual dengan pasangannya sekali sebulan. Studi memperlihatkan, semakin sering bercinta, semakin tinggi kualitas pernikahan.
Para peneliti tidak membuktikan bahwa penurunan aktivitas seksual menyebabkan penurunan kualitas pernikahan. Menurut Galinsky dan rekan-rekannya, kemungkinan itu bisa terjadi, tapi bisa juga sebaliknya.
“Para penulis melakukan pekerjaan yang baik menyoroti ide bahwa jadi aktif secara seksual tidak terbatas pada hubungan seksual, tapi orang-orang dapat memperlebar ide mereka tentang apa itu seks,” kata Karraker.
Para peneliti mencoba menangkap nuansa pernikahan dengan menanyai para pasangan untuk menggambarkan aspek-aspek tertentu yang positif atau negatif. Ambil contoh, “kepuasan emosional” adalah kualitas yang cenderung para partisipan kaitkan dengan pernikahan yang positif. Tapi, sebagian besar pria dan perempuan mendaftarkan “pasangan yang tukang kritik” sebagai kualitas pernikahan yang buruk.
Secara umum, para suami melaporkan sifat-sifat yang positif dalam pernikahan mereka sendiri dibandingkan para istri. Hampir 66 pasangan berkulit gelap secara umum melaporkan tingkat kualitas pernikahan yang lebih negatif dibandingkan pasangan berkulit putih.
Temuan baru ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kesehatan fisik yang baik terkait dengan kualitas pernikahan yang lebih baik.
“Kesehatan fisik yang buruk mempengaruhi kesejahteraan psikologis dari orang itu dan suami atau istrinya, yang pada waktu bersamaan juga mempengaruhi perilaku seksual pasangan,” para penulis melaporkan dalam The Journals of Gerontology: Series B.
“Saya berharap studi kami menginspirasi riset yang menelusuri faktor-faktor apa saja yang membuat pasangan yang tengah bergelut dengan kesehatan yang buruk dapat menemukan energi dan kreativitas untuk memelihara hubungan seksual mereka,” kata Galinsky.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar