Setiap manusia pasti akan menjadi tua. Usia tua menandakan kerapuhan, kelemahan dan produktifitas dalam dalam aspek apapun. Ya, begitulah kondisi usia lanjut. Tetapi, tampaknya lansia di negeri ini jarang memperoleh porsi perhatian lebih oleh kita semua karena kita terlalu sibuk menjalankan aktivitas masa muda yang merupakan faktor penentu untuk bekal di hari tua. Artinya, bahwa aktivitas yang kita lakukan di masa muda adalah untuk investasi nanti ketika produktifitas diri sudah kian menurun.
Lambat laun tapi pasti kita semua akan menjadi tua. Di mana produktifitas menurun, kondisi fisik sudah melemah, otot-otot mengendur, kulit mulai kriput, sorotan mata kian memburam, kondisi psikologis sudah tak menentu, singkatnya bila seseorang telah menua seluruh aktivitas inginnya dilayani persis semasa bayi.
Sebagaimana tuntutan masa perkembangan dan pertumbuhan manusia, masa lansia memiliki tugas-tugas tersendiri. Tugas semestinya di usia senja ialah menikmati hasil jerih payah selama masa muda dan dituntut untuk lebih mengukur kualitas kesalehan diri serta meningkatkannya karena masa tua adalah waktu menunggu ajal datang menjemput. Untuk itulah mengapa masa tua dianjurkan untuk meningkatkan kualitas kesalehan sebagai bekal menuju kematian. Andaikan perkara-perkara kesalehan justru ditinggalkan pada usia senja berarti orang dapat dikatakan tidak memahami tugas perkembangannya serta hal yang seharusnya ia sadari sekaligus lakukan.
Banyak indikator yang menyebabkan tugas perkembangan masa tua tidak berjalan baik. Pertama, karena tuntutan kebutuhan hidup yang tak tercapai di masa muda sehingga di usia senjapun ia harus melakoni pekerjaan-pekerjaan yang harusnya dilakukan ketika usia masih muda. Pemandangan seperti itu kerap kali kita saksikan dengan mata telanjang di sekitar kehidupan sehari-hari. Ambil contoh misalnya, seseorang yang telah berusia senja masih melakukan aktivitas-aktivitas pekerjaan berat untuk sekadar bertahan hidup.
Tak ada jaminan
Kedua, seseorang yang sudah tua harus dihadapkan dengan kondisi zaman di mana dia mesti hidup. Jaminan ketenangan dalam menjalankan masa ketuaannya sama sekali tidak ada, terutama dalam hal materi karena memang ketika pada usia muda tak memiliki investasi jangka panjang. Untuk itulah mengapa masa muda dituntut seoptimal mungkin dimanfaatkan sebelum masa tua itu datang menghampiri. Ketiga, kondisi sosial masyarakat, terutama keluarga yang kurang memahami serta tolerir terhadap mereka yang telah menginjak masa penurunan kualita diri ini. Mereka dibiarkan berkeliaran ke mana-mana tanpa rasa peduli serta tak ada keinginan secara sadar untuk memberikan perawatan terhadap si tua dengan berbagai dalih kesibukan diri. Dan dalam sekup keluarga, bukankah mereka adalah orang tua kita sendiri?
Tugas anak adalah memelihara orang tuanya. Bahkan itu merupakan kewajiban paling mendasar dari keberadaan seorang anak karena keberadaan dirinya tak lepas dari kesadaran para orang tua yang mengulurkan tangan dengan rela dan ridlo untuk membesarkan serta memelihara seorang anak hingga dia dewasa. Dan keempat, minimnya kesadaran seorang anak akan posisi orang tuanya. Baik pemahaman secara fisik maupun sisi-sisi psikologis orang tuanya, sehingga membuat anak merasa acuh tak acuh melihat keberadaan orang tua yang memang butuh perawatan. Celakanya, tak sedikit anak acap menghardik orang tua serta mencemoohkan mereka karena ketuaan mereka dan dianggap merepotkan hidup.
Kita masih teringat betul dengan kisah Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya, lantas disumpah menjadi batu. Kisah itu telah ada sejak lama dan mengiringi langkah sang anak di dalam seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari dari masa kanak-kanak hingga dewasa sekalipun, kisah itu tetap menggema di dalam memori sadar kita. Alasan ibu si Malin Kundang sederhana saja, yakni hanya ingin dia diakui oleh anaknya sebagai orang yang telah melahirkan dirinya ke dunia fana ini. Dan celaknya, hanya karena alasan malu Malin Kundang yang telah kaya mengingkari hatinya untuk sekadar mengakui bahwa ibu yang compang camping itu adalah ibu kandung yang telah mengeluarkannya dari alam rahim.
Masih banyak kisah-kisah serupa yang menunjukan betapa seorang anak berkewajiban merawat orang tuanya dengan baik. Bahkan dikatakan bahwa surga berada di bawah telapak kaki sang ibu. Ungkapan ini memberikan suatu pesan moral bagi para anak khususnya bahwa orang tua yang telah melahirkan kita harus kita hormati serta dirawat dengan baik, terutama ketika orang tua telah menapaki usia senja.
Apatisme pemerintah
Terlepas dari hal itu, kita segera menengok bagaimana peran aktif pemerintah dalam menyikapi para lansia di negeri ini. Kita berbicara pada konteks yang lebih umum berangkat dari sebuah pemandangan miris keberadaan para lansia yang tergopoh-gopoh menyusuri jalan raya mengais rezeki hanya sekadar untuk mempertahankan hidup. Ada pula para lansia yang bertebaran di jalan-jalan tanpa arah tujuan jelas ke mana tempat mereka akan tuju. Karena keluarga pun mereka sudah tidak punya, akhirnya langit menjadi atap dan berlantaikan tanah mereka menghabiskan hari-hari. Ajalpun masih enggan menghampiri sementara hidup mesti dijalani.
Penulis sendiri jadi teringat pada orang tua yang sudah sangat renta berkeliaran di sekitar di mana penulis sehari-hari beraktivitas. Dapat ditaksir usianya sekitar 60 tahun bila diukur dari raut wajah dan kerentaannya pada saat berjalan. Saking lelahnya ia berjalan ke sana kemari orang tua itu tidur di pinggir jalan dalam keadaan tubuh yang kotor dan pakaian compang camping, lusuh, serta telah menyatu dengan warna kulit yang tak pernah dibasahi air bersih, kecuali hujan. Suatu ketika penulis mencoba mengajak si tua berbicara, namun tidak dijawab dan sepertinya ia telah bisu karena orang tak pernah mendekati dia secara empatik. Kata sebagian orang dia adalah orang gila dalam arti sewajarnya karena perialkunya menunjukan ketidakpedualian terhadao orang lain dan dia hanya membutuhkan makan dan minum entah dari mana dia dapatkan. Mungkin orang memberinya. Hari-hari penulis mengamati keberadaan orang tua yang dianggap gila tersebut. Ternyata, kepekaannya terhadap orang lain nyaris lenyap, berbicara sepatah katapun tidak, dia diam, terus berjalan entah kemana hingga malam tiba di mana telah lelah dia tidur di pinggir jalan.
Malang benar nasib hidup orang itu. Status sosial yang tidak jelas, keluarga tiada berpunya, tempat tinggal entah di mana, tidak memiliki arah tujuan langkah kaki, namun ia hanya punya satu hal, yakni bertahan hidup dalam ketidaksadarannya alias gila. Dan ia adalah satu dari sekian ribu orang yang dalam kondisi serupa hidup di negeri ini tanpa kejelasan arah hidup. Bahkan pemerintah sekalipun tidak akan mau peduli terhadap keberadaan mereka, mungkin akan jijik melihat keadaan sosok manusia seperti itu. Tapi mesti diakui pula bahwa itu adalah bagian dari tanggung jawab sosial pemerintah terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat negeri. Cara alternatif yang mungkin bisa dilakukan ialah menyisir serta mendata mereka untuk kemudian ditempatkan pada tempat yang lebih layak agar orang seperti itu hidup selayaknya manusia lain. Bukankah panti jompo diperuntukkan buat mereka? Entah, apa fungsi panti jompo di negeri ini, yang jelas itu tidak mendapat porsi perhatian lebih dari pemerintah kecuali urusan-urusan elit serta perkara-perkara yang bernuansa politis. Karena memang, mental para pentinggi negeri bukanlah mental merakyat, tapi mental egois, individualis, matrealis, politis, elitis, serta apatis terhadap perkara seperti pembinaan orang-orang renta yang tidak memiliki status sosial itu.
Hari lansia patut dijadikan sebagai suatu momentum penting agar kita saling menyayangi dan peduli terhadap sesama tanpa pandang status sosial. Kuncinya, terletak pada kesadaran sosial serta kemauan yang kuat untuk membuka mata selebar-lebarnya agar realitas sosial itu terpantau lantas diperbaiki kesalahannya. (http://bengkelcoretan.blogspot.com/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar